Halloween party ideas 2015

MELIHAT MUSIM PANAS DARI PEGUNUNGAN DI ITALIA


Panorama pegunungan tidak selamanya identik dengan tebing tinggi, curam, dan menakutkan. Ada juga panorama indah yang membuat mata kita bersinar. Dari mata ke perasaan. Muncul rasa takjub.

Inilah yang saya alami dua hari lalu saat kami mampir di daerah pegunungan di kota Reggio Emilia dekat kota Parma. Letaknya di daerah pegunungan. Daerah yang bernama Borzano-Canossa ini tidak terlalu tinggi. Kira-kira 600-700 meter di atas permukaan laut.

Tempat ini menjadi tempat tinggi bagi kami yang tinggal di daerah dataran rendah seperti kota Parma dan Reggio sekitar 400-500 meter dpl. Maka, berada di daerah pegunungan 600-700 meter tadi bagi kami merupakan sesuatu yang baru dan menarik.

Menikmati panorama indah itu bukan sebuah kebetulan. Saya memang sudah bertanya pada sahabat saya jika saya boleh ikut mereka ke daerah pegunungan ini. Ada misa arwah dari keluarga sahabat kami. Setelah dia menjawab YA, saya pun senang. Saya sudah membayangkan betapa indahnya berada di daerah pegunungan ini di musim panas seperti ini.


Jalanannya menanjak dan bertikungan tajam. Tidak ada cara lain kecuali berhati-hati menyusurinya. Sopir kami memang hebat. Kebetulan dia dari daerah pegunungan juga. Maka, setelah ngebut di daerah perkotaan dari Parma ke Reggio, dia juga tetap ngebut ke daerah pegunungan ini.

Gereja tempat misa berlangsung tepat berada di puncak gunung ini. Dari sini pun pemandangan indah ada di mana-mana. Ke mana saja mata melihat di situlah ada pemandangan indah. Saya mencoba berputar ke 4 penjuru mata angin. Benar saja, pemandangan sama saja. Indah dipandang. Panorama seperti ini tidak saya dapat jika saya terus berada di Parma, di dataran yang luas itu.

Rupanya masih ada warga yang tinggal di daerah ini. Rumahnya sedikit dan berjauhan. Tetapi, tingkat solidaritasnya tinggi. Saat itu, banyak yang hadir dalam misa. Dari anak kecil sampai kakek-nenek.


Gerejanya kecil tetapi bangunannya kokoh. Satu dari beberapa penjaga atau pemelihara gereja ini mengatakan bahwa, gedung gereja ini dibangun beberapa abad yang lalu. Saat itu, seorang raja di daerah ini mempunyai kekuasaan yang besar. Dia pun membangun gereja ini sebagai tempat berdoa sekaligus juga sebagai bukti kekuasaannya. Selain gereja, ada juga beberapa kastil yang sampai sekarang masih eksis bangungannya.

Tinggal di daerah pegunungan ini memang asyik. Lebih-lebih saat musim panas seperti ini. Saat orang-orang kota lelah kepanasan dan lari ke laut, warga di pegunungan ini diam-diam saja bersantai di kedai kopi, pizzeria (tempat jual pizza), bar (tempat jual berbagai minuman termasuk kopi), atau piazza (halaman) di pusat kota. Merekalah yang asyik menikmati suasana musim panas ini.

Suhunya yang panas dipadu dengan angin sepoi khas pegunungan. Suhu panas ini bagi orang kota menjadi lebih panas. Bagi warga di pegunungan suhu ini pas karena dipadu dengan suhu di daerah pegunungan. Jadi, memang asyik untuk dinikmati.


Rasa-rasanya mau tinggal lama-lama di pegunungan ini. Saya hampir mengatakan pada teman saya, kita kontrak satu atau dua rumah di tempat ini untuk menikmati liburan musim panas. Saat musim dingin kita kembali ke kota.

Dari gunung ini bisa melihat panorama di sekitar. Di beberapa sisi, tampak daerah pegunungan di beberapa bagian lain di kawasan ini. Ada juga pemandangan indah ke kota yang letaknya di bawah kaki gunung. Hamparan luas juga tampak dari jauh.

Warna-warni alam musim panas makin tampak. Ada kuning dan hijau. Hijaunya rumput dan peohonan rindang. Kuningnya rumput yang kering dan juga cokelatnya tanah yang digembur. Di puncak beberapa gunung pun tampak pemandangan ini. Ada bagian hijau dan ada bagian yang kuning dan cokelat. Tampak bagian gunung yang tidak ditumbuhi pohon atau rumput. Ini adalah panorama khas pegunungan.


