Halloween party ideas 2015

Kagum dengan Sosok Nenek Ini 

altar di kapel samping gua, Foto, Gordi
Kemudian, kami menuju bukit di sisi kiri gua. Namanya bukit Golgota juga. Sama-sama mempunyai patung Salib Yesus yang besar. Di sini nanti kami mengadakan makan siang. Tempatnya sejuk karena berada di ketinggian. 

Di sini juga saya berbincang dengan seorang nenek. Usianya 83 tahun, masih tampak berumur 60-an. Dia senang bercerita. Saya menanyakan keluarganya dan alasannya dia berada di gua ini. Dia sedang novena 9 hari. Sekaligus berpuasa di tempat ini. Dia menghabiskan pekan suci selama paskah di tempat ini. Dia sering datang di sini dan berdoa di sini. Asalnya dari salah satu stasi di Paroki Wedi.

Dia ke sini diantar oleh seorang anaknya yang tinggal di Yogyakarta. Dia mempunyai 5 anak yang tinggal di beberapa kota, Yogyakarta (2), Klaten, Solo, dan Padang, 1 orang. Cucunya banyak. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Dia pernah menjadi bagian dari anggota militer yang berperang. Dia masuk bagian logistik, mengurus makanan. Ah..taak ada ujung jika mendengar cerita nenek ini.

Kami menawarkan makanan padanya. Dia mau dan kami pun makan bersama di bukit ini. Saya mendampinginya waktu makan. Dia masih ingin melanjutkan ceritanya. Saya mendengar saja, sambil sesekali mendorongnya untuk menghabiskan makanan. Rupanya dia tidak mau menghabiskan makanan. Dia ingin membungkus sisanya untuk makan malam nanti. “Saya hidup dari makanan pemberian pengunjung di sini. Ini rezeki saya,” katanya.

Ini berarti banyak pengunjung yang bermurah hati. Setiap hari pasti ada pengunjung. Buktinya dia bisa makan setiap hari. Woao..luar biasa nenek ini.

Keluarbiasaan ini juga yang kami bawa dari gua ini. Sebelum pulang, kami foto bersama sebagai kenangan. Setelahnya kami menuruni bukit menuju parkiran. Kami tidak jadi bermain sepak bola karena lupa membawa bola.

Perjalanan pulang lancar tetapi semat kena hujan di jalan. Saya memacu mobil dengan cepat dan mencari celah di lampu merah sehingga cepat sampai. Penumpang tidur semua. Bangunnnnnn....sudah sampai di garasi mobil. Terima kasih Tuhan atas perlindunganmu. Terima kasih nenek untuk cerita dan teladanmu. (habis)

PA, 22/4/13

Gordi Afri

Sebelumnya, Curhat dengan Bunda Maria




Curhat dengan Bunda Maria

Gua Maria Sriningsih, Klaten, Foto, Gordi
Dari situ kami turun lagi. Tapi ke arah yang berbeda. Kami menuju Gua Maria Sriningsih. Ada banyak anak tangga lagi. Kami melihat ada pemandangan yang teduh. Beberapa ohon besar nan rindang. Beberapa pengunjung sedang duduk dan bercerita. Mereka sedang melepas lelah setelah mendaki bukit.

Kami menurunkan barang bawaan kemudian membentuk kelompok dan berdoa rosario. Kami mengambil sisi kanan dari gua itu. Kebetulan di halaman gua, ada pengunjung lain yang sedang berdoa. Kami berdoa dengan suara yang as-pasan saja. Biar yang lain tidak terganggu.

Setelahnya, kami dipersilakan untuk jalan-jalan di sekitar gua. Saya berdoa sendiri dulu sebelum berjalan-jalan dan memotret suasana gua. Rasanya teduh dan bersahabat berada di bawah kaki Bunda Maria. Saya memandangi gambar patung itu. Rasanya dia adalah ibu atau nenek yang sedang mendengar celotehan anak dan cucunya. Saya menatap lama di depan gua itu. Saya bicara bebas di depan Bunda Maria, bak sedang berbicara langsung, curhatan, dengannya.

