Impian
ke Kota Sultan Hasanudin
Patung Hassanudin, foto oleh Blue__gombel |
Sejak SMA saya sudah mendengar kisah
mereka. Paman saya menyelesaikan SMA-nya di sana. Dia berkisah tentang Makasar
yang waktu itu bernama Ujung Pandang. Dialah yang menginspirasi saya untuk
melihat dari dekat kota di Sulawesi Selatan ini.
Dari dia juga saya sempat
melihat-lihat surat yang ia kirim dari Makasar. Surat itu sebagiannya berisi
cerita tentang kehidupannya di kota ini. Menarik membacanya. Memunculkan tekad
untuk menuju kota ini.
Seorang sahabat juga berkisah
menarik. Menurutnya, Makasar itu jadi tempat cari uang. Dia bekerja di sana dan
bisa membiayai sekolahnya. Dia pejuang yang hebat. Sekolah dengan biaya
sendiri.
Ketika saya di Jakarta, saya
mendengar kisah dua adik saya yang kuliah di Makasar. Keduanya mengatakan
Makasar itu asyik. Mungkin karena mereka bisa hidup tenang di sana. Betapa
tidak, mereka juga dekat dengan keluarga di sana.
Saya rindu bertemu mereka di sana.
Lebih-lebih rindu bertemu adik dari bapak yang hanya bertemu waktu kami kecil.
Juga dengan keponakan bapak yang juga bertemu sewaktu saya dan kakak saya masih
kecil.
Saya tahu Makasar itu kota demo.
Setiap bulan ada demo dari kelompok mahasiswa. Ini yang membuat citra kota ini
jadi buruk. Bahkan di Jakarta, mahasiswa yang datang dari sana akan diseleksi
dengan ketat di tempat kerja. Demikian rumor yang saya dengar. Padahal ada
mahasiswa yang tidak jadi dalang demo di sana. Sayang karena isu demo ini
ibarat kentut, baunya dicium banyak orang. Gaung demo sebagai tindakan
anarkistis terdengar sampai ibu kota dan biangnya dipikul oleh semua mahasiswa
yang berbau Makasar.
Beberapa ketertarikan inilah yang
membuat saya langsung meng-YA-kan tawaran ke sana. Saya pergi sebagai
pengganti. Kebetulan petugas sebenarnya berhalangan. Saya pun menerima dengan
senang hati. Seperti apakah perjalanan ke sana nantinya? (bersambung di sini)
PA, 2/5/13
Posting Komentar