Halloween party ideas 2015

Seminggu di Kos Teman

rumah warga di Jogja jadi tempat kos-kosan, Foto, Gordi
Dari terminal kami menuju kos kakak saya. Bagaimana rasanya tinggal di kos? Masihkah saya sedih? Atau menangis?

Setelah makan di warung tadi kami menuju kos kakak saya. Kos ini dihuni para cewek. Memang dikhususkan untuk cewek. Apakah boleh masuk cowok? Di sinilah masalahnya. Saya kok boleh masuk di sini?

Tentu untuk bertamu, cowok boleh-boleh saja. Tetapi kalau menginap? Tidak boleh. Tetapi masih ada pertimbangan lain. Saya kan bukan siapa-siapa. Saya adalah adik dari seorang penghuni kos. Okelah kalau begitu diperbolehkan nginap di kos ini.

Kakak saya meminjam KTP saya untuk ditunjukkan ke pak RT. Ini untuk memeperjelas identitas. Siapa tahu ada teroris menyelinap. Bukan. Saya punya tanda identitas. Jadi bukan sembarang orang. Itulah sebabnya saya tidak diapa-apakan oleh Pak RT. Saya diperbolehkan menginap.

Tiga hari dua malam saya disitu. Kakak saya masih kuliah selama hari-hari itu. Tetapi saya tidak sepi. Mereka kan ada dua orang. Satunya di kos dan satunya di kampus. Saya di kos terus tetapi tidak sepi. Hanya saja sekali saya merasa lapar sekali karena telat sarapan. Biasa di rumah sarapan. Ternyata di kos tidak ada sarapan. Woadow...untung saja ada oleh-oleh dari kampung. Saya makan saja oleh-oleh itu.

Sore pertama saya tidur. Maklum capek. Lalu bangun pada malam harinya. Mandi dulu. Kemudian jalan-jalan ke mol. Di sinilah naik eskalator pertama kali. Ada keragu-raguan dan ketakutan. Tetapi setelah dilatih berkali-kali saya jadi berani.

Hari keempat saya pindah di kos teman saya yang cowok. Di sini saya tinggal selama 3 hari juga. Kami tidur di kos yang kamarnya tidak terlalu luas. Berbagi temapt. Untuk makan kami pesan di warung. Teman saya berlangganan di situ. Kami masuk dan ambil makan apa saja sesuai porsi yang ditentukan setiap kali jam makan. Di sini juga saya tidak sepi. Meski teman saya ini bukan satu sekolah dengan saya tetapi saya jadi “diakrabi” saja. Saya pun betah di situ. Tetapi masih ada yang mengganjal di hati saya waktu itu. Apakah saya ingat ke rumah? Tidak juga. Lalu????

Saya masih membayangkan seperti apakah kamar saya nanti di Wisma xaverian. Tujuan saya memang belum tercapai. Saya membandingkan kehidupan teman saya dengan kehidupan saya nantinya. Teman saya sudah punya kamar kos seperti ini. Seperti apakah kos saya nantinya?
Untuk sementara saya merasa betah-betah saja. Esok lusa sedang direncanakan kapan saya masuk wisma. Kakak saya sudah merencanakan itu. Saya juga siap-siap.

Rasanya tidak sabar lagi. Tetapi saya emncoba untuk sabar. Kata kakak saya, nikmati dulu kehidupan di luar. Kalau masuk nanti tidak ada kesempatan untuk keluar lagi.
Masalahnya saya sedang berada di luar dan belum pernah masuk. Belum tahu rasanya tinggal di dalam. Jadi ya....sama saja. Makanya saya pingin masuk karena belum pernah merasakan kehidupan di dalam. Ingin cepat-cepat tetapi mencoba untuk bersabar....

Okelah kalau begitu. Saya mencoba untuk menikmati kehidupan di luar dulu. (bersambung..)
------------------------
PA, 15/11/12
Gordi Afri

Ditemani Seorang Ibu Muda  dan Anaknya

foto Bis Malam di Terminal Giwangan, Yogya
foto oleh Fauzi Bijak
Sabtu, 13 Agustus 2005. Saya berangkat dari Bali. Keluarga dan sahabat saya di Bali mengantar saya ke Terminal Ubung untuk membeli tiket bis. Saya tidak memesan tiket sebelumnya. Biasanya tiket itu dipesan dulu minimal 3 hari sebelum berangkat. Itu kata orang yang sering bepergian. Saya hanya ikut keputusan mereka di Bali. Saya pun tidak banyak komentar karena memang belum tahu apa-apa soal perjalanan. Saya hanya membayangkan saya akan tiba di kota Yogyakarta besok harinya.