Pengalaman ini menjadi warna perjalanan kami kali ini. Selanjutnya, saya menengok, bangunan di sebelah kanan gua. Di situ ada kapel dan aula yang bisa digunakan untuk berteduh. Kalau misa, umat biasanya menggunakan ruangan ini. Beberapa pengunjung sedang bermalas-malasan di situ. Ada yang berbaring sembari menikmati sejuk dan teduhnya suasana itu.  (bersambung)

PA, Maret 2013
Gordi Afri




Menuju Bukit Golgota


Ziarek, ziarah dan rekreasi. Kata ini terkenal di kalangan umat Katolik. Bahkan mungkin juga umat lainnya di negeri Indonesia ini. Demikianlah kami, pada Senin, 1 April 2013, mengadakan ziarek ke Gua Maria Sriningsih.

Kami berangkat pukul 10 pagi. Menggunakan 2 mobil, kijang LGX dan Panther. Mobil kesayangan kami. Karena, ke mana-mana, kami selalu dengan mobil ini. Keduanya berjasa untuk kami. Saya mengemudikan mobil kijang. Mobil ini berusia 11  tahun ke atas. Tetapi, tenaganya masih awet muda.

Sriningsih adalah nama baru bagi saya. Ternyata artinya adalah “Perantara Rahmat Tuhan pada umat-Nya”. Gua yang terletak di Klaten, tepatnya di Jali, Desa Gayamharjo, Prambanan, ini diresmikan tanggal. 29 Mei 1953. Gua ini masuk wilayah Paroki Santa Maria Bunda Kristus, Wedi, Klaten. Gua ini kemudian direnovasi dan diresmikan pada 19 Agustus 1979 oleh Uskup Agung Semarang (waktu itu), Yustinus Kardinal Darmoyuwono, Pr. (data dari http://gerejafransiskus.com/news/2009/04/gua-maria-sendang-sriningsih-prambanan-klaten/).

Perjalanan dari Yogyakarta ke Klaten cukup lancar. Saya dan ketujuh teman yang menumang mobil Kijang mengikuti rute mobil Panther. Kami melewati gerbang masuk Candi Prambanan. Sebelum masuk kota Klaten, kami belok kanan. Rupanya di situlah cabang   menuju Dusun Jalil.

Perjalanan dari situ masih jauh. Sekitar 30-45 menit lagi. Kami melalui jalanan kecil. Di kiri-kanan ada sawah yang hijau. Pemandangan yang asri. Kebetulan suasananya cerah. Tibalah kami di sebuah gereja. Kami berhenti sebentar untuk buang air kecil.

Gereja itu adalah Gereja St. Maria Marganingsih Jali, yang menjadi bagian dari wilayah Paroki Wedi, Klaten. Rupanya gereja ini menjadi tempat transit bagi pengunjung gua. Di gereja ini dimulai Jalan Salib. Kami tidak membuat ibadat Jalan Salib sehingga hanya berhenti sebentar saja di sini.

Kami melanjutkan perjalanan. Tidak terlalu jauh menuju tempat parkir. Hanya saja, jalannya menanjak dan jelek. Ya ada lubang sedikit. Saya memacu mobil Kijang dengan kencang. Memakai gigi 2 kemudian 1 sehingga tarikan gasnya kuat di tanjakan. Kami memarkir mobil. Lalu, menurunkan semua peralatan yang kami bawa.

Mulailah kami berjalan mengikuti rute anak tangga yang ada. Woao...lumayan jauh, apalagi menanjak. Beberapa dari kami merasa capek. Saya yang membawa kamera, sesekali menjepret biar ada kenangan. Beberapa orang secara bergantian membawa peralatan makan. Dengan ini tidak ada beban berat. Beban itu dipikul bersama hingga terasa ringan.

Puncak dari tanjakan itu adalah Bukit Golgota. Di sini ada Patung Salib Yesus yang besar. Di sini juga terdapat perhentian terakhir (14) dalam ibadat jalan salib. Rasanya puas, melepas dahaga, jika berada di tempat ini. Pemandangan indah terpampang di depan mata. Ini memang puncak yang indah. (bersambung)

PA, 22/4/2013
Gordi



gambar dari google
Wah hari ini, Selasa, 16/4/2013 menjadi hari istimewa. Pertama kali berhadapan dengan polisi selama jadi sopir di Yogyakarta. 

Saya melanggar jalan di daerah Kotabaru, Yogyakarta. Tepatnya di Jl Abubakar Ali, dekat toko Puskat. Saya belok ke kanan ke arah puskat. Rupanya di situ sudah tidak boleh belok langsung lagi.

