BERJEMUR
DI PANTAI SAN MICHELE, LOKASI FAVORIT WARGA ITALIA
Namanya keren dan terkenal
yakni San Michele. Letaknya dekat Pantai Portonovo di kota Ancona, Italia
Tengah. Pantai ini jadi primadona warga kota Ancona dan sekitarnya.
Pantai
San Michele masih satu gugus dengan Pantai Portonovo yang saya tulis
sebelumnya. Terletak di kaki Gunung Conero, di kota Ancona, Italia Tengah.
Meski satu gugus, Pantai San Michele tetap menjadi sebuah keunikan tersendiri.
San Michele bersama beberapa pantai lain di sekitar Gunung Conero ini memang
masing-masing mempunyai kelebihan tersendiri.
Kelebihan ini ada tak lain karena kehebatan orang Italia dalam mengelola
pantai. Lihat
saja, tujuh pantai yang berdekatan dikelola dengan caranya masing-masing. Tak
jarang, warga pun tidak bosan mengunjunginya. Setelah Portonovo, warga Ancona
masih bisa mengunjungi San Michele. Masing-masing dalam waktu yang berbeda.
Butuh waktu seharian untuk menikmati semua keunikan yang ada di setiap kawasan
pantai.
Beda dengan Portonovo yang bisa dijangkaui dengan mobil, Pantai
San Michele dicapai dengan perjalanan panjang. Harus melewati jalan setapak nan terjal di balik
gunung. Lalu, ada ratusan anak tangga
sebelum turun di bibir pantai. Jika Anda kuat jalan kaki menembus semak di hutan
kecil, Andalah yang cocok masuk Pantai San Michele.
Tetapi
jangan khawatir dulu. Pada musim panas
biasanya, ada bus besar yang mengantar sampai di dekat pantai. Bus ini
memang disediakan khusus oleh pemerintah kota Ancona khususnya kota kecamatan
Sirolo.
Dengan
bus ini, pengunjung tidak perlu mengitari semak di hutan. Cukup dengan 3 euro,
tiket bus sudah ada di tangan. Lalu, cukup dengan 15 menit, bus sampai di dekat
pantai.
Jalanan untuk bus ini pun,
cukup seru. Bayangkan medannya turun
gunung. Seperti beranjak turun dari
bukit ke lembah. Rutenya pun dibuat berputar-putar agak bus bisa berjalan lancar. Tikungannya tajam dan berbahaya. Untung saja ada banyak pohon yang menghalangi mata.
Kalau tidak, pasti ada yang takut melihat curamnya pemandangan ke laut.
Di tikungan ini pun, sopir bus harus membunyikan
klakson berkali-kali. Memang jalan ini hanya untuk 2 bus besar. Jadi, sopir pun
sudah tahu jadwal trayek. Tetapi, di jalan ini juga lalu lalang mobil bus kecil
dari berbagai hotel di kota Sirolo. Mobil kecil inilah yang meramaikan jalan
kecil ini.
Perjalanan ke pantai belum selesai. Dari
pemberhentian bus, pengunjung harus
melewati ratusan anak tangga sampai ke bibir pantai. Di sini juga butuh
sedikit tenaga khususnya saat naik atau pulang dari pantai. Untuk turunnya
gampang saja. Untuk naik, biasanya yang tua akan berhenti sampai beberapa kali.
Dari
kejauhan, pantai ini memang berada di kaki gunung. Untuk mencapainya, tidak ada
pilihan lain selain melewati gunung. Dari gunung ke pantai. Atau juga ada
pilihan lain yang lebih mudah. Masuk dari pantai yang berada di dekatnya.
Misalnya masuk dari Pantai Portonovo. Pilihan ini pun laris manis. Cukup dengan
perahu kecil berukuran seperti sampan, berisis 4-10 orang.
Kebanyakan
pengunjung dari kota Ancona memilih cara pertama yakni naik bus. Pilihan kedua
biasanya untuk turis manca negara. Untuk orang Ancona, pilihan kedua
buang-buang waktu saja. Mereka tidak mau mengunjungi dua pantai dalam sehari.
Mereka akan berhenti di satu pantai sebelum melihat pantai berikutnya.
Sehingga, meski berkali-kali mengunjungi Pantai San Michele, mereka tetap naik
bus dan tidak masuk dari pantai lainnya.
Di
sela-sela kegiatan kami pada
akhir Juli lalu, kami mengunjungi Pantai San Michele ini. Anak-anak SMA yang
bersama kami kebanyakan berasal dari daerah pantai. Mereka senang bisa ke
pantai. Kunjungan ini memang kami rencanakan dan menjadi bagian dari kegiatan
formasi. Maka, semua anak wajib datang termasuk kami tim pembina.
Peralatan
untuk pantai disediakan. Payung besar tempat berteduh, air mineral
dalam botol kecil, bola untuk bermain, handuk panjang untuk alas jemur, dan
sebagainya. Bayangkan betapa ramainya kami dalam perjalanan ini.
Dari
rumah, kami naik beberapa mobil kecil. Ada yang bertiga, berempat, dan ada yang
naik bis kecil berukuran 9 orang. Perjalanannya sekitar 30 menit sampai tiba di
tempat perhentian terakhir di Taman Republika.