Di terminal keluarga saya membeli tiket dan langsung di bisnya. Waktu itu saya naik bis LORENA. Bis yang katanya eksekutif kualitasnya tetapi ternyata tidak eksekutif pelayanannya. Sekadar bocor cerita, kami para penumpang, dioper ke bis ekonomi dari Surabaya ke Yogyakarta. Saya tak ingat dnegan persis apakah kami 2 kali ganti bis atau sekali.

Di bis itu, saya diperkenalkan dengan seorang ibu dan anaknya. Kakak saya “menitipkan” saya yang belum pernah ke Yogyakarta ini. Ibu yang baik hati ini mau ke Solo. Saya tanya kepadanya, “Bu...kalau Solo-Yogya itu berkdekatan atau jauh?”
“Wah...masih 70-80-an kilo meter lagi dari Solo.”

Tetapi tidak apa-apa. Dia dan anaknya mau menemani saya yang malang ini. Kami pun sebatas perkenalan pada malam menjelang berangkat dari terminal ini.

Saya duduk dengan seorang cewek Jawa Timur yang mau ke Surabaya. Kami berkenalan di bis. Dia adalah seorang Protestan. Seorang pekerja, anak keluarga pengusaha. Dia sedang kuliah di Surabaya. Dia mengunjungi keluarganya di Denpasar-Bali.

*********
Malam itu, kami melewatkan sepanjang malam dalam perjalanan dan penyebrangan Bali-Jawa. Ketika masuk kapal Feri, semua penumpang harus turun dari bis. Saya dan ibu muda tadi ikut turun dan kami berbincang-bincang. Jiwa keibuannya tampak. Dia membeli amkanan dan minuman ringan lalu memberikan kepada saya dan anaknya. Saya seolah-olah anak kandungnya. Dia baik sekali.

Ketika turund ari kapal juga, kami sama-sama. Di warung makan dan juga ketika pergantian bis. Saya semula tidak tahu kalau ini hanya akal-akalan busuk sang sopir dan krunya. Ternyata kami sebenarnya sampai di Yogyakarta dengan bis ini. Tetapi, tahu-tahunya kami dioper ke bis ekonomi. Sungguh malang lagi nasibnya. Tetapi untunglah ada ibu ini yang mengarahkan saya.

Dalam perjalanan dari Surabaya ke Solo, saya duduk dekat ibu dan anaknya ini. Kami duduk di satu gugusan kursi bis. Kami pun berbincang-bincang. Saya tak banyak bicara waktu itu. Saya hanya mendengar paparan ibu itu. Dia menjelaskan sekarang tiba di kota ini, kota A kota B. Saya tak ingat persis. Saya masih cemas antara tiba di Yogyakarta atau tidak. Apalagi ini pulau Jawa. Pulau besar yang belum begitu terbayangkan bagi saya.

*********
Ketika tiba di Solo, ibu itu pamit dan memberi nasihat kepada saya, “Dek perjalanamu masih jauh. Kira-kira 80-an kilo meter lagi. Tetapi siang nanti akan tiba di Yogyakarta. Hati-hati...”
Setelah mengucapkan itu, dia turun dan melambaikan tangan kepada saya.
Hati saya diselimuti kesedihan. Bagaimana mungkin orang yang ebrsahabat dengan saya ini kini meninggalkan saya. Sempat tetes air mata. Saya mencoba untuk menahannya. Dia memang kini harus berpisah dengan saya.

Saya tak minta alamatnya. Kalau tahu, saya akan mengunjunginya dan mau bertemu dengannya kembali. Sayang waktu itu belum saya bayangkan. Tetapi saya tetap mendoakan ibu dan anaknya ini. Dialah penyelamat bagi saya dalam perjalanan ini.

Dari Solo ke Yogyakarta saya selalu siaga. Penumpang bis sisa 4 orang saja. Saya memberitahu sopir bahwa akan turun di Terminal Giwangan. Sopir mengangguk. Saya menunggu-nunggu ternyata masih lama.

Pukul 13.00 baru saya tiba di Terminal Giwangan-Yogyakarta. Saya harus menunggu kedua kaka saya (Kori dan Jeni) yang baru saja kembali ke kos setelah lama menunggu saya. Saya menelepon mereka dan tersambung. Sambil menunggu, saya mandi di terminal. Kebetulan ada kamar mandi. Ada juga petugas jaga yang baik hati.

Saya menitip tas di kamar wartel. Dari wartel inilah saya menelepon kakak Kori. Waktu itu wartel masih banyak. Saya hanya menyimpan nomor hp lalu menelepon dari wartel. 30 menit kemudian mereka datang dan bertemu saya. Kami makan-makan di warung sebelum saya diboyong ke kos mereka. Saya harus makan meski tidak ada nafsu makan. Bagaimana perjalanan selanjutnya? (bersambung....)

Gordi Afri

Diberdayakan oleh Blogger.