Halloween party ideas 2015

Gereja Katolik, Kramat
Jalan Gunung Sahari cukup panjang. Dari Jakarta Utara, tepatnya Mangga Dua sampai Jakarta Pusat, Senen. 

Sepanjang perjalanan, kami melihat gedung tinggi, para pedagang trotoar, pertokoan, dan bangunan penting lainnya. Suasana jalan padat. Angkutan kota berhenti semaunya sambil menunggu penumpang. Para pejalanan kaki mesti sabar, menyelinap di antara pedagang trotoar dan angkutan yang berhenti di pinggir jalan. 

Matahari mulai menanjak. Teriknya mulai terasa. Keringat mulai mengucur di sekujur tubuh. Sementara itu, rasa sakit mulai terasa di kaki. Alas kaki bagian bawah mulai terasa panas. Ini pertanda perjalanan sudah panjang. Memang, perjalanan yang hanya sehari ini tak sebanding dengan perjalanan pemulung yang berhari-hari. 


Setelah berjalan selama lebih dari 45 menit, kami tiba di daerah Senen/Kwitang. Pemandangan yang cukup unik terlihat di daerah pasar loak, Senen. Di situ terlihat buku-buku tua dengan berbagai judul. Konon, pasar ini mulai beroperasi pada 1935. Teman saya memberi tahu, “Di sini tempat penjualan buku tua/langka dan buku bekas.” Hanya angguk sebagai balasan.


Ternyata masih banyak yang mencari buku tua di sini. Ada yang mencari sendiri di rak, ada pula yang menanyakan kepada penjual. Gampang. Pembeli cukup memberi tahu judul buku atau nama pengarang. Penjual akan mencarinya.  



Suasana ini cepat berlalu, ketika kami memutuskan untuk pergi lagi. Simpang lima Senen mesti dilampaui. Tujuan kami adalah Gereja Katolik Hati Kudus Kramat yang terletak di Jalan Salemba Raya. Teman saya sebagai pemandu sangat yakin, “Sebentar lagi kita sampai di gereja Kramat.” Dia bertugas sebagai perancang rute perjalanan. 


Sempat, nyasar sekali. Letak gereja itu agak ke dalam. Ratusan meter dari jalan raya. Masalahnya, ada juga gereja Kristen yang letaknya agak ke dalam. Kami masuk lorong menuju gereja Protestan lalu keluar lagi. 

Dengan bantuan satpam di gedung Lembaga Biblika Indonesia (waktu itu), kami berhasil masuk di gereja Kramat yang terlatak di belakang gedung itu.

Gereja ini cukup unik dan merupakan salah satu gereja tertua di Keuskupan Agung Jakarta. Gedungnya dibangun sekitar tahun 1921. Di sebelahnya ada panti asuhan Vinsensius. 


Siang itu, suasana gereja hening. Ada sekelompok umat sedang berdoa. Adorasi penyembahan Sakramen Mahakudus. Mereka sedang berdoa ketika kami berdua masuk. Membubuhkan dahi dengan air berkat dan membuat tanda salib lalu kami berlutut di bangku umat dan berdoa.


Di pintu masuk ada segardus air aqua gelas. Rasa haus menggoda kami untuk mengambil masing-masing segelas. Tuhan tahu ini namanya mencuri. Namun, Tuhan tahu juga kami membutuhkan air itu. Mana yang penting, mengambil air karena kehausan atau membiarkan kami menderita kehausan karena takut kena hukuman dosa?

Kami berjalan menuju pos satpam. Kantor pos tertutup. Petugas sedang keluar. Kami duduk di bawah pohon rindang di samping pos dan menyantap hidangan siang. Wah…makanan yang kami bawa terasa panas. Matahari yang menyinari Jakarta siang ini ternyata mampu menghangatkan nasi yang ada dalam tas. Rasa lapar terpuaskan. *Semua gambar dari google




******
Tugu Tani

Jarum jam menunjukkan pukul 2 siang. Sejam kami lalui di tempat teduh ini. Kami melanjutkan perjalanan. Tempat berikutnya adalah tugu monas. Sebelum tiba di sana, kami berhenti di patung Tugu Tani. Patung yang dibuat tahun 1963 mengagumkan bagi saya. Maklum pertama kali masuk Jakarta. 


Konon, patung ini menyimbolkan kekuatan petani. Lima belas menit merupakan waktu yang berharga untuk melihat dari dekat patung ini. Banyak juga orang yang lewat di sekitar tempat kami berdiri. Ada yang sedang menunggu angkutan ada pula yang sekadar berjalan-jalan. 


