Halloween party ideas 2015

Foto: dokumen pribadi
*Bagian ketiga (terakhir)

Dari Tanjung Kait menuju Jakarta melalui Cengkareng. Tiga topografi yang berbeda. Tanjung Kait dengan pantainya yang luas dan air lautnya yang kotor. Jalanan kecil di pinggir pantai beserta rumah penduduk yang padat dan kumuh menuju bandara Soekarno-Hatta. Jalanan bebas hambatan (tol) dari bandara (Cengkareng) menuju Jakarta.

Setelah makan siang pada hari kedua, kami siap-siap menuju Jakarta. Beberapa orang di antara kami bernego dengan pengelola kawasan Tanjung Kait. Kami memberi sejumlah uang sebagai imbalan atas bantuan Bang Boy (penjaga kawasan itu) dan kawan-kawan. Mereka yang membantu kami memasak, menyediakan makanan dan minuman serta menjamin keamanan selama berada di sana. Ada tiga orang ibu dan dua bapak yang membantu kami. Setelah negosiasi, kami berjabatan tangan satu per satu kepada Bang Boy dkk sebagai tanda terima kasih. Keakraban yang terjalin selama di sana kini berakhir namun ada harapan untuk melanjutkan kembali. “Kapan-kapan datang lagi ya bang,” tutur seorang ibu dengan senyum ramahnya.

Kami membutuhkan mereka dan mereka membutuhkan kami. Mereka menyumbangkan tenaganya dengan memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyediakan tempat bagi kami, membeli makanan dan air minum di pasar, dan sebagainya. Kami menyediakan uang untuk membeli makanan, menyediakan gas untuk tungku api beserta perlengkapan lain misalnya piring, sendok, gelas, dan tempat nasi. Di sini terjadi relasi yang saling melengkapi. Makanya sebelum pulang, kami memberi penghargaan kepada mereka. Relasi yang dibangun ini merupakan relasi mutualisme. Landasan dasarnya adalah saling membutuhkan sehingga saling melengkapi. Dalam hal ini, manusia sebagai makhluk sosial mencapai relevansinya.

Bukan menjemput dan mengantar
Jalanan kecil menghubungkan Tanjung Kait dengan Cengkareng, tepatnya bandara internasional Soekarno-Hatta. Jalanan dengan panjang kurang lebih 5 kilo meter  terbuat dari coran (campuran) semen yang tebalnya kurang lebih 30 cm. Lalu lintasnya lancar. Mobil yang lewat di tengah daerah persawahan itu dapat melintas dengan kecepatan 60-80 km/jam. Keluar dari daerah ini, mobil melaju dengan lambat karena jalanan kecil dan mobil yang lewat semakin banyak. Di kiri-kanan jalan terdapat rumah penduduk yang kumuh dan padat. Warga di beberapa tempat bahkan mandi dan mencuci pakain mereka di selokan besar. Airnya agak keruh.

Satu kawasan dengan pemandangan cukup bagus adalah kompleks sekolah tinggi kelautan. Kompleks ini terletak di pinggir pantai dan terdiri atas beberapa unit gedung. Berbanding terbalik dengan sebagian besar rumah warga yang berupa kelompok rumah yang padat. Di pinggir jalan terdapat banyak usaha kecil menengah seperti pembuatan bata merah, dan pabrik-pabrik kecil yang letaknya pas di bibir jalan. Dengan laju mobil yang diperlambat, kami menikmati pemandangan yang kurang bersahabat di pinggir jalan. Ada pekerja bangunan, pekerja selokan jalan, angkutan kota yang ngetem di sembarang tempat, dll. Setelah melaju selama satu jam, kami tiba di kawasan bandara Soekarno-Hatta.

Foto: dokumen pribadi
Mobil kami masuk bandara berdampingan dengan mobil lain yang mengantar dan menjemput penumpang. Perbedaan yang mencolok adalah mobil kami berlumuran lumpur sedangkan mobil lain masih mengkilat. Selain itu, kami adalah penumpang yang numpang lewat di kawasan bandara sedangkan penumpang di mobil lain adalah penumpang yang menjemput dan mengantar keluarga atau juga penumpang yang mau berangkat ke luar negeri. Keluar dari bandara melalui tol. Jalan bebas hambatan yang menghubungkan bandara dengan Jakarta ini agak ironis dengan jalan yang menghubungkan Tanjung Kait dengan Cengkareng. Dalam tempo 45 menit, kami sudah sampai di rumah.

