Naik kereta akhir-akhir ini menjadi momok bagi orang tertentu. Betapa tidak. Beberapa kejadian mengkhawatirkan masyarakat.
Misalnya tabrakan beruntun, kereta keluar dari rel, keterlambatan yang tiada terkira, dan sebagainya. Masalah tabrakan dan kecelakaan serupa yang menewaskan manusia menjadi sumber kekhawatiran tertinggi. Meski demikian, peminat transportasi ini masih tinggi. Tak kapokkah??
Harga tiketnya yang bisa dijangkau membuat peminatnya tetap tinggi. Kebanyakan penumpangnya adalah rakyat kecil menengah ke bawah. Meski terlihat pula kaum berkecukupan. Saya dan teman-teman sekomunitas masuk dalam pengguna kereta api. Bukan KRL Jabodetabek tetapi Kereta Api Progo tujuan Yogyakarta. Perjalanan dari dan ke Jogyakarta menggunakan kereta yang sama. Cerita panjang pun muncul dari perjalanan ini. Sayang kalau dilewatkan begitu saja. Petualangan yang menjadi pengalaman berharga bagi 35 anak muda di Indonesia.
Sore itu, Kamis, 16 Juni 2011. Mulai dengan naik metromini 47 dari rumah ke stasiun. Berdesak-desakakn dengan penumpang lain di bis kota ini. Namun tak perlu buru-buru sebelumnya. Sekarang masih jam 7. Kereta progo berangkat jam 9 dari stasiun Senen. Masih ada 2 jam.
Meski demikian, kami mesti berada di stasiun jauh sebelum jam 9. Selain mengantisipasi kemacetan di jalan, di tiket tertulis lebih kurang 30 menit sebelum berangkat, penumpang sudah berada di area stasiun. Lalu waktu 2 jam tadi digunakan untuk apa? Adakah itu digunakan dengan kegiatan yang bermanfaat?
Bermodalkan pengalaman menjadi pemulung selama sebulan dan menjadi sahabat anak-anak jalanan, kami memberanikan diri mendekat dengan anak-anak jalanan di stasiun. Pendekatan ini berhasil. Kami bergaul dengan mereka meski hanya 2 jam. Pengalaman berkesan. Kami bercerita dengan mereka. Mengingat beberapa waktu lalu ketika kami bertemu dan memulung bersama. Kami mengingat mereka dan mereka mengingat kami. Suasananya akrab sekali. Tak hanya itu, kami berfoto bersama. Bahkan beberapa di antara kami menjadi tukang koran dan tukang kipas amatiran. Menjual koran dan kipas anak-anak. *Semua foto: dokumen pribadi
Itulah yang kami lakukan ketika hidup bersama mereka beberapa waktu lalu selama sebulan lebih. Tak heran kalau beberapa penumpang di sekitar kami heran. Anak muda ini kok bias bergaul dengan anak-anak tukang koran di sini. Ya itulah seninya hidup ketika kita saling percaya. Waktu 2 jam ternyata berguna.
Pukul 9, kami meninggalkan stasiun. Kegembiraan bersama mereka berubah menjadi kegembiraan antara kami. Sambil melambaikan tangan, kami dan mereka sama-sama berjauhan.
Pengalaman berkesan tadi mulai hilang gaungnya. Canda dan tawa ria mulai hilang. Kini, tinggal kami yang duduk berdekatan, depan-belakang, di dalam satu gerbong. Kereta berjalan pelan…..bayangan mereka semakin jauh hingga akhirnya tak terlihat. Kami memang sudah berjauhan.
Kereta kini mulai mempercepat lajunya. Di beberapa stasiun di daerah Jabodetabek, kereta berhenti. Penumpang baru masuk. Suasana kereta tambah ramai dan padat. Di tempat kami, suasananya ramai. Ada yang bermain kartu, tebak-tebakkan, bernyanyi, dan sebagainya. Tentu saja ini bisa mengganggu penumpang lain yang membutuhkan waktu hening. Sebab, yang lelah biasanya butuh istirahat.
Pelan-pelan kami pun diam seribu bahasa. Diam sambil membaca Koran atau buku. Sebagian tidur pulas, sebagian menggigil kedinginan. Udara masuk melalui celah kaca jendela kereta. Padahal sebagian orang di kereta kepanasan karena sesak. Sesekali kereta berhenti di beberapa stasiun di daerah Jawa Tengah. Kadang-kadang juga kereta ekonomi berhenti bukan distasiun. Sesuai aturan main, kereta eksekutif didahulukan.
Setelah berjalan dalam kegelapan selama beberapa jam, kini terang terbit. Kereta berhenti di stasiun Kebumen. Pemandangan alam mulai terlihat. Mentari belum memancarkan sinarnya. Namun, warna kemerah-merahan mulai muncul. Langit Kebumen mulai merah. Pemandangan yang indah. Kesempatan untuk menikmati indahnya langit.
Ketika mata turun melihat sekitar, pemandangan hijau muncul. Ya…persawahan di daerah Kebumenlah yang memantulkan semua ini. Tak bosan-bosannya mata ini melihat pemandangan baru, beda dengan Jakarta yang diisi dengan beton dan semen.
Pelan-pelan langit berubah dari merah ke kuning-kuning. Itu pertanda mentari naik, di atas permukaan gunung. Kereta berjalan semakin cepat. Di sini tidak ada lagi stasiun yang harus disinggahi. Rel-rel dipasang di antara ladang masyarakat sehingga perjalanan tidak terganggu.
Pemadangan seperti ini terlihat hingga kami tiba di kota Yogyakarta. Pukul 9, kota pelajar dan kota gudeg ini menyapa kami. Berakhirlah perjalanan kami dengan kereta ini. Berakhir pula teriakan “mizon-mizon, aqua-aqua, sayang anak-sayang anak” dan teriakan lain dari para pedagang di kereta. Perjuangan kalian tetap terngiang di telinga kami. Sampai jumpa.
Perjalanan selanjutnya menuju rumah kami di Sebelah Utara Kota Gudeg. Tiga mobil mengangkut kami ke sana. Setelah berjabatan tangan dengan konfrater di kota pelajar, kami dipersilakanh masuk. Masakan khas Yogyakarta sudah tersedia. “Selamat makan dan selamat beristirahat”, ucap konfrater itu. Ya..kami butuh istirtahat setelah perjalanan semalam. Suasana Yogyakakarta yang sejuk, damai, indah, dan harmoni menyelimuti kami dalam peristirahatan ini sebelum memulai aktivitas selama seminggu…. Thanks be to God for your protected…
Pandega Asih-Yogyakarta, 17 Juli 2011
Gordi Afri
Posting Komentar