Kami tiba di monas ketika cuaca mulai mendung. Alangkah senangnya hati dua orang muda ini melihat tugu ini dari dekat. Tugu monas merupakan ikon ibu kota Jakarta. Konon, tugu yang terletak di Lapangan Monas, Jakarta Pusat ini diresmikan pada 17 Agustus 1961. 


Tugu  Monumen Nasional

Menurut situs unik77.info, tugu Monumen Nasional ini memiliki tinggi 132 meter. Di puncaknya, terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 kg. Lidah api atau obor ini sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.




******


Suasana makin mendung. Sebentar lagi hujan. Kami bergegas pergi. Keluar melalui Jalan Medan Merdeka Selatan. Selanjutnya melalui Jalan MH Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman. Ruas jalan utama yang cukup ramai. 


Air mancur Bundaran Hotel Indonesia

Kekaguman akan indahnya Jakarta muncul lagi ketika melihat air mancur di bundaran hotel Indonesia. Air itu seolah-olah menjadi simbol persaudaraan. Para pejalan kaki dan angkutan melintas di sekelilingnya. 


Hujan mulai mengguyur Jakarta. Kami melangkah pelan-pelan sambil melindungi diri dari guyuran. Ada hal yang unik. Ada penghuni kolong jembatan. Kami mencoba melihat langsung. 


Ada seorang bapak yang sedang duduk beralaskan gardus bekas. Di sampingnya ada perabot rumah tangga berupa panci dan alat makan. Dia menyaksikan air keruh dan mulai naik di bawah tempat duduknya.


Inilah realitas ibu kota yang sebelumnya kami tidak tahu. Ternyata di Jakarta masih ada tuna wisma. Ironis dengan pemandangan gedung elit sepanjang Jalan MH Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman. 


Pemandangan di sekitar Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya mulai ramai. Laju kendaraan semakin lambat. Kemacetan mulai terasa. Beruntung kami pejalan kaki sehingga dengan gampang menyelinap. 


Ketika tiba di Semanggi, kami berhenti sebentar dan bercerita. “Di sini terjadi kerusuhan Mei 1998,” teman saya membuka cerita. Ya, peristiwa Semanggi 1 dan 2 terjadi di sini. Di atas tempat kami berdiri sekarang pernah terjadi pertumpahan darah. Korbannya adalah beberapa mahasiswa. Perjuangan generasi depan bangsa selalu menuntut pengorbanan hingga titik darah terakhir.




******
Kami memasuki wilayah Jakarta Selatan. Suasana mulai gelap tetapi masih bisa memandang jauh. Teman saya mulai ragu-ragu dengan rute yang dibuat. Jalan keluar adalah bertanya. Sebab, “Malu bertanya sesat di jalan…” kata pepatah.


“Pak, jalan ke Bintaro arah mana ya?”
“Dek naik bis arah Blok M. Dari situ naik angkutan kecil.”
“Kalau jalan kaki pak?”
“Hari gini masih ada yang jalan kaki? Naik angkot aja dek.”
“Terima kasih pak”



Perjalanan yang mencengangkan. Ada yang heran karena berjalan kaki. Maklum, di Jakarta kan ke mana-mana naik angkot atau sepeda motor. 


Kami mengikuti rute bis arah Blok M. Melewati Jalan Sisingamangaraja dan Jalan Panglima Polim Raya menuju Cilandak. Dari Cilandak melalui Jalan Veteran. Di Cilandak kaki saya mulai kaku. Tidak ada rasa sakit lagi. Seolah-olah tidak ada kerikil di bawah telapak. Alas kaki dikeluarkan dengan harapan kaki menerima rangsangan kerikil di jalan. Nyatanya tidak terasa sama sekali. Ada apa?


Sementara itu, teman saya mengira saya marah karena kecapaian. Diam. Berhenti. Mulai bercerita. Ternyata dia juga mulai capek. Hanya saja kakinya masih kuat. Aduhhh..perjalanan masih sedikit lagi. Jangan khawatir asal ada harapan jalan keluar pasti ada.


Pelan-pelan kami menyusuri wilayah Bintaro. Malam mulai tampak. Jalanan ramai dengan lampu mobil. Warung pinggir jalan mulai dipadati pengunjung. Andai cukup uang kami bisa singgah sebentar menikmati pecel.        

Sayangnya, kami hanya diberi uang dalam amplop yang boleh dibuka jika pilihan untuk menyelamatkan diri sudah tidak ada lagi. Jumlah uang itu pun misteri. Yang jelas cukup untuk menelepon ke rumah di Bintaro jika terjadi ancaman. 


