Kertas
Putih dan Bersih di Awal Retret (8)
Perayaan ekaristi hari pertama sungguh berkesan. Bukan
karena pertama kalinya tetapi karena momenya. Momen yang tak terlupakan.
Saat misa, setelah homili, saat doa umat, setiap orang
maju dan membawakan simbolnya. Simbol ini mewakili perasaan, niat, harapan,
atau suasana hatinya saat ini, saat memulai retret agung ini.
Macam-macam simbol pun dipresentasikan. Saya membawakan kertas kecil yang kosong. Tak
bertuliskan apa-apa. Kertas ini melambangkan diri saya. Saya maju dekat altar
dan menunjukkan ke teman-teman sambil menjelaskan maksudnya. Saya bicara dalam
bahasa Italia tentunya dalam menjelaskan simbol itu.
Kertas
itu seperti tabularasa. Tidak atau belum diapa-apakan. Maka, di awal retret
ini, saya punya satu niat yakni mendengarkan suara Tuhan. Untuk bisa
mendengarkan, saya harus mengosongkan suara-suara yang ribut dalam hati dan
pikiran saya. Saya melambangkan pengosongan ini seperti kertas putih dan
bersih. Siap ditulis dan dicoret-coret seperti saya siap mendengarkan
suara-Nya.
Selain
mendengarkan suaranya, saya juga punya niat lain yakni mencari kehendak-Nya.
Untuk menemukan kehendak-Nya, saya juga harus menonaktifkan kehendak-kehendak
saya yang berkeliaran dalam hati dan pikiran saya. Maka, pengosongan atau
penonaktifan ini saya lambangkan dalam kertas putih dan bersih ini. Dalam
keadaan hati seperti kertas putih itulah, saya akan menemukan kehendak-Nya dan
suara-Nya. Maka, bukan suara saya lagi yang saya dengar tetapi suara-Nya dan
bukan kehendak saya lagi yang terjadi tetapi kehendak-Nya.
Demikian pembaca
sekalian, mengikuti sesuatu mesti ada niat dan tujuan yang jelas. Jika tidak,
kita akan diombang-ambingkan oleh keambiguan kita. Ini baru tentang niat. Kita kembali ke cerita tentang sarapan pagi. Yang
tentunya unik. Untuk itu, siapkan pikiran dan mata yang jernih untuk
menyimaknya pada tulisan berikut.
Bologna, 26/7/2015
Gordi
Posting Komentar