Pas saya belok, ada motor di belakang. Begitu kosong dari depan, saya belok. Eh rupanya dari arah Kali Code ada beberapa motor. Satu di antaranya adalah motor polisi. Dia datang menghampiri saya. Menyuruh saya ke samping. Saya berhenti dan berhadapan dengannya.

Polisi itu menegur saya. Saya mengiyakan karena saya salah. Dia memberitahukan bahwa kalau mau belok, ke depan dulu, ada belokan di sana. Saya angguk. Dia tersenyum sedikit dan mengatakan, “Atau saya mau tilang?”

Dengan nada memohon, saya menolak. Lalu dia buang muka dan saya meneruskan perjalanan ke puskat.

Wah jantung berdebar. Andai ditilang saya siap terima risiko. Saya memang salah. Dan, saya tentu bisa membenarkan jika dia ngotot. Tetapi setelah saya mengaku salah, dia tidak ngotot.

Terima kasih Pak Polisi yang berbaik hati. Saya akan menaati rambu lalu lintas untuk ke depannya. Saya sering belok di situ. Dan, rupanya sudah ada rambu baru, tidak boleh belok kanan lagi.


PA, 16/4/13
Gordi



Tinggal Kenangannya Saja

foto oleh Pandumonium
Canello di rumah sakit. kami berharap dia akan sembuh. Setelah kami tinggalkan dia di rumah sakit, kami merasa was-was. Apakah dia akan sembuh? Kalau sembuh, butuh waktu berapa hari? Kapan kami menjenguknya? Ataukah kami harus menerima kabar dukacita dari dia? Atau mungkinkah perjumpaan kemarin menjadi perjumpaan terakhir dengannya?

Pertanyaan ini berkecamuk. Seolah-olah kami hanya memikirkan jawaban dari pertanyaan ini dan tidak memikirkan canello yang sedang berbaring lemas di rumah sakit.

Pagi ini (Jumat, 4 April 2013), sekitar pukul 8.30 pagi, saya menerima telepon dari RSH. Perawat dari sana menelepon lewat telepon rumah kami. Saya sendiri yang terima. Ada kabar bahwa Canello makin lemas. Tetapi, dokter dan krunya sedang berusaha agar Canello bisa kuat dan pulih kembali.

Saya tidak merasa cemas. Ini berarti bahwa ada usaha dari pihak RSH untuk kesembuhan Canello. Tetapi akankah Canello sembuh? Pukul 10.30, ada telepon lagi. Kali ini langsung di handphone saya. Saya kaget ada nomor baru, nomor rumah.

Saya terima dan mendengar suara dari perawat RSH. Berita ini adalah kabar dukacita. Ada kalimat yang membuat saya tak mau mengingatnya. “Turut berdukacita karena Canello tidak bisa ditolong lagi. Canello sudah mati.”

Saya sedih mendengarnya. Saya tutup telepon. Kami berencana untuk mengambilnya. Pihak RSH menawarkan untuk diambil pukul 11 atau 12-an. Tetapi, saya tidak bisa. Saya menjanjikan untuk mengambil pada sore hari.

Pukul 13.30, saya menjemput tamu di bandara. Tiba di rumah kembali sekitar pukul 14.30. saya istirahat sampai pukul 15.30.

Pukul 15.45, saya dan kedua teman saya mengambil Canello di RSH. Kami bertemu dokter dan perawat di sana. pertama, kami mengurus administrasi Canello. Alangkah terkejutnya saya dengan biaya perawatan Canello.

Kemarin disepakati, biaya rawat inap selain makanan dan obat-obatan sehari-semalam Rp. 40.000. Saya membayar Rp. 200.000 kemarin. Rupanya uang itu hanya dikembalikan Rp. 4.500. Biaya perawatan Canello yang kalau diperkirakan hanya makan 2 kali (malam dan pagi), dan hidup selama lebih kurang 12 jam, menjadi Rp. 194.500. Woao mustahil menurut pemikiran saya yang awam kesehatan.

Dalam daftar tagihan, ada perinciannya. Hanya saja, saya tidak mengerti untuk beberapa perincian yang biayanya antara Rp. 40.000-Rp. 60.000.