Sampailah kami di rumah, di Bintaro. Jarum jam menunjukkan pukul 9 malam. Teman-teman tiba lebih dulu. Mereka yang di rumah sudah menunggu dari tadi. Ketika kami datang, mereka berteriak gembira dan segera mengabarkan kepada teman lain.


Meski rasa lapar sudah hilang, makanan tetap disantap. Makanan penting buat isi perut. Lambung menjadi korban jika satu kali saja tidak makan. 


Sungguh nyata kasih Tuhan melalui orang-orang yang ditemui hari ini. Petualangan yang mungkin terjadi sekali dalam hidup menuntut pengorbanan. Petualangan mengajarkan banyak hal. 


Petualangan mengajarkan arti pentingnya seorang sahabat. Dikala satunya lemah, satunya siap membantu. Kesetiaan, kesabaran, dan kerja sama menjadi tiga nilai penting yang harus dipegang. Tanpa ketiganya, petualangan menjadi kurang asyik.


Perjumpaan dengan orang kecil mengundang rasa haru untuk membantu. Lebih dari itu, Tuhan berbicara melalui orang-orang yang dijumpai. Benar kata Injil, “Aku menyertai kamu hingga akhir zaman.” Ada rasa bangga, “Dia menyertai dan melindungi kami hingga tempat tujuan.”


Terima kasih Tuhan, Engkau membimbing kami dari pagi (jam 5) hingga malam (jam 9). Dari Sunter, Jakarta Utara hingga Bintaro, Tangerang. Pergi pagi pulang malam. Kalimat di atas diulang berkali-kali sambil menahan rasa sakit di kaki. Setelah mandi, saya langsung tidur……..(Habis)



Cempaka Putih, 29 Maret 2011
Gordy Afri


Danau Sunter, gambar: google
Kamis 4 Januari 2007. Tanggal bersejarah di awal tahun baru. Tanggal bersejarah dalam serial petualangan di ibu kota negara. Tanggal penuh kenangan yang tak akan terulang bagi dua pemuda yang datang dari daerah seberang.

Matahari di Jakarta belum bersinar. Hiruk pikuk ibu kota belum tampak. Jalanan masih sepi dari kendaraan. Hawa segar berhembus menyiram bumi polusi metropolitan. Penghuni kota rupanya jeli menangkap saat kota Jakarta ramah dengan penduduknya. Pagi hari kota Jakarta memberi angin segar dan bersih bagi penduduknya. Inilah saat yang tepat untuk berolahraga pagi. Dua pasangan suami-istri mengadakan jalan cepat di pinggir danau Sunter.

Dunia yang asing bagi penulis dan Kornel, seorang teman dari Lawang, Jawa Timur. Kami diturunkan dari mobil di daerah Jakarta Utara tepatnya daerah Sunter. Pemandangan yang memuakkan. Pedagang kaki lima duduk berselirewan di trotoar. Pejalan kaki tak kalah saing. Ruas umum yang tersedia digunakan bersama-sama. Untuk berjualan sekaligus jalanan. Dari sinilah awal petualangan kami. Berjalan kaki menuju Pondok Aren, Bintaro, Tangerang.

Matahari Jakarta mulai bersinar. Pemandangan indah di pagi hari. Angin sepoi bertiup di sepanjang jalan Danau Sunter. Permukaan danau tampak bersih di pagi ini. Deru gelombang permukaan danau menggoda mata untuk menatap lebih lama.

Jalan dua ruas di pinggir danau itu tampak bersih. Dua petugas kebersihan jalan sedang mengumpulkan daun pohon yang tumbuh di taman jalan. Daun-daun lain juga jatuh dari pohon besar yang ditanam di sepanjang pinggir danau. 
Daun-daun ini menjadi sampah dari tangan petugas. Pupuk organik bisa diperoleh dari kumpulan daun yang diproses dalam jangka waktu tertentu. Kebersihan jalan ada di tangan petugas. Keinginan pengguna jalan menjadi target mereka. Pengguna ingin melihat jalanan itu tetap bersih. Pemandangan itu lengkap ketika dipadukan dengan pemadangan danau di sebelah jalan.

***
Danau Sunter, Gambar:google
Lorong kecil. Dikelilingi rumah semi permanen. Sepeda motor keluar masuk komplek. Sepeda motor yang mengantar anak sekolah. Sepeda motor yang mengantar para ibu membeli kebutuhan rumah tangga di pasar.

