RS Niguarda-kota Milan |
Orang sakit biasanya
lebih banyak diam. Tetapi, pikirannya bekerja, bisa melayang ke mana-mana.
Mereka tampak tidak melakukan apa-apa tetapi sebenarnya dia bekerja dalam diam.
Mereka tampak sepi secara fisik apalagi kalau tinggal sendiri terus di kamar.
Itu sebabnya kalau ada pengunjung, mereka pasti senang. Kalau sedang
semangatnya, mereka pasti biacara banyak hal.
Itulah yang kami
rasakan hari ini, Selasa 23 Juni 2015 di kota Milan, Italy. Kami mengunjungi
sahabat kami, Padre Virginio yang sedang berbaring di Rumah Sakit Niguarda, di
kota Milan. Kami datang menjenguknya dari kota kecil Desio, sekitar 25 km dari
Milan.
Kami berangkat setelah
makan siang. Ini jam tidur saya sebenarnya tetapi saya pikir kunjungan untuk
sahabat ini lebih berharga daripada tidur. Saya lebih cenderung mengutamakan
kunjugan seperti ini. Waktu tidur biasa diganti tetapi kunjungan untuk orang
sakit tidak bisa diganti. Maksudnya, orang sakit biasanya membutuhkan kunjungan
tepat pada saat dia sakit. Inilah saat yang dia butuhkan. Kalau sehat, dia
tidak merasa membutuhkan untuk dikunjungi meski tentu saja bisa dikunjungi.
Kunjungan saat dibutuhkan dan kunjungan biasa memang beda sekali.
Saya beruntung bertemu
dengannya hari ini. Di rumah sakit yang besar ini, kami bercanda dengannya.
Kami, sahabatnya, yang muda-muda ini merasa sudah akrab dengannya. Padahal,
saya sendiri baru mengenalnya hari ini. Mungkin bertemu sebelumnya, tetapi saya
tidak kenal akrab seperti ini. Saya menyapanya dalam bahasa Kiswaili, bahasa
yang dia gunakan di tempat dia bekerja, di Republik Demokratik Kongo, Afrika. Jambo padiri, sapa saya. Dia menjawabnya
dengan nada semangat, jambo sana.
Artinya seperti hai-hallo-ciao padre.
Dia langsung tanya
saya, apakah kamu dari Kongo? Dia tentu
heran, dari warna kulit, tampak saya bukan orang Kongo. Saya jawab bahwa saya
hanya kenal sapaan ini dalam bahasa Kiswaili. Dia tertawa. Pertanyaan dan
tawanya rupanya menandakan bahwa dia tidak sedang sakit. Memang dia tidak
sakit. Dia bercerita panjang lebar pada kami. Dia sampaikan keinginannya untuk
bekerja kembali di Kongo. Sayang kesehatan fisiknya terganggu. Ada sedikit
masalah yang membuatnya—suatu ketika—tidak bisa bergerak. Seperti struk.
Sebagian tubuhnya tidak bisa bergerak. Sama sekali tidak berfungsi dengan baik.
Meski fisiknya masih
sakit, jiwanya sehat. Dia bercerita dengan semangat termasuk menceritakan
kronologi sakitnya. Otaknya masih mampu berpikir termasuk menjawab pertanyaan
kami. Sekarang, kakinya sudah mulai bergerak. Demikian juga sebagian dari
tangannya. Bicara sudah lancar. Hanya saja masih dirawat karena masih butuh
bantuan dokter serta fisioterapi agar penyembuhan totalnya cepat.
Setelah bicara panjang
lebar dengannya, kami pamit. Dia senang, kami mengunjunginya. Dia memang jarang
sendiri—katanya. Saat kami bicara dengannya, banyak juga tamu yang datang
menjenguknya. Katanya, saya tidak sendiri
di sini. Ada saudari saya, keponakan, dokter, perawat, dan pengunjung lainnya.
Lalu, saya menyalaminya sebelum pamit, “Padre, kamu tidak sendiri, kami juga
bersamamu dalam penderitaan ini.”
Dia tersenyum dan
menjawab, “Terima kasih anak muda.”
Saya salut dengan padre
ini. Dia memang sakit tetai tampak sekali dia punya keinginan untuk sembuh. Dia
berharap agar segera sembuh dan kembali bekerja normal. Saya beruntung bertemu
dengannya hari ini. Saya tidak merasa rugi. Saya tinggalkan jam tidur saya.
Tetapi, saya bisa tidur di mobil dalam perjalanan pergi dan pulang. Kalau
dijumlahkan kira-kira 30 menit.
Saya kira rugi padahal
untung. Membuang waktu sebenarnya menerima waktu. Dalam hal ini, logika
untung-rugi betul-betul dibalik. Ini memang bukan bisnis. Ini soal kehidupan
dan kepekaan sosial. Maka, pakailah logika untung-rugi dalam kehidupan dan
jangan pakai logika untung-rugi ala dunia bisnis.
Desio-Milan 23//6/15
Gordi
Posting Komentar