Gereja Katolik, Kramat |
Sepanjang perjalanan, kami melihat gedung tinggi, para pedagang trotoar, pertokoan, dan bangunan penting lainnya. Suasana jalan padat. Angkutan kota berhenti semaunya sambil menunggu penumpang. Para pejalanan kaki mesti sabar, menyelinap di antara pedagang trotoar dan angkutan yang berhenti di pinggir jalan.
Matahari mulai menanjak. Teriknya mulai terasa. Keringat mulai mengucur di sekujur tubuh. Sementara itu, rasa sakit mulai terasa di kaki. Alas kaki bagian bawah mulai terasa panas. Ini pertanda perjalanan sudah panjang. Memang, perjalanan yang hanya sehari ini tak sebanding dengan perjalanan pemulung yang berhari-hari.
Setelah berjalan selama lebih dari 45 menit, kami tiba di daerah Senen/Kwitang. Pemandangan yang cukup unik terlihat di daerah pasar loak, Senen. Di situ terlihat buku-buku tua dengan berbagai judul. Konon, pasar ini mulai beroperasi pada 1935. Teman saya memberi tahu, “Di sini tempat penjualan buku tua/langka dan buku bekas.” Hanya angguk sebagai balasan.
Ternyata masih banyak yang mencari buku tua di sini. Ada yang mencari sendiri di rak, ada pula yang menanyakan kepada penjual. Gampang. Pembeli cukup memberi tahu judul buku atau nama pengarang. Penjual akan mencarinya.
Suasana ini cepat berlalu, ketika kami memutuskan untuk pergi lagi. Simpang lima Senen mesti dilampaui. Tujuan kami adalah Gereja Katolik Hati Kudus Kramat yang terletak di Jalan Salemba Raya. Teman saya sebagai pemandu sangat yakin, “Sebentar lagi kita sampai di gereja Kramat.” Dia bertugas sebagai perancang rute perjalanan.
Sempat, nyasar sekali. Letak gereja itu agak ke dalam. Ratusan meter dari jalan raya. Masalahnya, ada juga gereja Kristen yang letaknya agak ke dalam. Kami masuk lorong menuju gereja Protestan lalu keluar lagi.
Dengan bantuan satpam di gedung Lembaga Biblika Indonesia (waktu itu), kami berhasil masuk di gereja Kramat yang terlatak di belakang gedung itu.
Dengan bantuan satpam di gedung Lembaga Biblika Indonesia (waktu itu), kami berhasil masuk di gereja Kramat yang terlatak di belakang gedung itu.
Gereja ini cukup unik dan merupakan salah satu gereja tertua di Keuskupan Agung Jakarta. Gedungnya dibangun sekitar tahun 1921. Di sebelahnya ada panti asuhan Vinsensius.
Siang itu, suasana gereja hening. Ada sekelompok umat sedang berdoa. Adorasi penyembahan Sakramen Mahakudus. Mereka sedang berdoa ketika kami berdua masuk. Membubuhkan dahi dengan air berkat dan membuat tanda salib lalu kami berlutut di bangku umat dan berdoa.
Di pintu masuk ada segardus air aqua gelas. Rasa haus menggoda kami untuk mengambil masing-masing segelas. Tuhan tahu ini namanya mencuri. Namun, Tuhan tahu juga kami membutuhkan air itu. Mana yang penting, mengambil air karena kehausan atau membiarkan kami menderita kehausan karena takut kena hukuman dosa?
Kami berjalan menuju pos satpam. Kantor pos tertutup. Petugas sedang keluar. Kami duduk di bawah pohon rindang di samping pos dan menyantap hidangan siang. Wah…makanan yang kami bawa terasa panas. Matahari yang menyinari Jakarta siang ini ternyata mampu menghangatkan nasi yang ada dalam tas. Rasa lapar terpuaskan. *Semua gambar dari google
******
Tugu Tani |
Jarum jam menunjukkan pukul 2 siang. Sejam kami lalui di tempat teduh ini. Kami melanjutkan perjalanan. Tempat berikutnya adalah tugu monas. Sebelum tiba di sana, kami berhenti di patung Tugu Tani. Patung yang dibuat tahun 1963 mengagumkan bagi saya. Maklum pertama kali masuk Jakarta.
Konon, patung ini menyimbolkan kekuatan petani. Lima belas menit merupakan waktu yang berharga untuk melihat dari dekat patung ini. Banyak juga orang yang lewat di sekitar tempat kami berdiri. Ada yang sedang menunggu angkutan ada pula yang sekadar berjalan-jalan.
Kami tiba di monas ketika cuaca mulai mendung. Alangkah senangnya hati dua orang muda ini melihat tugu ini dari dekat. Tugu monas merupakan ikon ibu kota Jakarta. Konon, tugu yang terletak di Lapangan Monas, Jakarta Pusat ini diresmikan pada 17 Agustus 1961.
Tugu Monumen Nasional |
Menurut situs unik77.info, tugu Monumen Nasional ini memiliki tinggi 132 meter. Di puncaknya, terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 kg. Lidah api atau obor ini sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.
******
Suasana makin mendung. Sebentar lagi hujan. Kami bergegas pergi. Keluar melalui Jalan Medan Merdeka Selatan. Selanjutnya melalui Jalan MH Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman. Ruas jalan utama yang cukup ramai.
Kekaguman akan indahnya Jakarta muncul lagi ketika melihat air mancur di bundaran hotel Indonesia. Air itu seolah-olah menjadi simbol persaudaraan. Para pejalan kaki dan angkutan melintas di sekelilingnya.
