Halloween party ideas 2015


Setelah sekian waktu menikmati kemacetan, kami sampai di alamat yang dituju. Jarum jam menunjukkan pukul 5 sore. Di luar rumah biara kongregasi CB dan RSCJ tampak beberapa tamu berkumpul. Ada juga yang sedang memasuki pintu gerbang yang dibiarkan terbuka. Para Suster RSCJ menyambut kami dengan ramah. “Wah….ini tamu yang datang dari tempat terjauh…” sapa seorang suster. Betul juga ya..dari Jakarta ke Bandung.

Seorang suster mempersilakan kami mengambil makan dan minuman ringan sebagai “jamuan sambutan” di salah satu sudut rumah. Di sini kami ditemani beberapa sahabat dari Jakarta. Mereka tiba lebih dulu dengan travel. Kalau kami tahu, mereka bisa ikut di mobil kami. Tetapi tak apa-apa, kendaraan boleh berbeda, tujuan kami sama.

Kawasan ini agak unik. Nama jalan di kompleks ini diambil dari nama beberapa daerah di Indonesia misalnya Ambon, Aceh, Flores, dan Banda. Dikelilingi pohon rindang, kompleks ini menjadi sejuk. Cukup jauh dari jalan utama sehingga kebisingan terhindar dari penduduk setempat. *Semua gambar dari google images

Pukul 5.30, perayaan Ekaristi peresmian rumah novisiat RSCJ dimulai. Tamu yang hadir berasal dari berbagai agama. Yang saya tahu ada agama Islam dan Katolik. Meski demikian, kami bersatu dalam perayaan Ekaristi. Seolah-olah tak ada sekat agama. Orang Muslim pun ikut berdiri dan menyanyikan lagu pembuka. Di tengah situasi toleransi di Indonesia, ternyata masih ada pemeluk agama yang bisa hidup berdampingan dengan damai. Ini menjadi contoh bagi pemeluk lain.

Saat-saat unik dalam perayaan Ekaristi. Waktu komuni, orang Katolik yang sudah dibaptis menerima hosti sedangkan orang Islam menerima buah khusus semacam buah kurma. Kami masing-masing menerima makanan rohani (jika teman-teman Muslim meyakini buah itu sebagai makanan rohani seperti kami yang Katolik meyakini hosti sebagai makanan rohani), hanya bentuknya berbeda. Teman-teman Muslim pun senang menikmati buah itu. Di balik semua ini, ada kekayaaan yang amat berharga. Teman-teman Muslim yang hadir adalah sahabat dan kenalan dari Suster Gerardette RSCJ. Kerasulannya sebagai dosen dan penasihat kepausan dalam bidang hubungan antar-agama memudahkan peluangnya untuk berdialog.
 
Selesai perayaan Ekaristi, kami menikmati jamuan makan malam. Nuansa persaudaraan semakin terasa. Makan dari makanan yang sama. Dialog langsung dengan semua tamu yang hadir mengiringi makan malam ini. Manusia bisa disatukan dengan acara makan bersama. Kegiatan yang melampaui batas-batas sosial, agama, suku, dan sekat lainnya.

Setelah makan, kami sempat berkelilingi melihat rumah biara ini. Sebagian dari biara 3 lantai (lantai 3) milik kongregasi CB ini, dipakai oleh para suster dan novis RSCJ. Kongregasi CB sudah membuka jalan lebih dulu di Bandung, kini giliran mereka memberi jalan itu kepada RSCJ. Dalam kata pengantarnya Suster Gerardette, RSCJ mengatakan bahwa kini saatnya “sang kakak” (kongregasi CB) membantu “sang adik” (kongregasi RSCJ) merintis karya kerasulan Gereja Katolik di Bandung ini.

Pukul 9, kami berangkat dari Bandung. Tak seperti waktu datang, perjalanan pulang ini tidak begitu unik. Hujan rintik mewarnai lalu lintas jalan, suasana kabut dan gelap semakin menjadi. Beruntung konfrater yang menyetir mobil lincah. Saya kebanyakan tidur. Dia ditemani satu teman yang berdiskusi sepanjang perjalanan. Saya bangun ketika kami keluar dari tol dalam kota Jakarta. Kedua teman kami berhenti di Cawang, Jakarta Timur. Perjalanan ini berakhir pukul 11. 25, ketika kami tiba di rumah.

Terima kasih Tuhan atas pengalaman hari ini. Engkau mengizinkan kami melihat indahnya kota Bandung dan merekatnya persaudaraan lintas-agama di Bandung. Bandung akan selalu dikenang. Semoga kesejukan “paris van java” ini merasuk jiwa warga untuk bisa hidup berdampingan antar-agama, antar-kelas sosial, antar-suku, dan kelas lainnya. (selesai…)

Cempaka Putih, 29 April 2011


Menjelang pintu gerbang kota Bandung, saya sadar kembali. Istirahat selama beberapa waktu tadi cukup untuk menampung tenaga dan siap melihat “Paris van Java” dari dekat. Suhu mulai naik. Bandung ternyata tidak hujan. Dari kaca mobil terlihat papan penunjuk “Jalan Layang Pasteur”.

