Sumber gambar google |
Ini masih soal perjalanan. Sebelumnya, saya sudah menulis persiapan perjalanan jauh seperti obat-obatan. Saya juga pernah menulis soal tips berjalan kompak dalam perjalanan menggunakan sepeda motor. Kali ini, saya mau menulis tentang persiapan yang tak kalah pentingnya.
Saya mulai dengan kisah kami (saya dan tiga teman). Kami berangkat jam 6 pagi dari rumah menuju sebuah Gereja Katolik di daerah Pluit. Daerah yang cukup jauh dari rumah kami. Dari Jakarta Pusat ke Jakarta Utara. Dua sepeda motor kami gunakan. Ini bagian dari penghematan juga. Kalau satu-satu motor tentu tidak efisien. Lagi pula, kami memang tidak mempunyai cukup motor untuk digunakan satu-satu.
Perjalanan pergi cukup lancar. Lalu lintas pagi biasanya lenggang. Paling-paling pengguna sepeda atau kelompok lari pagi dan jalan sehat yang merajai jalan. Pagi ini, kami menghindari jalur-jalur ramai yang biasanya menjadi jalur jalan sehat atau jalur sepeda. Kami melewati jalur luar yang pelintasnya tidak terlalu ramai.
Memang benar. Dengan menembus udara pagi yang dingin dan segar, kami tiba di tempat tujuan lebih kurang 45 menit. Dinginnya minta ampun. Saya yang tidak mengenakan jaket lebih dingin. Meski duduk di belakang suasana dingin masih terasa. Tak kalah dingin dengan teman yang di depan. Bedanya, dia mengenakan jaket tebal. Jadi, meski dihadang udara dingin, dia tetap bisa menjaga kehangatan badan.
Perjalanan pulang menjadi bumerang bagi kami. Mula-mula perjalanannya juga lancar meski tidak sebanding dengan kelancaran pada perjalanan pergi. Matahari mulai tampak sinarnya. Di jalan, sudah ada angutan kota yang beroperasi. Sepeda motor mulai ramai. Maklum, hari Minggu dikenal sebagai hari pelesiran.
Kami melewati dua rel kereta api. Di rel pertama, kami menunggu lama. Kami tiba di situ sesaat menjelang kereta lintas. Sirene gerbang penyeberangan meraung-raung menghentikan laju kendaraan. Kami ikut dalam antrian panjang itu.
Di rel kereta kedua, kami berjalan lancar. Hanya saja, kami melihat sepeda motor teman kami mulai oleng setelah menyebarangi rel kereta. Ada apa ini? Seorang teamn turun dari motor. Rupanya ada masalah dengan motor mereka. Benar saja, ban belakang gembos. Masih bisa dituntun menuju tempat tambal ban yang berjarak sekitar 10 meter dari situ.
Kalau tempat tambalnya cukup jauh lain lagi ceritanya. Biasanya memang di sekitar pusat keramaian ada banyak tempat tambal ban. Di sekitar tempat itu biasanya rawan kena paku. Kami tidak mau menuduh tukang tambal ban itu. Mungkin memang ban sepeda motor kami sudah tua dan sudah saatnya untuk diganti.
Kami mendekati tukang tambal itu. Dia membongkar ban motor itu. Ternyata bannya sobek. Tidak ada bekas paku di ban dalam dan luar. Ban itu seperti melepuh. Mungkin usianya sudah tua sehingga tak kuat menampung angin. Sebelumnya, sekitar 15 menit, kami menambah anginnya. Apakah anginnya terlalu kencang? Bisa jadi, apa boleh buat.
Kami membayar ongkos ganti ban Rp. 45.000. Ban yang lama dibuang di tempat itu. Kami melaju dengan ban baru. Beruntung kami menyediakan uang cukup. Kalau tidak, kami harus emndorong motor itu sampai di rumah.
Dalam perjalanan terutama yang jauh memang wajib hukumnya membawa uang. Gunanya, untuk hal-hal kecil seperti ini. Kalau isi angin ban cukup bawa kurang dari Rp. 5.000. Namun, untuk mengganti ban seperti ini, bawalah minimal Rp. 50.000. Siap-siap saja di saku. Peristiwa semacam ini datangnya tak terduga, tiba-tiba saja, apalagi di Jakarta rawan paku jalanan. Jadi, jangan sepelekan persiapan kecil ini. Kisah lain tentang persiapan perjalanan akan saya uraikan pada sesi berikutnya. Terima kasih dan salam. ***
Gordi Afri, CPR
14/3/2012
Gordi Afri, CPR
14/3/2012
Posting Komentar