Halloween party ideas 2015

Ada Orang Indonesia di Singapura

Kami keluar dari pesawat. Saya mendengar suara orang berbahasa Indonesia. Kalau penumpang tentu saya tidak kaget. Suara ini berasal dari petugas di bandara. Bahasa Indonesia, bisik saya ke Fonsi. Dia juga dengar itu. Wah…di sini ada orang berbahasa Indonesia. Kalau begitu, semoga kami tidak tersendat nanti. Demikain harapan kami.

Memang petugas itu menggunakan bahasa Indonesia untuk memberi informasi. Beberapa di antara mereka memang orang Indonesia. Saya melihat mereka berwajah Indonesia. Juga bahasanya bagus. Yang lainnya, sebagian besar, orang keturunan India di Singapura. Mereka juga berbahasa Indonesia dengan dialek yang tidak lazim. Mungkin karena pesawat ini dating dari Jakarta sehingga mereka menggunakan bahasa Indonesia. Mereka mengira penumpangnya banyak dari Indoensia. Padahal lebih banyak orang Barat-nya dalam pesawat ini.

Kami masuk jalur yang ditunjukkan. Pesawat sedang parkir. Saya melihat dari ruang tunggu. Pesawat itu dicek kelayakannya. Mungkin ada pengisian bahan bakarnya juga. Ada juga petugas yang mengecek ban, badan, dan di bagian tempat penyimpanan bagasi. Wah mungkin benar komentar bahwa di Singapura ada pembersihan pesawat.

Kami antri di ruang pemeriksaan. Pemeriksaan ini seperti pemeriksaan terakhir di Soe-Hat. Selain tas, jaket, dan topi, sepatu juga dilepas. Sebelum itu, ada pemeriksaan dokumen. Tiket dan passport/visa. Untuk dokumen, kami lolos. Memang dokumen kami lengkap. Di bagian detektor, juga kami lolos. Kami memang tidak membawa barang berbahaya.

Pemeriksaan di sini ketat. Ada penumpang yang tasnya dibuka. Isinya dikeluarkan satu per satu. Entah apa yang mencurigakan dari tasnya. Saya tidak memerhatikan bagaimana selanjutnya. Dia ini persis di depan saya. Untung bukan saya. Saya cepat-cepat mengambil tas dan jaket saya menuju ruang tunggu. Saya lihat Fonsi di belakang saya. Dia juga tidak terjadi apa-apa. Wah lega rasanya hati ini. Kami lolos.

Bayangan untuk jalan sendiri langsung buyar. Demikian juga dengan bayangan kalau-kalau Fonsi kembali ke Indonesia. Atau tertahan di sini untuk beberapa lama. Rupanya pemeriksaan yang ketat ini telah kami lewati.

Setelahnya, kami menuju pesawat lagi. Tidak lama di sini. Hanya 45 menit. Ngomong-ngomong apa yahhh nama bandara ini. Saya juga tidak menemukan tulisan nama bandaranya. Atau ada tetapi tidak saya perhatikan. Kalau pun ada, biasanya sulit dihafalkan namanya. Namanya dekat ke nama-nama tempat di Cina atau Korea. Dan memang bandara ini adalah Bandara Internasional Changi atau Changi International Airport. Nama ini saya dapatkan dari tiket. Bukan dihafal. Makanya saya juga tahu kalau kami akan turun di terminal 1.

Selanjutnya kami kembali ke pesawat lagi. Di dalam sudah ada penumpang lainnya. Jumlahnya lumayan banyak. Hampir saingan dengan kami yang datang dari Jakarta. Entah siapa yang terbanyak. Yang jelas di bagian Group A, ¾ kursi penumpang sudah terisi dari Jakarta. Itu berarti hanya ¼ dari kursi yang ada diisi oleh penumpang Singapura. Kalau saya lihat sepintas dari wajah penumpang ini, sebagainnya dari India, Singapura, juga lainnya orang Barat. Ada yang pakai jaket bertuliskan Italia. Juga saya dengan ada yang berbahasa Italia. Memang pesawat ini menuju Roma tetapi transist di Turki-Istanbul.