Bukan akhir dari petualangan
Kegiatan selama dua hari satu malam ini betul-betul sebuah petualangan. Lebih dari petualangan, kegiatan ini merupakan sebuah peziarahan. Kehidupan manusia merupakan sebuah peziarahan. Peziarahan dari kecil hingga tua. Kegiatan ini merupakan petualangan karena berangkat dari realitas Jakarta yang hiruk-pikuk dengan kesibukannya menuju tempat yang nyaman untuk beristirahat dan berekreasi. Petualangan ini bukanlah akhir. Petualangan ini menjadi start point bagi kami untuk berkativitas dengan semangat baru. Petualangan ini menjadi “kolam semangat” yang nantinya bisa  dialirkan dalam aktivitas di Jakarta. Pada akhirnya petualangan ini mesti berujung pada Sang Pencipta sebagai sumber semangat.

Dia-lah yang menjadikan segala yang ada. Kami dan kita manusia seluruhnya hanya bisa melihat semua ciptaan-Nya yang begitu indah. Tak berlebihan jika saya mengatakan antara Jakarta-Tangerang-Cengkareng-Jakarta ada Tuhan, Sang Pencipta. Dia tampak dalam alam dan laut yang kelihatan dan dalam suasana segar dan suasana akrab yang tidak kelihatan namun dirasakan. Di sini kita ditantang untuk melihat Dia dalam segala sesuatu yang kita lihat. Dia mengajak kita untuk membuka mata, mencari, dan menemukan Dia dalam pengalaman hidup. Bagi mereka yang bekerja di pabrik, petugas bandara, pegawai dan petugas yang bekerja di jalan tol, sopir angkutan, dan profesi lainnya ditantang untuk menemukan Tuhan dalam aktivitas. Tuhan ada di mana-mana namun Tuhan bukan segala yang kita lihat. Tuhan tidak melebur dalam benda yang kita lihat (Panteisme). Tuhan ada di balik segala yang kita lihat dan yang kita kerjakan.
Cempaka Putih, 22  Februari  2011

Gordy Afri

gambar: google
*Bagian kedua dari Petualangan di Tanjung Kait



Seorang pendidik di daerah pedalaman Papua pernah berujar, “Tak ada rotan, akar pun bisa.” Artinya? Rotan di sana dipakai untuk “mendidik” (bahasa kasarnya memukul) siswi/a. Ketika rotan tidak ada, akar kayu pun bisa dijadikan sarana untuk “mendidik” siswi/a. Sarana apa pun bisa digunakan untuk berbagai hal asal saja kita kreatif merangkainya.

Sebelum masuk di tempat yang dituju, kami harus melalui jalan berlumpur. Daerah bertopografi datar ini baru saja diguyur hujan sehingga mau tak mau tergenang air. Tidak ada lagi aspal. Hanya bekas pasir yang disiram seadanya agar ban mobil tidak tertanan dalam lumpur. Kami melewati dua tiang tembok di kiri-kanan jalan sebagai gerbang. Gerbang bertujuan untuk menjaga agar mobil besar tidak masuk. Entah mengapa demikian, pokoknya yang bisa (dan boleh) masuk hanya kendaraan berukuran kecil. Kondisi jalan memang sangat cocok untuk kendaraan kecil. Kalau dipaksa, jalanan itu rusak karena bahan dasarnya tidak terlalu keras menampung beban kendaraan berukuran besar.

Sekitar markas
Tempat yang kami gunakan hanyalah sebagian dari kawasan yang dinamakan Tanjung Kait. Menurut cerita dari warga setempat, tanah itu milik AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia). Dulunya, di tempat ini, dibangun sebuah Radar kuno milik AURI. Sampai sekarang, masih terlihat bekas patahan tembok besar di sekitar pantai dan ada satu bongkahan tembok berbentuk persegi dengan empat fondasi tiang di sisinya. Yang tersisa dengan jelas adalah sebuah gedung berukuran besar. Gedung ini diperkirakan sebagai tempat pengendali radar itu dan tempat tinggal petugas radar. Di dalamnya ada kamar mandi dan WC. Daerah ini sekarang diserahkan ke aparat desa dan masyarakat boleh mengelolanya.

Di sekitar markas (meminjam istilah dalam dunia militer), ada pemandangan yang membuat mata kami enggan terpejam dan seakan-akan mampu membersihkan lekatan-lekatan polusi di mata kami. Di bagian belakang (posisi menghadap ke laut), ada hamparan sawah yang luas yang berbatasan dengan rumah warga. Sebagian dari sawah itu masuk dalam lahan milik AURI dan sebagian besarnya milik warga di kampung sekitar. Lagi-lagi rakyat sekitar mengelola  sebagian lahan ini untuk bertanam. Padinya berumur sekitar 1,5 bulan setelah ditanam. Kehijauan pun langsung memikat mata kami. Seluruh hamparan berwarna hijau. Beda banget sama Jakarta yang penuh dengan bangunan tinggi.

