Halloween party ideas 2015

Dua Jam dalam Lion Air


foto ilustrasi oleh  Frikkie Bekker - Airteamimages
Datang dengan Express Air pulang dengan Lion Air. Dua maskapai yang berbeda. Express, maskapai kecil dan Lion, maskapai besar. Lion punya puluhan hingga ratusan pesawat. Dan, sedang dalam penambahan pesawat dan rute perjalanan. Sedangkan Express hanya punya beberapa pesawat. Meski besar, maskapai Lion tidak menjamin ketepatan waktu berangkat. Dan itulah yang saya dan teman-teman penumpang Lion tujuan Yogyakarta dan beberapa kota lain alami hari ini. Kami harus menunggu lebih lama dari waktu yang ditentukan.

Tetapi, saya senang naik Lion Air. Khususnya penerbangan sore ini. Kami memang mulai dengan perasaan tidak enak. Untuk check-in saja antrinya lama. Padahal sudah menunda dari jadwal semula. Kalau telat di salah satu bandara otomatis di bandara berikutnya akan molor juga. Perasaan tidak enak ini menjadi enak ketika kami berada dalam pesawat. Penumpangnya termasuk banyak. Rupanya pesawat yang kami gunakan ini datang dari Manado. Pesawat itu mengantar penumpang Manado-Makasar. Lalu, berikutnya dia mengantar penumpang menuju Yogyakarta. Tetapi bukan saja penumpang dari Makasar. Di samping saya ada penumpang dari Balik Papaan, Kalimantan. Ini berarti penumpang dari rute lain juga berganti pesawat di Makasar.

Perjalanan Makasar-Yogyakarta ditempuh dalam waktu 2 jam. Perjalanan menjadi tidak terasa karena tidak berhenti untuk transit di Surabaya. Kami terbang langsung menuju Yogyakarta. Saya juga tidak merasakan, bagaimana olengnya pesawat, pemandangan di bawah, seperti ketika kami datang. Sebab, saya masuk pesawat dan beberapa saat kemudian setelah lepas landas, saya tertidur. Dan, tidur ini cukup puas karena saya sadar kembali ketika pesawat mau mendarat. Saya tertidur selama dalam perjalanan.

Saya mungkin capek. Tetapi sebetulnya saya tidak capek. Atau mungkin menjadi capek karena menunggu. Kemungkinan lain adalah karena jam tidur, siang hari. Jam 1 atau 2 siang biasanya saya istirahat. Lalu, sebelum berangkat saya makan biskuit. Boleh jadi karena perut kenyang dan jam istirahat, makanya saya tertidur. Dan, enak rasanya tidur. Sadar begini sudah sampai Yogyakarta.

Dua jam dalam Lion Air ini adalah waktu berharga dan berahmat. Berharga karena saya bisa tidur. Kadang-kadang orang susah tidur. Saya malah mudah sekali. Berahmat karena waktu ini menjadi waktu tidak bekerja bagi saya. Meski tidur juga termasuk bekerja, saya sama sekali tidak menghasilkan apa-apa selama 2 jam ini. Kecuali, saya tentu menghasilkan energi baru dalam tubuh.

Setiba di Bandara, saya dijemput oleh sahabat saya. Saya begitu merasa diistimewakan. Tetapi ini semua karena kami bekerja dalam tim. Dan, apa yang kerjakan ini mempunyai tujuan yang jelas. Bukan asal jalan-jalan keluar kota. Segar rasanya setelah tidur, bangun, turun dari pesawat, kemudian dilanjutkan dengan menumpang mobil pribadi. Saya biasanya menjemput, jadi saya yang menyetir mobil. Kali ini saya seperti menjadi pemilik mobil dan punya sopir pribadi. Lagi-lagi saya diistimewakan. Dijemput layaknya orang besar. Tetapi mungkin dalam diri saya orang kecil ini tersimpan potensi untuk menjadi orang besar.