Kami melewati jalan ini setelah keluar dari tol. Jalan yang merupakan salah satu jalan layang di Bandung ini mulai dipadati kendaraan roda dua dan empat. Kami pun lagi-lagi menikmati “situasi Jakarta”. Namun ada yang beda. Di sini pengendara sepeda motornya tertib. Tidak seperti Jakarta yang suka serobot di antara mobil. Sepeda motor menggunakan jalur kiri.

Kami harus menemukan Jalan Ambon No. 25 Bandung. Sebelum sampai di sini, kami melewati beberapa jalan yang ramai dan sempat macet. Wah…..pemandangan Bandung beda sekali dengan Jakarta. Meski gedung tinggi dibangun, pohon-pohon rindang masih mendominasi kawasan perkotaan. Suhunya sejuk.

Di alun-alun kota, mulai berkumpul beberapa kelompok warga. Ada yang berkeluarga, pasangan muda/i, anak-anak, dan remaja. Mereka memadati “lahan hijau” alias lapangan dan taman. Ada beberapa kelompok sedang mengadakan pertandingan sepak bola dan bola voli. Ada juga yang sekadar berkumpul menikmati tontonan olahraga itu. Impaian akan kota yang memiliki ruang gerak yang luas memang ada di sini. Kalau mau menikmati ruang hijau yang luas, datanglah ke Bandung. 

Misteri julukan “Paris van Java” mulai terkuak. Konon, Bandung terkenal dengan keindahan alamnya dan suhunya yang sejuk. Ini masih terasa sebagiannya hingga sekarang. Suhu dingin masih terasa dan masih tersisa kawasan hijau. Beberapa pohon rindang penyejuk sekaligus pengindah kota masih tampak. Seperti terlihat sore ini.

Pada abad 18 (1786) dan awal abad 19 (1809) banyak pendatang dari Eropa (kolonial Belanda, Perancis, Italia, dan beberapa lainnya) datang ke Bandung. Selanjutnya, beberapa pendatang dari Cina mulai bergabung. Pendatang Cina membangun beberapa industri di kota yang namanya berasal dari kata BENDUNG dan berarti dam, bendungan, dan waduk. Sementara itu, pendatang Eropa senang dengan suasana Bandung yang sejuk. Bisa diduga merekalah yang memberi julukan Bandung sebagai “Paris van Java” atau “Paris dari Pulau Jawa”.

Keindahan alam dari kota tempat diadakannya konferensi Asia-Afrika (18-24 April 1955) ini setara dengan keindahan kota Paris. Bandung yang terletak di dataran tinggi memiliki suhu yang cocok dengan suhu untuk orang Eropa pada umumnya. Pemandangan yang terlihat sore ini memang merupakan sisa dari sejarah kuno ini.

Masih ada bekas jejak-jejak peradaban. Bandung yang semula merupakan ibu kota Kerajaan Padjajaran (1488) sampai kini dikenal dengan berbagai bangunan bersejarah. Sebut saja, gedung konferensi Asia-Afrika dan Gedung Sate (Uraian lebih lengkap kunjungi SEJARAH GEDUNG SATE di http://era90.blogspot.com) yang sempai dilihat sore ini.

Gedung Sate merupakan salah satu obyek wisata di Jawa Barat. Gedung ini diresmikan pada 27 Juli 1920. Gedung ini sekarang dijadikan gedung pusat pemerintahan Jawa Barat. Sore ini, kami sempat melihat sebagiannya dari jendela mobil. Tampak dindingnya berwarna Putih dan ornamen berbentuk tusuk sate di menaranya. Woaoao…gedung ini memang merupakan gaya khas Indonesia dan Barat. Gaya Indonesia pada bagian menara dan gaya Barat pada struktur bangunan.  (Bersambung...)


Cempaka Putih, 22 April 2011

Sawah di Karawang
Nama “Paris van Java” begitu akrab di telinga. Tiap kali mendengar nama Paris, akan terbayang “Paris van Java” di Indonesia.  Ada apa kok nama yang jauh di Perancis sana bisa dekat di telinga orang Indonesia?