Selain itu di samping kiri, ada usaha tambak garam. Hamparan yang begitu luas dipetak-kan dalam ukuran besar. Di situlah para pengusaha garam laut mengharapkan rezeki untuk menyambung hidup. Bagian sebelah kanan, masih berupa lahan kosong yang ditumbuhii rumput liar. Dan, yang terakhir adalah pemandangan laut yang indah kalau menatap jauh ke depan dan kurang begitu indah kalau menatap dengan jarak dekat. Airnya bukan bening kehijauan lagi tetapi agak kuning dan kotor. Meski demikian, di tempat ini kami tetap menghirup udara segar dan bersih serta menikmati desiran ombak di siang dan malam hari. Ada satu pondok-panggung yang terletak di “tengah laut” sekitar 100m dari bibir pantai. Pondok ini beratap daun seperti alang-alang dan berdindingkan anyaman. Ada jembatan bambu sebagai penghubung ke sana. Terdiri atas bambu yang disambung dengan bambu palang di sisi kanan sebagai alat bantu menjaga keseimbangan.

Di atas pasir
Tempat kami berteduh berupa kemah-kemah, yang dilengkapi dengan bale-bale atau tenda di dalamnya. Kami menggunakan satu dari beberapa kemah yang ada. Kemah-kemah ini juga dipakai oleh beberapa penjual minuman dan makanan ringan sebagai tempat menyimpan jualan. Kadang-kadang bale-balenya digunakan oleh tamu untuk duduk-duduk. Tempat yang cocok untuk menikmati pemandangan laut dan melepas lelah. Tak heran ketika beberapa pasangan mudi/a pun sering datang ke tempat ini di siang dan malam hari. Ada juga pasangan siswi/a yang bolos dari sekolah dan ngobrol di bale-bale ini. Kalau siang kita melihat laut sedangkan malam kita melihat ratusan cahaya dari para nelayan kecil yang mencari ikan.

Kemah ini didirikan di atas dasar pasir. Padahal “rumah yang dibangun di atas pasir gampang diterpa angin ketimbang yang dibangun di atas batu.” Di atas pasir ini kami mengadakan perayaan ekaristi pada sore hari. Di atas pasir ini juga kami menari. Kebetulan ada yang membawa perlengkapan musik sehingga di waktu senggang kami--atas inisiatif kelompok tertentu—menari-nari dengan iringan musik yang ada. Selain itu, kami juga bermain futsal di atas pasir ini. Bola futsal bergelinding, dari kaki ke kaki membentur tiang kemah dan sesekali mengapung  ke permukaan laut ketika ada pemain yang salah mengoper bola. Wah….kumpulan orang kreatif, lahan pasir dijadikan bar (tempat menari) dan lapangan (tempat bermain futsal). Kita kembali ke Papua ala Tangerang, “Tak ada lapangan, permukaan pasir pantai pun jadi, tak ada bar permukaan pantai pasir pun jadi.”

Malam persaudaraan
Datang tadi pagi dan kembali besok siang. Malam ini harus menjadi waktu yang berkesan selama berada Tanjung Kait. Malam ini disebut “Malam Persaudaraan”. Setelah makan malam, kami membentuk kelompok permainan. Ada yang bermain ular tangga, kartu foker, monopoli, catur, dan jenis permainan lainnya. Inilah kesempatan untuk mempererat persaudaraan antara kami. Semua kami bergembira dan larut dalam permainan yang menyita perhatiannya. Untuk menghangatkan perut yang dihembus angin dari laut dan untuk maramaikan suasana malam, kami minum kopi. Wah…kopi penghangat perut, awas…mete sampai pagi.

Malam semakin larut, dan satu per satu kami menuju peraduan. Ada kelompok yang berbaring di atas bale-bale kemah tak berdinding dan hanya beratap. Dinginnnnnn… deru ombak dan hembusan angin malam masih terasa. Perut kedinginannnn…cepat-cepat dipoles minyak angin dan dibalut selimut tebal. Setebal apa pun pasti kedinginan karena langsung berhadapan dengan angin laut yang tak ada penghalangnya. Belum lagi, tengah malam hujan gerimis turun. Sebagian yang ditenda/bale-bale menghilang mencari penyelamatan di gedung. Yang di dalam kemah sibuk memperbaiki atap agar tidak bocor. Ada pula yang terlelap di pondok panggung di “tengah laut”. Mula-mula hanya memancing, lama-lama tertidur. Lanjutkan tidur….sampai besok pagi….. (bersambung….)


Cempaka Putih, 6 Februari  2011

Gordy Afri

Diberdayakan oleh Blogger.