Warga di sini bermata pencaharian berladang dan beternak. Teman saya dari daerah ini mengatakan bahwa masing-masing keluarga di sini memiliki ternak kambing atau sapi. Ada beberapa yang jumlahnya besar sekali. Dari sinilah mereka memproduksi daging dan susu. Jadi, tinggal di gunung ini memang berarti siap-siap menjadi peternak dan pekerja di ladang.

Tanaman anggur juga menjadi favorit di daerah ini. Ada anggur untuk buah dan ada anggur untuk minuman. Anggur untuk buah tampak di mana-mana terutama di pinggir jalan. Pohonnya berjajar rapi. Sudah dipasangkan tongkat tegak tempat pohonnya menjalar. Pohon anggur ini memang butuh sandaran agar cabangnya bisa berkembang dan buahnya nanti bisa bersandar di sini. Jika tidak, pohonnya akan menjalar di tanah dan buahnya tidak banyak.


Buah anggur ini nantinya bisa dimakan sebagai buah atau juga diolah untuk minuman anggur. Kebanyakan memang langsung dimakan. Jadi, buahnya dipetik langsung dari pohon dan tidak perlu diolah lagi. Rupanya ada juga kebun anggur yang memang dikhususkan untuk memproduksi minuman anggur. Warga di pegunungan ini lebih suka memproduksi anggur buah ketimbang memproduksi minuan anggur. Meski demikian, daerah ini juga terkenal dengan minuman anggurnya.

Rumput di daerah ini masih ada yang hijau. Tak heran jika di pinggir jalan masih tampak pemandangan gulungan rumput untuk makanan sapi. Rupanya baru saja dipotong. Kira-kira baru 4 hari atau 1 minggu. Ini kiranya potongan yang ketiga. Rumput di daerah pegunungan memang lebih tahan lama ketimbang rumput di daerah kota yang suhunya agak panas.


Rumput hijau ini juga menjadi pertanda tanahnya subur. Di beberapa bagian memang ada traktor yang sedang membolak-balik tanah. Ini cara orang Italia mengawetkan tanah dan juga merayu tanah agar menghasilkan buah yang berlimpah.

Pemandangan seperti ini adalah khas daerah pegunungan. Betapa saya beruntung bisa menikmatinya. Apalagi di waktu yang tepat yakni musim panas. Mungkin ceritanya lain jika saya datang di musim dingin. Boleh jadi menggigilnya kuat dan pemandangannya bukan lagi hijau tetapu putih bersalju. Udaranya bukan lagi dari angin sepoi tetapi dari suhu rendah di musim dingin.


Terima kasih untuk ketujuh sahabatku yang bersama-sama dalam perjalanan ini. Kalian mungkin sudah biasa tetapi bagi saya ini tidak biasa. Maka, terima kasih juga sudah bersabar mendengar banyak pertanyaan saya dan menjawabnya satu per satu.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

PRM, 19/8/2016


Gordi

Dipublikasikan pertama kali di blog kompasiana

BERJEMUR DI PANTAI SAN MICHELE, LOKASI FAVORIT WARGA ITALIA



Namanya keren dan terkenal yakni San Michele. Letaknya dekat Pantai Portonovo di kota Ancona, Italia Tengah. Pantai ini jadi primadona warga kota Ancona dan sekitarnya.

Pantai San Michele masih satu gugus dengan Pantai Portonovo yang saya tulis sebelumnya. Terletak di kaki Gunung Conero, di kota Ancona, Italia Tengah. Meski satu gugus, Pantai San Michele tetap menjadi sebuah keunikan tersendiri. San Michele bersama beberapa pantai lain di sekitar Gunung Conero ini memang masing-masing mempunyai kelebihan tersendiri.

Kelebihan ini ada tak lain karena kehebatan orang Italia dalam mengelola pantai. Lihat saja, tujuh pantai yang berdekatan dikelola dengan caranya masing-masing. Tak jarang, warga pun tidak bosan mengunjunginya. Setelah Portonovo, warga Ancona masih bisa mengunjungi San Michele. Masing-masing dalam waktu yang berbeda. Butuh waktu seharian untuk menikmati semua keunikan yang ada di setiap kawasan pantai.

Beda dengan Portonovo yang bisa dijangkaui dengan mobil, Pantai San Michele dicapai dengan perjalanan panjang. Harus melewati jalan setapak nan terjal di balik gunung. Lalu, ada ratusan anak tangga sebelum turun di bibir pantai. Jika Anda kuat jalan kaki menembus semak di hutan kecil, Andalah yang cocok masuk Pantai San Michele.