Jumat, 25 Maret 2011. Saya dan kedua konfrater menghadiri sebuah acara di Bandung. Perjalanan sore hari nan sepi mengasyikkan. Bagi saya, ini kali kedua melihat Bandung. Sebelumnya, bulan Mei 2010. Namun, itu hanya perjalanan singkat sebab hanya singgah sebentar. Perjalanan itu bermula dari kunjungan ke tempat doa di Subang, Banten lalu menuju Lembang. Lembang dekat dengan Bandung.  Di sinilah tempat pembuatan tahu paling terkenal. Dari situ, mampir di Bandung sebeblum melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

Perjalanan kedua ini memberi harapan baru. Melihat kota berjulukan “Paris van Java” ini dari dekat. Harapan baru mulai terasa sejak keluar dari kota Jakarta. Ya…Jakarta sebagai kota macet. Kami pun sempat menikmati antrian panjang di tol dalam kota dan lingkar luar. Kami sudah memperkirakan dari awal. Perjalanan akan menghabiskan sekian waktu dari waktu normal. Maka, berangkat lebih awal, pukul 2 siang. Padahal acaranya pukul 5. 30. Ini bagian dari persiapan perjalanan.

Harapan baru juga terlihat melalui pemandangan di kiri-kanan jalan tol Cikampek dan tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang-Bandung). Agak beda dengan tol dalam kota Jakarta yang dikelilingi gedung-gedung. Beda pula dengan tol Jakarta-Puncak yang dikelilingi berbagai pohon rindang dan diselingi kompleks perumahan serta kompleks rumah penduduk.

Tol Cikampek menampilkan wajah pedesaan. Beberapa daerah persawahan masih terlihat. Sawah sebagai tempat produksi padi masih bertahan di tengah gempuran bangunan megah. Di beberapa daerah, sawah bahkan disulap menjadi area perbelanjaan atau kompleks perumahan elit.

Gerbang salah satu kawasan industri 
Area persawahan ini juga masih bertahan di tengah ekspansi kawasan industri di daerah Karawang. Kawasan dikenal dengan kawasan industri. Tak heran jika di papan penunjuk tol, ada tulisan “Anda memasuki kawasan industri”. Beri acungan jempol buat petani, pejuang pangan di negeri ini. Meski pekerjaan mereka sekarang tidak mendapat banyak simpati kaum elit, mereka yang di sekitar daerah Karawang masih setia dengan lapangan pekerjaan yang diwariskan leluhur bangsa ini.

Lain lagi dengan tol Cipularang(Cikampek-Bandung). Pemandangan unik. Kiri-kanan jalan dihiasi kawasan perkebunan. Di beberapa tempat memang tampak masih gersang. Tanahnya merah dan hanya ditumbuhi ilalang. Bukit-bukit terjal masih terlihat dari jalan. Aura pertanian khas pedesaan tampak di jalan tol ini.

Salah satu pemandangan 
di tol Cipularang

Seorang teman berkomentar bahwa jalan tol ini membelah gunung. Mungkin benar. Saya kurang begitu teliti melihatnya. Di beberapa tempat memang jalan ini melewati daerah yang agak tinggi. Lalu, ada turunan yang agak miring. Makanya, perjalanan melalu jalan tol ini membawa harapan baru, harapan akan hal baru.*Semua gambar dari googleimages

Misteri di balik nama “Paris van Java” belum terpecahkan. Ada apa sampai kota Bandung dijuluki demikian? Pertanyaan ini serasa hilang sesaat karena keasyikkan melihat pemandangan di sekitar jalan tol. Di beberapa tempat, kami melihat jalur rel kereta api Parahyangan jurusan Jakarta-Bandung. Di balik punggung bukit terlihat tiang penyangga jembatan rel. Lintasan kereta api memang seperti efek tak langsung dari Sabda “Ratakanlah jalan yang bergelombang”. Di beberapa lintasan dia (kereta) membutuhkan jembatan, permukaan yang rata antar-lintasan.

Agaknya perkataan teman di atas tadi benar. Kawasan jalan tol ini mendapat banyak sinar matahari. Di beberapa tempat dipasang lampu bertenaga surya. malam hari lampu-lampu ini menyala, menerangi jalan. Untuk diketahui bahwa sebagain besar kawasan tol ini tidak mendapat aliran listrik. Ini disebabkan karena tol ini memang menembus beberapa kawasan bukit dan sama sekali belum ada rumah penduduk.

Mata saya semula enggan terpejam melihat pemandangan ini. Bayangan akan pemandangan di desa dan kampung saya segera muncul. Bukit-bukit gersang, daerah pertanian yang ditumbuhi beberapa jenis tananaman pertanian, kawasan tanpa aliran listrik.

Lama-lama hujan deras membuyarkan semua lamunan itu. Pendingin mobil serasa tidak sebanding dengan dinginnya suhu di kawasan bukit. Jarak pandang hanya 5 meter. Kabut tebal mulai bergerak. Laju mobil dikurangi meski jalanan masih sepi. Mata saya tak tahan lagi, mulai terpejam, dan akhirnya tak sadarkan diri. (bersambung….)



Cempaka Putih, 14 April 2011
Diberdayakan oleh Blogger.