Halloween party ideas 2015


Makan siang di Sendangsono

gambar, www.carifilii.es
Dari Borobudur ke Sendangsono. Ini perjalanan searah. Kalau dua kali datang ke tempat ini bikin habis waktu saja. Selagi bisa dikunjungi sekali jalan ya jalankan saja. Hemat waktu, tenaga, dan biaya. 

Kami melewati jalan kecil ke Sendangsono. Jalan itu hanya seukuran 2 mobil kecil. Jadi kalau truk muat pasir atau truk tebu yang agak besar lewat, mobil lainnya menyingkir. Jalanannya sepi tetapi ada tanjakannya. Ada jembatan yang dilewati aliran kali progo. Jalannnya cukup bagus. Tidak banyak lubang. Boleh jadi jarang dilewati kendaraan besar.

Saya memutar lensa kamera. Mengambil gambar pemandangan yang bagus di sekitar jalan. Banyak daun hijau. Pepohonan banyak dan berimbun. Tidak banyak melewati rumah. Boleh jadi penduduk di sini agak sedikit. Memang ini adalah daerah perbukitan. Posisinya agak tinggi. Gua Maria ini berada di bukit. Suasananya sejuk di daerah ini.

Setelah 30 menit melaju, kami pun tiba di Sendangsono. Kami parkir mobil lalu berjalan kaki sejauh 200 meter menuju gua. Kami melewati pintu masuk. Di kiri kanan jalan ada tukang jualan benda-benda rohani. Rosario, patung, gambar kudus, air suci, dan sebagainya. Ada yang merupakan hasil kerajinan sendiri. Ada juga yang dibeli di luar kota lalu dijual di sini. Macam-macam cara memperoleh bahan jualan. Asalkan laku saja. Roda ekonomi terus berputar.

Kami lapar karena sudah jam makan menurut jadwal kami. Segera kami mengambil tempat duduk di pondok yang disediakan pihak pengelola gua. Ada 3 pondok besar untuk tempat istirahat. Juga tempat untuk makan atau acara lainnya. Kami menempati satu pondok. Ada juga 2 keluarga yang mampir tetapi mereka hanya sebentar saja. Mereka tidak maka sperti kami. Kami melahap dengan puas. Menunya enak. Ada telur, daging, nasi, plus lauk.

Setelahnya kami menuju gua. Sempat foto-foto juga. Lalu, kami berdoa. Mempersembahkan 5 peristiwa rosario. Dalam doa ini kami menyampaikan banyak hal. Ada ungkapan syukur, permohonan, juga terima kasih kami kepada Bunda Maria. Teman saya lincah dalam hal memimpin doa. Kami yang lain berpartisipasi dalam bentuk mengucapkan doa salam Maria. Doa kan bukan kegiatan individual. Meski doa pribadi juga ada. Tetapi saat ini kami berdoa bersama, doa berkelompok. Jadi, partisipasinya untuk semua.

Selesai doa kami foto bareng sebagai kenang-kenangan. Biar ada jejaknya. Apalagi satu teman rencanaya dalam waktu dekat akan meninggalkan kota Yogya. Dia datang sebentar saja lalu kembali lagi. Saya yang baru tiba di Yogya jadi beruntung juga. Boleh jadi saya masih ada kesempatan untuk datang ke sini lagi. Tetapi biarlah saya ikut membuat jejak juga. Datang nanti dan sekarang kan beda.

Setelahnya kami langsung pulang. Perjalanan pulang cukup menarik juga. Menariknya ya melihat pemandangan. Lagi-lagi saya arahkan lensa kamera ke luar. Di sisi kiri dan kanan jalan. Pemandangannya mirip seperti di kampung. Tetapi karena terbiasa melihat pemandangan gedung di kota, pemandangan alam seperti ini menjadi favorit sekali.