Tetapi jangan khawatir dulu. Pada musim panas biasanya, ada bus besar yang mengantar sampai di dekat pantai. Bus ini memang disediakan khusus oleh pemerintah kota Ancona khususnya kota kecamatan Sirolo.



Dengan bus ini, pengunjung tidak perlu mengitari semak di hutan. Cukup dengan 3 euro, tiket bus sudah ada di tangan. Lalu, cukup dengan 15 menit, bus sampai di dekat pantai.

Jalanan untuk bus ini pun, cukup seru. Bayangkan medannya turun gunung. Seperti beranjak turun dari bukit ke lembah. Rutenya pun dibuat berputar-putar agak bus bisa berjalan lancar. Tikungannya tajam dan berbahaya. Untung saja ada banyak pohon yang menghalangi mata. Kalau tidak, pasti ada yang takut melihat curamnya pemandangan ke laut.

Di tikungan ini pun, sopir bus harus membunyikan klakson berkali-kali. Memang jalan ini hanya untuk 2 bus besar. Jadi, sopir pun sudah tahu jadwal trayek. Tetapi, di jalan ini juga lalu lalang mobil bus kecil dari berbagai hotel di kota Sirolo. Mobil kecil inilah yang meramaikan jalan kecil ini.

Perjalanan ke pantai belum selesai. Dari pemberhentian bus, pengunjung harus melewati ratusan anak tangga sampai ke bibir pantai. Di sini juga butuh sedikit tenaga khususnya saat naik atau pulang dari pantai. Untuk turunnya gampang saja. Untuk naik, biasanya yang tua akan berhenti sampai beberapa kali.



Dari kejauhan, pantai ini memang berada di kaki gunung. Untuk mencapainya, tidak ada pilihan lain selain melewati gunung. Dari gunung ke pantai. Atau juga ada pilihan lain yang lebih mudah. Masuk dari pantai yang berada di dekatnya. Misalnya masuk dari Pantai Portonovo. Pilihan ini pun laris manis. Cukup dengan perahu kecil berukuran seperti sampan, berisis 4-10 orang.

Kebanyakan pengunjung dari kota Ancona memilih cara pertama yakni naik bus. Pilihan kedua biasanya untuk turis manca negara. Untuk orang Ancona, pilihan kedua buang-buang waktu saja. Mereka tidak mau mengunjungi dua pantai dalam sehari. Mereka akan berhenti di satu pantai sebelum melihat pantai berikutnya. Sehingga, meski berkali-kali mengunjungi Pantai San Michele, mereka tetap naik bus dan tidak masuk dari pantai lainnya.

Di sela-sela kegiatan kami pada akhir Juli lalu, kami mengunjungi Pantai San Michele ini. Anak-anak SMA yang bersama kami kebanyakan berasal dari daerah pantai. Mereka senang bisa ke pantai. Kunjungan ini memang kami rencanakan dan menjadi bagian dari kegiatan formasi. Maka, semua anak wajib datang termasuk kami tim pembina.



Peralatan untuk pantai disediakan. Payung besar tempat berteduh, air mineral dalam botol kecil, bola untuk bermain, handuk panjang untuk alas jemur, dan sebagainya. Bayangkan betapa ramainya kami dalam perjalanan ini.

Dari rumah, kami naik beberapa mobil kecil. Ada yang bertiga, berempat, dan ada yang naik bis kecil berukuran 9 orang. Perjalanannya sekitar 30 menit sampai tiba di tempat perhentian terakhir di Taman Republika.

Dari taman ini, kami berjalan kaki ke kompleks taman dan membeli tiket bus di halte terdekat. Kami menunggu bus di sini. Bus yang lewat setiap 30-45 menit ini datang dan kami semuanya masuk. Bus pun jadi ramai. Teriakan yel yel muncul saat bus oleng ke kiri dan kanan lalu berputar-putar mengitari jalanan turun itu. Teriakan berhenti saat kami tiba di tempat pemberhentian akhir.

Perjalanan selanjutnya adalah menuruni anak tangga. Rupanya banyak juga anak tangganya. Anak-anak remaja ini tetap menjaga ketertiban saat turun tangga. Di beberapa bagian memang tangganya untuk dua arah. Satu jalur turun dan satu jalur naik. Di beberapa bagian lagi, hanya satu jalur sehingga harus berganti.

