*Bagian ketiga (terakhir)
Dari Tanjung Kait menuju Jakarta melalui Cengkareng. Tiga topografi yang berbeda. Tanjung Kait dengan pantainya yang luas dan air lautnya yang kotor. Jalanan kecil di pinggir pantai beserta rumah penduduk yang padat dan kumuh menuju bandara Soekarno-Hatta. Jalanan bebas hambatan (tol) dari bandara (Cengkareng) menuju Jakarta.
Setelah makan siang pada hari kedua, kami siap-siap menuju Jakarta. Beberapa orang di antara kami bernego dengan pengelola kawasan Tanjung Kait. Kami memberi sejumlah uang sebagai imbalan atas bantuan Bang Boy (penjaga kawasan itu) dan kawan-kawan. Mereka yang membantu kami memasak, menyediakan makanan dan minuman serta menjamin keamanan selama berada di sana. Ada tiga orang ibu dan dua bapak yang membantu kami. Setelah negosiasi, kami berjabatan tangan satu per satu kepada Bang Boy dkk sebagai tanda terima kasih. Keakraban yang terjalin selama di sana kini berakhir namun ada harapan untuk melanjutkan kembali. “Kapan-kapan datang lagi ya bang,” tutur seorang ibu dengan senyum ramahnya.
Kami membutuhkan mereka dan mereka membutuhkan kami. Mereka menyumbangkan tenaganya dengan memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyediakan tempat bagi kami, membeli makanan dan air minum di pasar, dan sebagainya. Kami menyediakan uang untuk membeli makanan, menyediakan gas untuk tungku api beserta perlengkapan lain misalnya piring, sendok, gelas, dan tempat nasi. Di sini terjadi relasi yang saling melengkapi. Makanya sebelum pulang, kami memberi penghargaan kepada mereka. Relasi yang dibangun ini merupakan relasi mutualisme. Landasan dasarnya adalah saling membutuhkan sehingga saling melengkapi. Dalam hal ini, manusia sebagai makhluk sosial mencapai relevansinya.
Bukan menjemput dan mengantar
Jalanan kecil menghubungkan Tanjung Kait dengan Cengkareng, tepatnya bandara internasional Soekarno-Hatta. Jalanan dengan panjang kurang lebih 5 kilo meter terbuat dari coran (campuran) semen yang tebalnya kurang lebih 30 cm. Lalu lintasnya lancar. Mobil yang lewat di tengah daerah persawahan itu dapat melintas dengan kecepatan 60-80 km/jam. Keluar dari daerah ini, mobil melaju dengan lambat karena jalanan kecil dan mobil yang lewat semakin banyak. Di kiri-kanan jalan terdapat rumah penduduk yang kumuh dan padat. Warga di beberapa tempat bahkan mandi dan mencuci pakain mereka di selokan besar. Airnya agak keruh.
Satu kawasan dengan pemandangan cukup bagus adalah kompleks sekolah tinggi kelautan. Kompleks ini terletak di pinggir pantai dan terdiri atas beberapa unit gedung. Berbanding terbalik dengan sebagian besar rumah warga yang berupa kelompok rumah yang padat. Di pinggir jalan terdapat banyak usaha kecil menengah seperti pembuatan bata merah, dan pabrik-pabrik kecil yang letaknya pas di bibir jalan. Dengan laju mobil yang diperlambat, kami menikmati pemandangan yang kurang bersahabat di pinggir jalan. Ada pekerja bangunan, pekerja selokan jalan, angkutan kota yang ngetem di sembarang tempat, dll. Setelah melaju selama satu jam, kami tiba di kawasan bandara Soekarno-Hatta.
Foto: dokumen pribadi |
Bukan akhir dari petualangan
Kegiatan selama dua hari satu malam ini betul-betul sebuah petualangan. Lebih dari petualangan, kegiatan ini merupakan sebuah peziarahan. Kehidupan manusia merupakan sebuah peziarahan. Peziarahan dari kecil hingga tua. Kegiatan ini merupakan petualangan karena berangkat dari realitas Jakarta yang hiruk-pikuk dengan kesibukannya menuju tempat yang nyaman untuk beristirahat dan berekreasi. Petualangan ini bukanlah akhir. Petualangan ini menjadi start point bagi kami untuk berkativitas dengan semangat baru. Petualangan ini menjadi “kolam semangat” yang nantinya bisa dialirkan dalam aktivitas di Jakarta. Pada akhirnya petualangan ini mesti berujung pada Sang Pencipta sebagai sumber semangat.
Dia-lah yang menjadikan segala yang ada. Kami dan kita manusia seluruhnya hanya bisa melihat semua ciptaan-Nya yang begitu indah. Tak berlebihan jika saya mengatakan antara Jakarta-Tangerang-Cengkareng-Jakarta ada Tuhan, Sang Pencipta. Dia tampak dalam alam dan laut yang kelihatan dan dalam suasana segar dan suasana akrab yang tidak kelihatan namun dirasakan. Di sini kita ditantang untuk melihat Dia dalam segala sesuatu yang kita lihat. Dia mengajak kita untuk membuka mata, mencari, dan menemukan Dia dalam pengalaman hidup. Bagi mereka yang bekerja di pabrik, petugas bandara, pegawai dan petugas yang bekerja di jalan tol, sopir angkutan, dan profesi lainnya ditantang untuk menemukan Tuhan dalam aktivitas. Tuhan ada di mana-mana namun Tuhan bukan segala yang kita lihat. Tuhan tidak melebur dalam benda yang kita lihat (Panteisme). Tuhan ada di balik segala yang kita lihat dan yang kita kerjakan.
Cempaka Putih, 22 Februari 2011
Gordy Afri
LUAR BIASA!!! Sebuah pencerahan untuk dapat melihat dan merasakan kehadiran DIA melalui tulisanmu...
BalasHapusTrima kasih..kamu sudah membaca tulisan ini.....
BalasHapussaya sebagai salah satu penduduk daerah tanjung kait berterima kasih untuk review anda ttng daerah kami..memang masih banyak kekurangan yang harus di perbaiki,semoga setelah saya share n post review anda,pemerintah setempat dan waga mulai tergerak untuk memperbaiki objek wisata alam di daerah kami...
BalasHapusSama-sama Mas
HapusTerima kasih juga sudah berkunjung di blog ini dan berkenan membaca ulasan singkat ini
Salam
Gordy