Hal baru lainnya adalah perlengkapan di kursi pesawat. Kami melihat ada selimut, satu bundel kecil berisi, sikat gigi, pasta gigi, kaus kaki, juga headset. Wah….perjalanan ini menjadi menarik. Tetapi entahkah lebih menarik dari penerbangan dari Jakarta ke Singapura???? Mungkin Ya atau juga Tidak. (bersambung)

Parma, 26 September 2013

Gordi

Menuju Singapura yang Sulit Dilewati

Katanya di Singapura nanti ada pemeriksaan secara ketat. Istilahnya pembersihan pesawat. Entah apa yang dimaksud. Yang jelas, pesawat harus bersih dari benda berbahaya. Apakah mereka tidak yakin dengan pemeriksaan ketat di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta? Boleh jadi demikian. Ataukah mau lebih bersih lagi? Saya tak peduli dengan itu. Asal saya sudah lewat pemeriksaan di Soe-Hatt, itu sudah cukup.

Pesawat besar ini pelan-pelan bergerak. Belum naik ke udara. Masih di darat. Dan saya dan Fonsi pun ikut menyaksikan gelapnya bandara dan gemerlapnya lampu dari pesawat lainnya, lampu mobil bandara, juga lampu dari ruang bandara yang masih bisa kami lihat. Rupanya, kami harus menunggu dengan sabar. Harus antri untuk lepas landas. Banyak pesawat lain di depan kami. Juga ada pesawat yang hendak mendarat. Saya sempat melihat ada Lion Air, Garuda Indonesia, dan maskapi lokal lainnya.

Setelah menunggu dengan sabar, tiba giliran kami naik. Saya merasakan saat-saat kami duduk miring karena badan pesawat juga miring. Mula-mula mulutnya menanjak, ekornya merendah. Kemudian badan pesawat rata tetapi miring sedikit, entah mencari arah yang tepat. Selanjutnya saya tidak merasakan pergerakan pesawat lagi. Seolah-olah kami diam padahal pesawat tetap bergerak. Dan saat kami diam itu tiba-tiba pramugari pesawat datang, membagikan makanan. Segelas air dan sepotong roti.

Begitu dapat makanan itu, saya langsung melahapnya. Ngomong-ngomong perutku lapar. Tadi siang makan terakhir di Indonesia. Dan rupanya itu makan nasi terakhir untuk saya. Setelahnya tidak bertemu nasi lagi. Jam menunjukkan pukul 8 malam lewat sekian. Di tiket memang tertulis berangkat jam 7.50 malam. Tetapi kan ada tetek-bengek yang lainnya sehingga perutku dapat suplay makanan baru pada jam sekian.

Hati saya senang karena sudah kenyang. Selanjutnya saya membuka monitor di depan saya. Rupanya alat ini hanya disentuh saja. Dan tangan saya sudah biasa menyentuh teknologi seperti ini. Tidak elit tetapi saya pernah mengoperasikan teknologi layar-sentuh seperti ini. setelah mendapat yang saya cari, saya duduk tenang, tutup mata dan hanya mendengar saja. Saya memang sedang memutar musik, lagu instrumental. Entah siapa yang memainkan musik dalam lagu ini. Saya belum begitu akrab dengan pengarang lagu seperti ini.

Fonsi di samping saya asyik menonon film. Dia memang suka film. Saya tidak memerahtikan film apa yang sedang ia tonton. Saya dengar music saja sambil tutup mata. Dan mata tertutup ini rupanya berhasil membius kesadaran saya. Saya tidur pulas. Perjalanan dua jam dari Indonesia ke Singapura tak terasa. Tahu-tahu, pesawat miring, dan akhirnya mendarat. Ada pengumuman, penumpang harus turun, membawa serta dengan barang bawaan di kabin.

Kami juga bergegas. Tak lupa tas di kabin. Saya dan Fonsi berbisik, kalau-kalau nanti ada pemeriksaan lagi. Kami memang sudah mendengar informasi di Indonesia bahwa, di sini aka nada pemeriksaan lagi. Fonsi memikirkan pemeriksaan itu. Jangan-jangan dia tidak diizinkan lagi untuk terbang. Sebab, di Jakarta saja kami tersendat. Saya tidak peduli dengan pemeriksaan ini. Saya berprinsip, jika Jakarta lolos, yang lainnya akan lolos sampai tujuan. Tetapi saya juga merasa sedih jika saya sendiri yang akan melanjutkan perjalanan. Sayang jika Fonsi harus berhenti di Singapura. Apakah dia akan dia akan menunggu di sini saja? Ataukah dia harus kembali ke Indonesia dulu? (bersambung)

Parma, 26 September 2013
Gordi

Diberdayakan oleh Blogger.