Kami tiba di bibir pantai saat matahari sore bersinar terang dan cahayanya menyengatkan kulit. Kami mendirikan tenda payung kami. Di dalamnya, kami simpan acqua dan perlengkapan lainnya. Lalu, semuanya memakai pakaian renang dan langsung ke laut.

Yang cowok biasanya tidak rendam lama di air. Mereka bermain setelah acara rendam pertama selesai. Saat kulit terasa panas, mereka balik lagi ke laut. Yang cewek juga rupanya tak mau kalah. Mereka juga merebut bola untuk bermain. Jadinya, kami bermain bersama.

Di pantai ini memang banyak hal bisa dibuat. Pengunjung lain juga ada yang bermain bola. Ada yang berjemur saja. Ada yang berjalan menyusuri bibir pantai. Ada yang bercerita di balik tenda payungnya. Ada yang belajar berenang khususnya anak-anak. Ada yang membaca buku di balik tenda. Ada juga pedagang berwajah Asia dan Afrika yang lewat. Jual ray ban, topi, kipas angin, dan sebagainya.

Pantai ini memang indah dan unik. Dari ujung tampak pemandangan yang menakjubkan. Warna birunya laut dipadu dengan latar belakang hijau hutan Gunung Conero. Di permukaan bibir pantai tampak warna pasir putih dari tebing gunung. Di tebing ini ada peringatan untuk pengunjung agar tidak bermain di tebing. Ada juga pembatas agar pengunjung tidak terperanjat di kawasan pasir yang jatuh sesekali dari tebing.

Untuk keamanan, Italialah juaranya. Keamanan ini tidak saja untuk lingkungan seperti mewajibkan pengunjung membuang sampah di kotak sampah. Keamanan ini juga termasuk di kawasan restoran yang ada di bibir pantai.

Restoran ini memang tidak ada yang permanen. Restoran ini hanya semi permanen. Ada saat liburan saja. Tetapi bangunannya seperti bangunan permanen. Di sini tersedia semua kebutuhan pengunjung misanya makanan dan minuman juga perlengkapan untuk renang atau main sky air, dan sebagainya.

Di dekat restoran selalu ada kamar mandi untuk umum. Di sini pengunjung bisa mandi dan buang air dengan gratis. Tidak ada pungutan. Petugas kebersihan mencek sesering mungkin agar keamanan dan kebersihannya terjaga.

Pasukan penjaga pantai selalu siaga di mana-mana. Saat kami kunjung, pengunjung memang banyak sekali. Tenda-tenda payung milik hotel terdekat semuanya sudah diisi. Penjaga pantai pun sibuk memonitor pengunjung yang banyak itu.

Mereka memang hadir di setiap sudut dengan rentang jarak sekitar 100-150 meter. Ada tenda kecil agak tinggi tempat mereka mengontrol. Dari situ, dengan mudah bisa mengontrol pengunjung yang tenggelam misalnya. Atau berada di daerah baya. Pluit dibunyikan biasanya saat ada pengunjung yang tenggelam atau masuk daerah bahaya.



Tetapi, ini jarang sekali. Ombak di pantai ini sudah ditahan oleh penyangga yang terletak agak ke dalam ke tengah pantai. Di sana dipasang kumpulan batu yang bisa mengurangi laju ombak. Ini bagian dari strategi mengurangi kecelakaan laut.

Inilah hebatnya orang Italia mengelola pantai. Mereka butuh pantai sebagai tempat berjemur di musim panas. Maka, mereka akan berusaha agar pantai itu bisa dimanfaatkan.

Kalau di Indonesia, saya yakin pantai yang sulit diakses seperti ini akan dibiarkan. Toh, Indonesia kaya pantai. Cari saja yang mudah diakses. Kalau bisa yang mudah mengapa cari yang sulit. Ini biasanya prinsip kita di Indonesia. Prinsip ini tidak berlaku di sini. Di sini, yang sulit pun dibuat mudah. Yang tidak bisa diakses pun dibuat bisa diakses.

Ini buktinya. Pantai di balik gunung pun menjadi pantai yang paling diminati. Padahal jaraknya jauh. Jarak yang jauh di mata ini diubah oleh orang Italia. Hasilnya pantai ini menjadi dekat di hati. Jauh di mata dekat di hati. Boleh jadi juga karena orang Italia saking gila-gilanya berburu keindahan pantai. Inilah cara orang Italia mengelola pantai.

Sekadar berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.

ANC, 11/8/2016

Gordi

Dipublikasikan pertama kali di sini
Diberdayakan oleh Blogger.