Meskis enang perjalanan ini terasa capek juga. Saya kurang istirahat. Saya jadi mudah capek. Tubuh ini memang butuh istirahat juga. Contohnya seperti dalam perjalanan jauh seperti ini. banyak tenaga yang keluar. Harus ada tambahan tenaga baru. Kalau tidak ada waktu istirahat yang cukup. Demikian saja tulisan ini. semoga bermanfaat bagi pembaca. (habis)

PA, 29/9/2012
Gordi Afri


Jadi Fotografer di Borobudur

gambar, it.wikipedia.org
Juli 2012. Bulan awal saya tiba di kota Yogyakarta. Tanggal 10 saya berangkat dari Jakarta dan tiba tanggal 11 pagi di Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, hari Sabtu, tanggal 13, saya berkunjung ke Borobudur. Ini bukan pekerjaan jalan-jalan. Semata-mata karena diajak oleh sahabat. Kalau tidak saya juga tidak menuntut. Tiba di Yogya dengan selamat saja sudah bersyukur. 

Jadilah saya setuju berangkat ke sana. Ternyata kami berangkat bersama 2 teman lagi. Ramai. Empat orang dalam satu mobil. Saya duduk di samping sopir. Memegang kamera digital, Cannon. Tipenya saya tidak tahu. Wong bukan fotografer ulung. Tetapi tipe terbaru.
Saya didapuk menjadi fotografer. Kalau untuk memotret saya bisa sedikit-sedikit. 

Pengetahuan tentang dunia fotogarafi juga tahu sedikit. Modal awal belajar dari teman. Juga sering-sering membaca klinik fotografi kompas setiap hari Selasa.

Kami tiba di Borobudur pukul 10.30. Rencananya kami berada di sini hingga pukul 11. Paling lambat 30 menit sesudahnya. Sebab, kami harus berangkat ke Sendangsono. Tempat wisata rohani orang Katolik di daerah Jawa Tengah.

Kami bertiga yang masuk. Di pintu gerbang kami membayar Rp. 30.000 per orang. Lalu masih ada pemeriksaan alat bawaan. Saya lolos tanpa peringatan baik oleh petugas maupun bunyi alaran. Kami bersih dari barang berbahaya. Kami juga tidak membahayakan orang lain.

Di dalam kami diarahkan untuk memakai batik. Ini menjadi tanda penghormatan kepada tempat suci ini. Batik diikat di pinggang. Lalu kami naik ke candi. Pelan-pelan mulai dari pintu masuk. Di situ kami sempat foto-foto. Lalu naik sampai kakinya. Di situ foto lagi. Tangga pertama, tangga kedua, ketiga. Selalu ada foto.

Selanjutnya naik sampai di atas. Dekat puncak. Di situ kami berfoto-ria. Banyak gambar yang dihasilkan. Lalu saya mengarahkan mata lensa kamera ke arah keliling candi Borobudur. Ada pemandangan daerah sekitar yang indah sekali.

Berikutnya saya mengarahkan lensa ke puncak candi. Dari berbagai sudut dan gaya. Hasil jepretan bagus. Bukan hanya itu. Saya juga meminta beberapa artis dadakan. Mereka adalah 3 mahasiswi tentara angkatan darat dari Bandung. Dalam sekejap, saya berkenalan dengan mereka. Lalu meminta mereka berfoto bareng teman saya jadilah mereka bergabung dan dengan senang hati. Saya memotret mereka. Gambarnya buagus banget. Dua dari mereka meminta gambar itu dimasukkan ke situs facebook supaya mereka bisa melihatnya. (bersambung)
PA, 25/9/2012

Gordi Afri



gambar, www.asean-life.com
Nama borobudur selalu menjadi buah bibir. Terutama ketika berbicara tentang pariwisata Indonesia. Pesona Borobudur menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara dan lokal. Tak lengkap jika tak kunjung ke Borobudur. Begitu komentar beberapa wisatawan. 

Saya tidak asing dengan Candi Borobudur. Paling tidak 7 tahun lalu, saya dan teman-teman untuk pertama kali mengunjungi tempat wisata tersohor ini. Waktu itu, tahun 2005. Kagum tentu saja. Sebelumnya hanya mndengar dari pembicaraan orang. Juga membaca di buku pelajaran SD dan SMP. Kini, saya melihat sendiri. Ini sebuah kebanggaan.

