Halloween party ideas 2015


Danau Sunter, gambar: google
Kamis 4 Januari 2007. Tanggal bersejarah di awal tahun baru. Tanggal bersejarah dalam serial petualangan di ibu kota negara. Tanggal penuh kenangan yang tak akan terulang bagi dua pemuda yang datang dari daerah seberang.

Matahari di Jakarta belum bersinar. Hiruk pikuk ibu kota belum tampak. Jalanan masih sepi dari kendaraan. Hawa segar berhembus menyiram bumi polusi metropolitan. Penghuni kota rupanya jeli menangkap saat kota Jakarta ramah dengan penduduknya. Pagi hari kota Jakarta memberi angin segar dan bersih bagi penduduknya. Inilah saat yang tepat untuk berolahraga pagi. Dua pasangan suami-istri mengadakan jalan cepat di pinggir danau Sunter.

Dunia yang asing bagi penulis dan Kornel, seorang teman dari Lawang, Jawa Timur. Kami diturunkan dari mobil di daerah Jakarta Utara tepatnya daerah Sunter. Pemandangan yang memuakkan. Pedagang kaki lima duduk berselirewan di trotoar. Pejalan kaki tak kalah saing. Ruas umum yang tersedia digunakan bersama-sama. Untuk berjualan sekaligus jalanan. Dari sinilah awal petualangan kami. Berjalan kaki menuju Pondok Aren, Bintaro, Tangerang.

Matahari Jakarta mulai bersinar. Pemandangan indah di pagi hari. Angin sepoi bertiup di sepanjang jalan Danau Sunter. Permukaan danau tampak bersih di pagi ini. Deru gelombang permukaan danau menggoda mata untuk menatap lebih lama.

Jalan dua ruas di pinggir danau itu tampak bersih. Dua petugas kebersihan jalan sedang mengumpulkan daun pohon yang tumbuh di taman jalan. Daun-daun lain juga jatuh dari pohon besar yang ditanam di sepanjang pinggir danau. 
Daun-daun ini menjadi sampah dari tangan petugas. Pupuk organik bisa diperoleh dari kumpulan daun yang diproses dalam jangka waktu tertentu. Kebersihan jalan ada di tangan petugas. Keinginan pengguna jalan menjadi target mereka. Pengguna ingin melihat jalanan itu tetap bersih. Pemandangan itu lengkap ketika dipadukan dengan pemadangan danau di sebelah jalan.

***
Danau Sunter, Gambar:google
Lorong kecil. Dikelilingi rumah semi permanen. Sepeda motor keluar masuk komplek. Sepeda motor yang mengantar anak sekolah. Sepeda motor yang mengantar para ibu membeli kebutuhan rumah tangga di pasar.

Masuk ke lorong yang lebih kecil lagi. Lebarnya hanya seukuran bajai. Lebih kurang 2 meter. Di sebelahnya ada selokan setinggi 1 meter dan lebar 1 meter. Selokan ini menjadi tempat aliran limbah dari rumah warga. Selokan menjadi muara air dikala banjir. Musibah yang menakutkan bagi warga Jakarta.

Di ujung lorong itu terdapat gedung tinggi berlogo salib. Dikelilingi pagar setinggi 1,5 meter. Di depannya ada jalan yang digunakan sebagai lahan parkir. Di sampingnya ada pos satpam.

Pagi itu suasananya sepi. Dalam gedung hanya ada petugas koster yang sedang membereskan perlengkapan liturgi. Sebelum kami masuk, banyak orang berkumpul merayakan ekaristi di tempat ini. Inilah Gereja Katolik Santo Lukas, Sunter. Tepat seperti tertulis di sebe lah gerbang.

Suasanan sepi membangkitkan dorongan untuk berdoa. Duduk di bangku umat. Melihat dan menunduk ke hadapan altar dan tabernakel. Dahi masih basah setelah dioles air berkat di pintu masuk gereja. Puji syukur dipanjatkan. Tuhan terima kasih karena Engkau mengantar kami ke tempat ini dengan selamat. Kami tahu ini rumah-Mu. Izinkan kami keluar dari rumah-Mu ini menuju tempat tujuan kami. Kuatkanlah kami dalam petualangan hari ini.

Beriak air di kolam ikan menggoda untuk melihat. Ada apa? Lagi-lagi suasana sepi dan sejuk. Menunduk ketika melihat ada Gua Maria. Di dalamnya ada patung Bunda Maria sedang berdoa. Di tangannya ada rosario. Inilah dia bunda Tuhan. Tokoh yang dihormati orang beriman Katolik.

Di kaki gua ada beberapa ikan Koki. Ada rasa bangga melihat makhluk hias ini bergembira. Sesekali dia muncul ke permukaan dengan gayanya. Air bening dan dingin itu menjadi tempat nyaman bagi hidup mereka. Tidak ada kekhawatiran karena teror bom. Tidak ada pencopetan yang mengancam harta dan nyawa. Mereka hidup rukun.

***
Lima belas menit sudah berlalu. Saatnya melanjutkan perjalanan. Pemandangan berbeda. Dua ruas jalan besar. Tempat mobil angkutan umum, sepeda motor, bajaj, pemulung, mobil pengangkut barang lewat. Angkutan barang ke pelabuhan Tanjung periuk. 

Dua ruas jalan dibatasi oleh taman. Dikelilingi pagar setinggi satu meter. Lebih kurang tiap 20 meter terdapat tiang kokoh terbuat dari tembok. Tiang penyangga tol lingkar luar Jakarta. 

Taman Impian Jaya Ancol, Gambar: google
Matahari mulai menanjak. Suhu Jakarta makin naik. Jalan Laksamana R.E. Mardinata pagi ini mulai ramai. Laksamana ini adalah tokoh angkatan laut Republik Indonesia dan pahlawan nasional yang lahir di Bandung 29 Maret 1921 dan meninggal pada 6 Oktober 1966. Pejalan kaki menyebar di antara mobil-mobil besar yang bergerak pelan. Jalan ini termasuk kawasan padat lalu lintas. Pengguna sepeda dan pejalan kaki menjadi raja jalan. Mereka bisa tiba lebih dulu di tempat tujuan. 

Di sebelah kanan jalan terlihat pagar tembok. Pagar pembatas Taman Impian Jaya Ancol. Konon, tempat yang dibangun tahun 1966 ini menjadi salah satu satu tempat wisata favorit bagi warga Jakarta. 

Bergerak terus ke Utara masih di sebelah kanan jalan. Terdapat Taman Dunia Fantasi. Taman ini dibangun pada 1985. Pada 2006, Taman ini berubah nama menjadi Ancol Jakarta Bay City. Tempat ini tak kalah dengan tempat sebelumnya. 

Kehadiran tempat wisata seperti ini menjadi oase di tengah hiruk pikuk kota Jakarta. Tak jarang setiap hari Minggu dan hari libur lainnya, tempat seperti ini ramai dikunjungi warga. 

Penghujung jalan R.E. Mardinata di depan mata. Kami tiba diperempatan jalan. Berbelok ke arah kiri. Jalan lurus. Menghadap ke Timur. Tepat di jalan Gunung Sahari-Ancol. Salah satu ruas jalan yang cukup panjang. Dari Jakarta Utara, Barat, Pusat, dan akhirnya Timur. (bersambung…..)


Cempaka Putih, 20 Maret 2011
Gordy Afri

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.