Ini pelajaran berharga bagi saya. Lebih baik Canello dibiarkan mati di rumah daripada dirawat beberapa jam saja di RSH dan biayanya mahal sekali. Saya anggap perjuangan saya untuk keselamatan Canello sia-sia. Demikian juga dengan biaya pengobatan pada hari pertama masuk RSH yang mencapai Rp. 72.500 ditambah biaya rawat yang tidak sampai 24 jam (Rp. 194.500) menjadi sia-sia.

Saya memastikan tidak akan membawa anjing kesayangan saya ke RSH ini. RSH ini memang terkenal dengan kualitasnya menurut komentar beberapa orang yang kami tanya. Mereka menjawab di sana bagus. Hanya saja biayanya yang melonjak seketika itu yang saya tidak suka. Percuma mengeluh karena sudah ada perinciannya. Mungkin RSH ini tidak cocok untuk hewan peliharaan saya. Terima kasih untuk para dokter dan perawat yang sempat menangani Canello. Selamat jalan Canello. (habis)
PA, 8/4/13



Masuk yang Kedua Kalinya

foto dari google
Canello—anjing kesayangan kami—dapat obat dari rumah sakit hewan. Kami memberi obat itu pada malam hari. Dokter menganjurkan untuk diberikan pada jam 7 malam. Sebab, siangnya sudah disuntik.

Canello tampak kuat lagi setelah disuntik tadi siang. Waktu pergi, dia sedikit lemas. Waktu pulang, sudah bisa lompat dari mobil. Ini tanda-tanda baik.

Kami bingung saat memberi obat pada Canello. Ada 1 obat yang harus diberikan sebelum makan dan 2 lainnya sesudah makan. Masalahnya, Canello tidak makan. Lalu bagaimana? Ya obat-obat itu diberikan sekaligus.

Kami menghancurkan obat-obat itu sehingga menjadi seperti bubur. Ada kuah daging juga, dicampur dalam obat yang sudah hancur itu. Itu yang kami berikan pada Canello. Kami membuka mulutnya dan menyuap obat itu. Dia bisa meneguk entah karena suka kuahnya atau karena kami paksa. Mulutnya mula-mula sulit dibuka. Kemudian, terbuka. Dan, kami langsung masukan obat.

Pagi ini (4/4/’13), Canello tampak lemas. Dia tidak kuat lagi. Kami menyuap kuah pada pagi hari. Siangnya dia makin lemas. Sorenya, kami bawa dia ke RSH lagi. Dia rupanya tidak kuat lagi.

Kami masuk RSH pukul 16.00. Kami turunkan Canello lalu daftar di loket. Sore ini antrian tidak lama. Tidak banyak “pasien”. Canello ditimbang lagi lalu dibawa ke ruang pemeriksaan.

Dokter menganalisa kesehatan Canello. Kali ini dokternya lain. Kemarin, dokter lelaki, kali ini dokter perempuan. Sama saja. Mereka semua dokter yang ahli dalam bidangnya.

Canello diinfus, diberi cairan pengganti dalam tubuhnya. Lalu dirawatinap. Dokter menganjurkan demikian. Dan, kami setuju. Sebab, keadaannya makin kritis.

Saya disuruh untuk menandatangani surat keterangan rawat inap. Setelahnya diminta membayar uang muka Rp. 200.000. Wah mahal sekali. Kalau Canello tidak sembuh, sia-sia saja perjuangan kami. Dokter berharap—seperti kami juga—agar Canello sembuh.

Kami tinggalkan Canello. Petugas loket memberitahu jam besuk. Dari pukul 10.00-17.00. Wah RSH ini ada aturan besuknya juga. Tidak sembarang.

Menurut seorang perawat yang kami temui, di luar jam besuk, RSH masih bisa menerima pasien. Tetapi, khusus yang keadaannya darurat. Kalau untuk pemeriksaan saja, tidak dilayani.
Jadwal operasional RSH setiap hari kerja. Hari libur dan hari Minggu tutup. Pada hari Minggu, kalau ada pasien yang darurat bisa dilayani. Pintu RSH diketuk saja, akan dibukakan pintu. Pintu memang selalu ditutup pada waktu bukan jam operasional. Demikian perawat itu menjelaskan pada kami.

Setelahnya kami pulang. Kami berharap Canello sembuh dan kuat lagi. Kalau tidak, kami kehilangan anjing kesayangan. Sembuhkah Canello? Tunggu kisah lanjutannya.  (bersambung)

PA, 8/413
Gordi




Diberdayakan oleh Blogger.