Tak lama berselang, saya berkunjung ke tempat ini lagi. Bulan Juli dan Agustus tahun 2012 ini, saya berkunjung ke Borobudur. Saya memang hanya ikut teman. Sekalian jadi fotografer pada kunjungan kedua. Lumayan bisa gratisan masuknya.

Demikian juga dengan perjalanan ke Sendangsono yang dilakukan pada saat bersamaan. Dari Borobudur ke Sendangsono. Sendangsono adalah tempat wisata rohani bagi umat Katolik. Ada juga beberapa umat Muslim dan Kristen Protestan yang berkunjung ke sana. Saya tak pernah melihat mereka. Tetapi saya mendengar informasi dari beberapa teman yang sampai sekarang tidak saya ingat orangnya. Tentu mereka hanya mau melihat tempat sejarah bagi umat Katolik ini. Di sinilah umat Katolik dibaptis untuk pertama kalinya di Pulau Jawa.

Kali ini saya hanya memberi semacam catatan pengantar. Tulisan berikutnya akan menampilkan perjalanan saya dan beberapa teman ke dua tempat wisata ini. Semoga saya bisa menulis dengan baik. Selama ini pengalaman ini terpendam karena komputer saya macet. Juga jaringan internetnya.

Pesona Borobudur dan Sendangsono akan menjadi kenangan sepanjang masa. Saya sengaja mau menceritakan pengalamn berkunjung ke sana. Sebab, kedua tempat ini menjadi favorit bagi pengunjung yang kebetulan berada di kota Yogyakarta, Magelang, Semarang, dan kota lain di Jawa Tengah dan sekitarnya. (bersambung...)

PA, 22/9/2012
Gordi Afri



gambar, archive.kaskus.co.id
Malu Bertanya, Jalan Terus. Begitu komentar seorang mahasiswa baru di kota Yogyakarta. Ini tidak lazim. Orang sudah tahu pepatah, malu bertanya sesat di jalan. Memang demikianlah kenyataannya. Malu bertanya sesat di jalan. Dari mana lagi orang ini menciptakan pepatah baru ini? 

Malu bertanya, jalan terus. Ada benarnya juga. Tidak bertanya maka mau tak mau ikuti ssaja jalan yang ada. jadinya berjalan tanpa tujuan yang pasti. Tidak berhenti untuk bertanya. Tidak tahu juga arah yang mau dituju.

Tetapi kalau jalan terus gara-gara malu bertanya jadi aneh. Apakah itu hanya manuver supaya tidak dibilang tersesat? Apakah itu mau menampilkan bahwa dia percaya diri? Dia tahu jalan? Dia tidak perlu bertanya?

Mungkin juga demikian. Tetapi bagaimana pun dia mesti bertanya, mencari tahu kalau tidak tahu. Memang kelihatannya tidak terjadi apa-apa kalau berjalan terus. Tetapi kalau jalan tanpa tujuan yang pasti itu aneh. Kecuali kalau memang dia sekadar berjalan mengenal lingkungan. Itu bisa dilakukan tanpa arah yang pasti. Tetapi kalau jalan dengan membawa tujuan tertentu sebaiknya ikuti arah yang tepat.

Saya tetap yakin dengan pepatah, malu bertanya sesat di jalan. Mungkin saja dia bisa berjalan terus. Tetapi jalannya itu bisa menyimpang dari arah yang mau dicapai.

Ah…ini orang mau lucu. Menciptakan pepatah yang bikin terkeco. Malu bertanya jalan terus. Tetapi itulah yang dibuat oleh sekelompok kawan baru. Dengan berjalan terus mereka banyak tahu daerah baru. Tetapi tetap tidak bisa mengikuti arah yang ditentukan sebelumnya.


------------------------------------------
*dari postingan saya di kompasiana

PA, 5/9/2012

Gordi Afri
Diberdayakan oleh Blogger.