Terima kasih Tuhan untuk anugerah-Mu selama saya berkunjung ke Makasar. Saya sudah bertemu keluarga dan menuntaskan tugas saya di sana. Kini, saya kembali ke Yogyakarta dalam keadaan selamat dan sehat. Sekali lagi, terima kasih untuk semua anugerah-Mu ini. (habis)

PA, 2/5/13
Gordi

Aku Tinggalkan Makasar

pantai Losari, Makasar, foto oleh Kenny Karli
Makasar belum saya telusuri semua. Alun-alun kotanya belum saya lihat. Makasar memang kecil menurut beberapa teman, tetatpi yang kecil ini pun tidak bisa saya kunjungi semua. Ini berarti kota kecil ini menyimpan hal besar yang mestinya saya kunjungi.

Memang benar. Saya belum kunjungi Pantai Losari, salah satu obyek wisata yang ramai dikunjungi di Makasar. Saya memang sudah mendapat beberapa informasi tentang daerah ini. Dan sudah melihat gambar-gambarnya di internet. Besar harapan saya agar saya bisa mengunjungi daerah yang bikin saya penasaran ini. Seperti apakah daerah ini? Apa yang menarik di sini? Lautnya kah? Pantainya kah? Atau ada obyek lain?

Lain Pantai Losari, lain TransStudio. Tempat ini adalah salah satu tempat yang ramai dikunjungi juga. Di sini ada studio besar. Banyak orang Maksar berkunjung ke sini hanya untuk menonton film. TransStudio dan Pantai Losari memang beda. Tetapi keduanya bisa dikunjungi secara bersamaan. Letaknya berdekatan. Sama-sama di daerah pinggir pantai. Saya melihat kedua tempat ini dari lantai 4 gedung Seminari Petrus Claver, Mariso, Makasar.

Saya memang tidak datang untuk mengunjungi obyek wisata. Tetapi, jika ada kesempatan mengapa tidak saya kunjungi. Kan bisa saja. Saya mungkin akan mengunjungi kedua tempat ini pada lain kesempatan saja. Saya harus kembali ke Yogyakarta pada Sabtu, 17 Maret 2013. Saya tetap punya impian tentang kota ini. 

Semoga kelak, saya akan datang ke sini lagi. Impian ini yang saya ceritakan pada keluarga saya sebelum berangkat ke Bandara Internasional Sultan Hasannudin hari ini. Saya diantar oleh keluarga saya. lagi-lagi saya diantar pakai mobil. Betapa besar pengorbanan keluarga saya. Padahal sebenarnya saya diantar pakai sepeda motor saja, itu luar biasa. Atau, kalau tidak saya pakai taksi saja. Biar saya bayar mahal. Itu konsekuensi dari sebuah perjalanan. Tetapi karena bisa bersedia antar maka saya lebih senang lagi.

Gara-gara naik mobil ini saya jadi dengan mudah dan asyik menyaksikan pemandangan di kiri-kanan jalanan dalam kota dan di sekitar tol. Pemandangannya indah. Ada tempat markas mdemo, ada beberapa kampus universitas. Tak ketinggalan bakal mol. Bangunannya sedang dibangun. Ada kantor pemerintah. Pemandangan dalam kota ini beda dengan pemandangan di sekitar tol menuju bandara. Di sini, seperti di tol-tol di Jakarta-Bogor, ada pohon-pohon hijau dan rindang. Ini memang menampilkan hijauanya alam di sekitar tol. Meski itu sebenarnya hanya menipu pemandangan saja. Sebab, pohon-pohon itu seolah-olah menjadi pemandangan alami di sekotar tol. Pemandangan itu seolah-olah menunjukkan bahwa di sekitar jalan tol ini hutan besar berisi pepohonan. Padahal pepohonan itu hanya tumbuh dan ditanam beberapa meter dari jalan tol saja. Sedangkan bagian besar keluarnya tetap gersang atau terisi gedung-gedung.