Dari
taman ini, kami berjalan kaki ke kompleks taman dan membeli tiket bus di halte
terdekat. Kami menunggu bus di sini. Bus yang lewat setiap 30-45 menit ini
datang dan kami semuanya masuk. Bus pun jadi ramai. Teriakan yel yel muncul
saat bus oleng ke kiri dan kanan lalu berputar-putar mengitari jalanan turun
itu. Teriakan berhenti saat kami tiba di tempat pemberhentian akhir.
Perjalanan
selanjutnya adalah menuruni anak tangga. Rupanya banyak juga anak tangganya.
Anak-anak remaja ini tetap menjaga ketertiban saat turun tangga. Di beberapa
bagian memang tangganya untuk dua arah. Satu jalur turun dan satu jalur naik.
Di beberapa bagian lagi, hanya satu jalur sehingga harus berganti.
Kami tiba di bibir pantai saat matahari sore bersinar terang dan
cahayanya menyengatkan kulit. Kami mendirikan tenda payung kami. Di dalamnya,
kami simpan acqua dan perlengkapan lainnya. Lalu, semuanya memakai pakaian
renang dan langsung ke laut.
Yang
cowok biasanya tidak rendam lama di air. Mereka
bermain setelah acara rendam pertama selesai. Saat kulit terasa panas, mereka
balik lagi ke laut. Yang cewek juga rupanya tak mau kalah. Mereka juga merebut
bola untuk bermain. Jadinya, kami bermain bersama.
Di pantai ini memang banyak
hal bisa dibuat. Pengunjung
lain juga ada yang bermain bola. Ada
yang berjemur saja. Ada yang berjalan menyusuri bibir pantai. Ada
yang bercerita di balik tenda
payungnya. Ada yang belajar berenang
khususnya anak-anak. Ada yang membaca
buku di balik tenda. Ada juga pedagang
berwajah Asia dan Afrika yang lewat. Jual ray ban, topi, kipas angin, dan
sebagainya.
Pantai
ini memang indah dan unik. Dari ujung tampak pemandangan yang
menakjubkan. Warna birunya laut
dipadu dengan latar belakang hijau hutan
Gunung Conero. Di permukaan bibir pantai tampak warna pasir putih dari tebing gunung. Di tebing ini ada peringatan
untuk pengunjung agar tidak bermain di tebing. Ada juga pembatas agar
pengunjung tidak terperanjat di kawasan pasir yang jatuh sesekali dari tebing.
Untuk
keamanan, Italialah juaranya. Keamanan ini tidak saja untuk lingkungan seperti
mewajibkan pengunjung membuang sampah di kotak sampah. Keamanan ini juga
termasuk di kawasan restoran yang ada di bibir pantai.
Restoran
ini memang tidak ada yang permanen. Restoran
ini hanya semi permanen. Ada saat liburan saja. Tetapi bangunannya seperti
bangunan permanen. Di sini tersedia
semua kebutuhan pengunjung misanya makanan dan minuman juga perlengkapan
untuk renang atau main sky air, dan sebagainya.
Di
dekat restoran selalu ada kamar mandi
untuk umum. Di sini pengunjung bisa mandi dan buang air dengan gratis.
Tidak ada pungutan. Petugas kebersihan mencek sesering mungkin agar keamanan
dan kebersihannya terjaga.
Pasukan penjaga pantai selalu siaga di mana-mana.
Saat kami kunjung, pengunjung memang banyak sekali. Tenda-tenda payung milik
hotel terdekat semuanya sudah diisi. Penjaga pantai pun sibuk memonitor
pengunjung yang banyak itu.
Mereka
memang hadir di setiap sudut dengan
rentang jarak sekitar 100-150 meter. Ada tenda kecil agak tinggi tempat mereka
mengontrol. Dari situ, dengan mudah bisa mengontrol pengunjung yang tenggelam
misalnya. Atau berada di daerah baya. Pluit dibunyikan biasanya saat ada
pengunjung yang tenggelam atau masuk daerah bahaya.
Tetapi,
ini jarang sekali. Ombak di pantai ini sudah ditahan oleh penyangga yang terletak agak ke dalam ke tengah pantai. Di sana
dipasang kumpulan batu yang bisa mengurangi laju ombak. Ini bagian dari
strategi mengurangi kecelakaan laut.
Inilah
hebatnya orang Italia mengelola pantai. Mereka butuh pantai sebagai tempat
berjemur di musim panas. Maka, mereka akan berusaha agar pantai itu bisa
dimanfaatkan.
Kalau
di Indonesia, saya yakin pantai yang sulit diakses seperti ini akan dibiarkan.
Toh, Indonesia kaya pantai. Cari saja yang mudah diakses. Kalau bisa yang mudah mengapa
cari yang sulit. Ini biasanya prinsip kita di Indonesia. Prinsip ini
tidak berlaku di sini. Di sini, yang sulit pun dibuat mudah. Yang tidak bisa
diakses pun dibuat bisa diakses.
Ini
buktinya. Pantai di balik gunung pun menjadi pantai yang paling diminati. Padahal
jaraknya jauh. Jarak yang jauh di mata ini diubah oleh orang Italia. Hasilnya
pantai ini menjadi dekat di hati. Jauh di mata dekat di hati. Boleh
jadi juga karena orang Italia saking gila-gilanya berburu keindahan pantai.
Inilah cara orang Italia mengelola pantai.
Sekadar
berbagi yang dilihat, ditonton, didengar, dirasakan, dialami, dibaca, dan
direfleksikan.
ANC, 11/8/2016
Gordi
Dipublikasikan pertama kali di sini
Posting Komentar