Boleh Menyapa Asal tidak Bersuara
Meski kami tinggal bersama selama sebulan, kami
sesungguhnya tidak saling kenal dekat. Ini karena kami tidak punya kesempatan
untuk berkenalan. Dari pagi sampai malam kami tidak diperkenankan saling
bicara. Hanya diam saja.
Kalau pun bicara hanya saat-saat tertentu saja. Tapi bukan bicara untuk saling kenal. Misalnya saat
pertemuan, kami bisa mendengar suara pembicara. Tapi hanya dia yang bicara.
Kalau kami mau bertanya dipersilakan. Tapi jarang ada yang bertanya. Semuanya
sudah jelas. Kecuali pertanyaan praktis seperti menanyakan kalimat yang kurang
jelas.
Atau juga saat doa, kami mendengar suara pemimpin doa.
Demikian saat misa, kami mendengar suara sang pastor yang memimpin misa. Kami
juga menyanyi atau membaca. Tapi ini bukan bicara. Bicara tentu lain dengan
ini. Makanya, kami sebenarnya tidak saling kenal.
Kalau duduk berhadapan di meja makan, paling-paling hanya
tersenyum sebagai sapaan. Ini pun sebenarnya dilarang keras. Tidak boleh
misalnya membuat bahasa tubuh dengan mata atau kepala. Tapi ya ada saja orang
yang memberi isyarat demikian. Saya misalnya tidak tahan untuk tidak tersenyum.
Mata juga biasanya bisa menandakan banyak hal.
Tentu kami boleh bertanya misalnya saat bekerja di kamar
makan. Di mana bisa diambi alat pembersih meja, di mana bisa
simpan botol air dan botol anggur, di mana bisa diambil sendok untuk disiapkan
pada makan berikutnya, dan sebagainya. Ini saja. Demikian juga di ruang cuci
piring.
Ini tentu tidak bicara tapi hanya bertanya beberapa
informasi saja. Itulah sebabnya saya bilang, kami boleh menyapa asal tidak
berusara. Kok bisa seperti ini? Ya, beginilah aturannya. Lalu, siapa
penyelenggara retret agung ini? Sampai ketemu di tulisan berikutnya.
Posting Komentar