Perjalanan ke bandara amat mengasyikkan. Apalagi diputarkan juga lagu daerah Manggarai. Seolah-olah kami sednag berjalan di daerah MAnggarai, Flores, NTT. Kami memang membayangkan dan berandai kalau jalan ini ada di Manggarai. Betapa rakyat di sana amat senang. Tetapi menjadi mustahil karena rakyat di sana tidak punya kendaraan semewah yang kami gunakan hari ini. Di sana rakyatnya miskin tetapi punya ambisi besar untuk memiliki mobil. Alhasil, dengan ambisi ini ada di antara mereka yang keluar daerah, merantau. Dan di tanah rantaulah mereka mewujudkan impiannya punya mobil. Salah satunya pemilik mobil yang kami tumpangi ini. Dia adalah contoh orang berambisi yang sukses di tanah rantau.

Setibanya di bandara, saya langsung menuju ke tempat tukar tiket maskapai Lion Air. Saya memberikan kode booking tiket untuk ditukarkan. Karena kodenya itu dikirim dari Yogyakarta melalui sms maka saya menunjukkan saja kode itu kepada petugas. Dia membaca lalu mencocokkan dengan data di komputer. Lalu, keluarlah tiketnya. Kami datang lebih awal ke bandara untuk menyiasati kalau terjadi kemacetan di jalan. Alhamdulillah kami tiba lebih cepat juga. Kami gunakan waktu ini untuk bercerita dan berfoto di bandara sebelum saya masuk ke ruang tunggu.

Saya dan keluarga saya bercerita panjang lebar. Kami dulu hanya bertemu waktu saya kecil, masih SD. Dan, kini kami bertemu lagi. Bapa kecil saya sudah punya dua anak. Keduanya sudah SD. Dan, seperti mereka, saya dulu bertemu bapa mereka ketika saya berumur seusia mereka. Itulah yang kami kenangkan dalam perbincangan di bandara ini. Menarik mengisahkan perjalanan kisah kehidupan kami. Kami menyimpulkan bahwa kami harus bersyukur atas semua ini. Hidup emmang mesti disyukuri. Tak terasa kami bertemu lagi setelah sekian tahun tidak bersua. Itulah yang kami syukuri. Waktu berangkat makin mendekat. Kami pun berpisah. Mereka kembali ke tempat parkir mobil dan saya masuk ruang tunggu. Saya hanya bersyukur atas semua ini. Semoga kami bisa bertemu kembali. Terima kasih atas pertemuannya. Maaf kalau merepotkan. (bersambung)

PA, 2/5/13
Gordi


Cerita Sampai Larut Malam

gambar, wallpaperswide.com
Cerita lama terkuak ketika ada yang mengisahkannya. Cerita itu pun akan menjadi bahan menarik. Ambil contoh kisah lama yang diceritakan seorang keluarga kami di Makasar. Konon, dia merantau ke Makasar ketika mama saya masih di sekolah menengah. Dia tahu betul kisah hidup mama saya. Nah, ketika saya bertemu dengannya, dia menguak kembali kisah hidup mama saya. Dia bangga melihat saya sebagai anak mama, anak dari saudari sepupunya.

Saya hanya mendengar paparannya. Saya memang pernah mendengar tentang keluarga kami ini. Tetapi amat terbatas. Kami tahu ada keluarga yang sudah lama merantau ke Makasar. Kami hanya bisa membayangkan. Belum pernah melihat orangnya. Bahkan fotonya pun tidak. Itulah sebabnya saat dia bertemu saya dia menyuruh saya menebak siapa dia. Saya betul-betul tidak mau menebak. Dia ngotot tetapi saya tidak mau. Bukan karena sekadar tidak mau. Saya mau supaya dia sendiri yang memberitahukan pada saya sebagai anaknya.

Dia pun akhirnya menjawab. Dia adalah saudari dari mama saya. Bukan saja memberitahu sebagai saudari tetapi cerita lain mengalir juga. Dulu dia merantau ketika mama saya masih sekolah menengah. Tetapi mereka sudah saling berkenalan. Mama saya kiranya tahu bahwa saudarinya ini suatu saat akan bertemu saya. Dan, memang saya bertemu dengannya dalam kunjungan ke Makasar ini.