Air mancur Bundaran Hotel Indonesia |
Kekaguman akan indahnya Jakarta muncul lagi ketika melihat air mancur di bundaran hotel Indonesia. Air itu seolah-olah menjadi simbol persaudaraan. Para pejalan kaki dan angkutan melintas di sekelilingnya.
Hujan mulai mengguyur Jakarta. Kami melangkah pelan-pelan sambil melindungi diri dari guyuran. Ada hal yang unik. Ada penghuni kolong jembatan. Kami mencoba melihat langsung.
Ada seorang bapak yang sedang duduk beralaskan gardus bekas. Di sampingnya ada perabot rumah tangga berupa panci dan alat makan. Dia menyaksikan air keruh dan mulai naik di bawah tempat duduknya.
Inilah realitas ibu kota yang sebelumnya kami tidak tahu. Ternyata di Jakarta masih ada tuna wisma. Ironis dengan pemandangan gedung elit sepanjang Jalan MH Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman.
Pemandangan di sekitar Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya mulai ramai. Laju kendaraan semakin lambat. Kemacetan mulai terasa. Beruntung kami pejalan kaki sehingga dengan gampang menyelinap.
Ketika tiba di Semanggi, kami berhenti sebentar dan bercerita. “Di sini terjadi kerusuhan Mei 1998,” teman saya membuka cerita. Ya, peristiwa Semanggi 1 dan 2 terjadi di sini. Di atas tempat kami berdiri sekarang pernah terjadi pertumpahan darah. Korbannya adalah beberapa mahasiswa. Perjuangan generasi depan bangsa selalu menuntut pengorbanan hingga titik darah terakhir.
******
Kami memasuki wilayah Jakarta Selatan. Suasana mulai gelap tetapi masih bisa memandang jauh. Teman saya mulai ragu-ragu dengan rute yang dibuat. Jalan keluar adalah bertanya. Sebab, “Malu bertanya sesat di jalan…” kata pepatah.
“Pak, jalan ke Bintaro arah mana ya?”
“Dek naik bis arah Blok M. Dari situ naik angkutan kecil.”
“Kalau jalan kaki pak?”
“Hari gini masih ada yang jalan kaki? Naik angkot aja dek.”
“Terima kasih pak”
Perjalanan yang mencengangkan. Ada yang heran karena berjalan kaki. Maklum, di Jakarta kan ke mana-mana naik angkot atau sepeda motor.
Kami mengikuti rute bis arah Blok M. Melewati Jalan Sisingamangaraja dan Jalan Panglima Polim Raya menuju Cilandak. Dari Cilandak melalui Jalan Veteran. Di Cilandak kaki saya mulai kaku. Tidak ada rasa sakit lagi. Seolah-olah tidak ada kerikil di bawah telapak. Alas kaki dikeluarkan dengan harapan kaki menerima rangsangan kerikil di jalan. Nyatanya tidak terasa sama sekali. Ada apa?
Sementara itu, teman saya mengira saya marah karena kecapaian. Diam. Berhenti. Mulai bercerita. Ternyata dia juga mulai capek. Hanya saja kakinya masih kuat. Aduhhh..perjalanan masih sedikit lagi. Jangan khawatir asal ada harapan jalan keluar pasti ada.
Pelan-pelan kami menyusuri wilayah Bintaro. Malam mulai tampak. Jalanan ramai dengan lampu mobil. Warung pinggir jalan mulai dipadati pengunjung. Andai cukup uang kami bisa singgah sebentar menikmati pecel.
Sayangnya, kami hanya diberi uang dalam amplop yang boleh dibuka jika pilihan untuk menyelamatkan diri sudah tidak ada lagi. Jumlah uang itu pun misteri. Yang jelas cukup untuk menelepon ke rumah di Bintaro jika terjadi ancaman.
Sayangnya, kami hanya diberi uang dalam amplop yang boleh dibuka jika pilihan untuk menyelamatkan diri sudah tidak ada lagi. Jumlah uang itu pun misteri. Yang jelas cukup untuk menelepon ke rumah di Bintaro jika terjadi ancaman.
Sampailah kami di rumah, di Bintaro. Jarum jam menunjukkan pukul 9 malam. Teman-teman tiba lebih dulu. Mereka yang di rumah sudah menunggu dari tadi. Ketika kami datang, mereka berteriak gembira dan segera mengabarkan kepada teman lain.
Meski rasa lapar sudah hilang, makanan tetap disantap. Makanan penting buat isi perut. Lambung menjadi korban jika satu kali saja tidak makan.
Sungguh nyata kasih Tuhan melalui orang-orang yang ditemui hari ini. Petualangan yang mungkin terjadi sekali dalam hidup menuntut pengorbanan. Petualangan mengajarkan banyak hal.
Petualangan mengajarkan arti pentingnya seorang sahabat. Dikala satunya lemah, satunya siap membantu. Kesetiaan, kesabaran, dan kerja sama menjadi tiga nilai penting yang harus dipegang. Tanpa ketiganya, petualangan menjadi kurang asyik.
Perjumpaan dengan orang kecil mengundang rasa haru untuk membantu. Lebih dari itu, Tuhan berbicara melalui orang-orang yang dijumpai. Benar kata Injil, “Aku menyertai kamu hingga akhir zaman.” Ada rasa bangga, “Dia menyertai dan melindungi kami hingga tempat tujuan.”
Terima kasih Tuhan, Engkau membimbing kami dari pagi (jam 5) hingga malam (jam 9). Dari Sunter, Jakarta Utara hingga Bintaro, Tangerang. Pergi pagi pulang malam. Kalimat di atas diulang berkali-kali sambil menahan rasa sakit di kaki. Setelah mandi, saya langsung tidur……..(Habis)
Cempaka Putih, 29 Maret 2011
Gordy Afri
Posting Komentar