Masuk ke lorong yang lebih kecil lagi. Lebarnya hanya seukuran bajai. Lebih kurang 2 meter. Di sebelahnya ada selokan setinggi 1 meter dan lebar 1 meter. Selokan ini menjadi tempat aliran limbah dari rumah warga. Selokan menjadi muara air dikala banjir. Musibah yang menakutkan bagi warga Jakarta.

Di ujung lorong itu terdapat gedung tinggi berlogo salib. Dikelilingi pagar setinggi 1,5 meter. Di depannya ada jalan yang digunakan sebagai lahan parkir. Di sampingnya ada pos satpam.

Pagi itu suasananya sepi. Dalam gedung hanya ada petugas koster yang sedang membereskan perlengkapan liturgi. Sebelum kami masuk, banyak orang berkumpul merayakan ekaristi di tempat ini. Inilah Gereja Katolik Santo Lukas, Sunter. Tepat seperti tertulis di sebe lah gerbang.

Suasanan sepi membangkitkan dorongan untuk berdoa. Duduk di bangku umat. Melihat dan menunduk ke hadapan altar dan tabernakel. Dahi masih basah setelah dioles air berkat di pintu masuk gereja. Puji syukur dipanjatkan. Tuhan terima kasih karena Engkau mengantar kami ke tempat ini dengan selamat. Kami tahu ini rumah-Mu. Izinkan kami keluar dari rumah-Mu ini menuju tempat tujuan kami. Kuatkanlah kami dalam petualangan hari ini.

Beriak air di kolam ikan menggoda untuk melihat. Ada apa? Lagi-lagi suasana sepi dan sejuk. Menunduk ketika melihat ada Gua Maria. Di dalamnya ada patung Bunda Maria sedang berdoa. Di tangannya ada rosario. Inilah dia bunda Tuhan. Tokoh yang dihormati orang beriman Katolik.

Di kaki gua ada beberapa ikan Koki. Ada rasa bangga melihat makhluk hias ini bergembira. Sesekali dia muncul ke permukaan dengan gayanya. Air bening dan dingin itu menjadi tempat nyaman bagi hidup mereka. Tidak ada kekhawatiran karena teror bom. Tidak ada pencopetan yang mengancam harta dan nyawa. Mereka hidup rukun.

***
Lima belas menit sudah berlalu. Saatnya melanjutkan perjalanan. Pemandangan berbeda. Dua ruas jalan besar. Tempat mobil angkutan umum, sepeda motor, bajaj, pemulung, mobil pengangkut barang lewat. Angkutan barang ke pelabuhan Tanjung periuk. 

Dua ruas jalan dibatasi oleh taman. Dikelilingi pagar setinggi satu meter. Lebih kurang tiap 20 meter terdapat tiang kokoh terbuat dari tembok. Tiang penyangga tol lingkar luar Jakarta. 

Taman Impian Jaya Ancol, Gambar: google
Matahari mulai menanjak. Suhu Jakarta makin naik. Jalan Laksamana R.E. Mardinata pagi ini mulai ramai. Laksamana ini adalah tokoh angkatan laut Republik Indonesia dan pahlawan nasional yang lahir di Bandung 29 Maret 1921 dan meninggal pada 6 Oktober 1966. Pejalan kaki menyebar di antara mobil-mobil besar yang bergerak pelan. Jalan ini termasuk kawasan padat lalu lintas. Pengguna sepeda dan pejalan kaki menjadi raja jalan. Mereka bisa tiba lebih dulu di tempat tujuan. 

Di sebelah kanan jalan terlihat pagar tembok. Pagar pembatas Taman Impian Jaya Ancol. Konon, tempat yang dibangun tahun 1966 ini menjadi salah satu satu tempat wisata favorit bagi warga Jakarta. 

Bergerak terus ke Utara masih di sebelah kanan jalan. Terdapat Taman Dunia Fantasi. Taman ini dibangun pada 1985. Pada 2006, Taman ini berubah nama menjadi Ancol Jakarta Bay City. Tempat ini tak kalah dengan tempat sebelumnya. 

Kehadiran tempat wisata seperti ini menjadi oase di tengah hiruk pikuk kota Jakarta. Tak jarang setiap hari Minggu dan hari libur lainnya, tempat seperti ini ramai dikunjungi warga. 

Penghujung jalan R.E. Mardinata di depan mata. Kami tiba diperempatan jalan. Berbelok ke arah kiri. Jalan lurus. Menghadap ke Timur. Tepat di jalan Gunung Sahari-Ancol. Salah satu ruas jalan yang cukup panjang. Dari Jakarta Utara, Barat, Pusat, dan akhirnya Timur. (bersambung…..)


Cempaka Putih, 20 Maret 2011
Gordy Afri
Diberdayakan oleh Blogger.