Cerita lain tentang seputar keluarga kami dan keluarga dia juga ikut terkuak. Sejarah, asal-usul, kisah hidup, situasi keluarga, situasi di kampung, tentang kehidupan keluarganya sekarang, dan beberapa topik lainnya menjadi bahan pembicaraan. Saya mendengar saja. Memang tugas saya hanya mendengar. Saya sama sekali tidak punya bahan cerita. Saya hanya ambil bagian ketika sesekali meminta penjelasan ulang. Atau juga membuat perbandingan dengan keadaan dan situasi sekarang.

Saya betul-betul merasa puas mendengar cerita saudari sepupu dari mama ini. Saya dapat pengetahuan baru dari cerita ini. Saya tidak berada pada posisi untuk menilai. Bukan itu tujuan saya mendengar cerita ini. Saya mencoba mengambil hikmah dari pengalaman yang dituturkan. Terutama kisah petualangan hidupnya. Salah satu yang berkesan adalah bagaimana dia menumbuh-kembangkan iman anak-anak.

Dia dikenal sebagai guru bina iman. Sehari-hari memang, saudari dari mama saya ini, mengajar di sekolah. Sebagai guru tentu dia punya jiwa mendidik. Dan dia tidak saja mendidik di sekolah. Dia juga menjadi pendidik iman anak-anak di Gereja. Maka dia menjadi guru di dua tempat, di sekolah dan di institusi keagamaan. Di sekolah sebagai pengajar ilmu empiris. Di institusi keagamaan dia dikenal sebagai pengajar iman Katolik. Dia disukai anak-anak kecil justru karena dia berpengalaman menjadi pengajar iman anak. Anak yang nakal, menurutnya, mesti dibina sejak kecil. Dan ada hasilnya. Anak-anak didikannya patuth padanya ketika melihat dia ikut bersama mereka dalam pesta besar keagamaan.

Selain sebagai pendidik, dia juga ikut dalam organisasi sebuah koperasi yang cukup berkembang saat ini yakni, Credit Union. Di sini dia dipandang sebagai orang senior untuk cabang wilayahnya. Dengan ikut sertanya di beberapa lembaga ini, dia hanya punya sebagian waktu untuk keluarga. Itulah sebabnya dia menggunakan waktu yang ada untuk kembali ke keluarga. Bertemu suami dan anak-anaknya. Memang mereka sudah besar (anak-anak)  dan hampir semuanya berkeluarga. Tinggal satu orang yang tinggal bersama dia dan suaminya di rumah.

Setiap hari dia mengajar. Maka, cerita malam ini pun harus berakhir sebelum tengah malam. Kami berhenti bercerita pada jam 11.50 malam waktu Makasar. Dia senang bertemu saya. Dia kini tidak saja kenal mama saya tetapi juga saya sebagai anaknya. Saya juga senang bukan main karena bisa bertemu dan berkenalan dengannya. Terima kasih Ibu Maria, kita sudah berkenalan dan berbagi cerita. Salam dan doaku untukmu.


PA, 2/5/13
Gordi

Naik Mobil ke Mariso

foto ilustrasi jalan di Gowa
oleh Die Welt, wie ich sie vorfand
Diistimewakan. Kata itulah yang menggambarkan perjalanan saya di Makasar. Saya diistimewakan ketika berangkat dari rumah keluarga saya di Gowa ke Mariso-Makasar. Gowa adalah kabupaten terdekat dari ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, Makasar. Jaraknya hanya 11 kilometer. Itulah sebabnya antara Gowa dan Makasar biasanya ditempuh dengan sepeda motor saja. Warga yang bekerja di Makasar tinggal di Gowa. Atau warga yang bekerja di Gowa tinggal di Makasar.

Saya diantar dari Gowa ke Makasar menggunakan mobil. Kebetulan ada keluarga yang punya mobil. Dia termasuk orang sukses di antara keluarga di sana. Tinggalnya di Gowa. Dan dia menawarkan untuk naik mobilnya ke Mariso. Tak sia-sia dia beli mobil. Mungkin juga karena saya adalah tamu di sana. Memang dia baik—dalam hal ini—menurut saya. Bapak saya dulu mengajar dia ketika masih SD. Entah itu juga masuk pertimbangannya untuk mengantar saya atau tidak. Yang jelas dia rela mengajak bapa kecil saya dan adik saya untuk sama-sama mengantar saya ke Mariso.

Saya begitu merasa istimewa. Saya ini orang kecil. Pelayan rakyat kecil. Saya sebenarnya hanya bisa diantar pakai sepeda motor saja seperti yang dilakukan saudara sepupu saya tadi pagi. Sepupu saya mengantar saya dari bandara Sultan Hassanudin, Maros ke Gowa dengan sepeda motor kecilnya. Saya memang butuh perjuangan keras menahan sakitnya pantat dan menepis debu yang beterbangan di jalanan. Tetapi, saya senang karena dengan itu, saya tahu, betapa berat perjuangan saudara saya di kota Makasar ini. Sebagai saudara, saya juga pantas mengalami perjuangan berat seperti ini. Memang tidak seberapa. Saya hanya mengalami selama sejam sedangkan mereka mengalami berhari-hari selama mereka mencari nafkah di Makasar.

Keistimewaan saya ini membuat saya senang juga. Betapa asyiknya naik mobil di kota Makasar. Bisa lebih leluasa melihat pemandangan di sekitar jalan. Lagi-lagi ini terjadi atas jasa keluarga yang baik hati ini. Saya tidak menyangka saya akan diantar pakai mobil. Semula saya duga akan naik motor saja. Toh saya sudah naik motor dari bandara yang jaraknya sekitar 25 kilometer ke kota Makasar. Kalau dihitung jaraknya menjadi 36 kilometer. Jarak Makasar-Gowa 11 km, bandara-Makasar 25 km. Jarak dari Maros—daerah tempat bandara berada—ke Makasar adalah 30 km. Dugaan saya meleset. Dan kepelesetan ini betul-betul di luar dugaan. Faktanya memang kami naik mobil.

Saya diterima oleh romo kenalan saya di Seminari Petrus Klaver-Makasar. Kami bercerita sebentar lalu dia menunjukkan kamar untuk saya. Saya menuju kamar kemudian keluar lagi untuk mengurus keperluan mandi. Saya tidak emngira juga kalau di kamar tidak ada persediaan perlengkapan mandi. Saya memang terbiasa membawa perlengkapan mandi ketika bepergian. Hanya saja beberapa waktu belakangan saya jarang bawa karena di tempat tujuan saya selalu disediakan perlengkapan mandi. Rupanya ini tidak berlaku di sini.

Tetapi ini tidak menjadi persoalan bagi saya. Yang penting bagi saya, ada kamar untuk tidur, mandi, dan merenung. Dan ini semua sudah saya dapat di sini. Malam ini saya bisa tidur tenang di kamar ini. Di sekitar tempat tidur saya memang ada banyak tempat tidur lengkap dengan kasurnya. Kamar ini memang menjadi tempat isolasi bagi orang sakit dan butuh perawatan. Jadi, kalau ada siswa seminari yang mengalami gejala seperti ini diperilakan untuk menggunakan ruang ini. Tentu saya tidak mengalami ini. Saya menginap sebagai tamu. Dan saya menginap selama 2 malam di sini. Tes dengan siswa yang saya temui mulai malam ini. Satu untuk malam ini, besok tiga dan lusa sisa satu. Itulah sebabnya sore hari pada hari ketiga saya bisa kembali ke Gowa. Siang harinya saya bertemu teman saya di rumahnya.

Dia kaget karena saya bisa melihat rumahnya. Inilah istimewa yang lain yang saya alami dalam kunjungan ke Makasar ini. Dari yang mustahil menjadi kenyataan. Kami kenal melalui dunia maya. Dan kami berelasi akrab meski tidak pernah bertemu dan tidak akan bertemu. Ternyata dunia nyata berbcara lain. Saya bisa mendatanginya. Mungkin ini penyelenggaraan Dia di atas. Kami bercerita selama 2 jam lebih di tengah panasnya hawa Makasar. Tetapi kami tidak bisa jalan-jalan sore hari di Pantai Laotsari, salah satu tempat ramai di sana. tetapi cukuplah pertemuan ini. Cerita berikutnya bersambung yah... (bersambung)

PA, 2/5/13
Gordi
Diberdayakan oleh Blogger.