gambar: google |
*Bagian kedua dari Petualangan di Tanjung Kait
Seorang pendidik di daerah pedalaman Papua pernah berujar, “Tak ada rotan, akar pun bisa.” Artinya? Rotan di sana dipakai untuk “mendidik” (bahasa kasarnya memukul) siswi/a. Ketika rotan tidak ada, akar kayu pun bisa dijadikan sarana untuk “mendidik” siswi/a. Sarana apa pun bisa digunakan untuk berbagai hal asal saja kita kreatif merangkainya.
Seorang pendidik di daerah pedalaman Papua pernah berujar, “Tak ada rotan, akar pun bisa.” Artinya? Rotan di sana dipakai untuk “mendidik” (bahasa kasarnya memukul) siswi/a. Ketika rotan tidak ada, akar kayu pun bisa dijadikan sarana untuk “mendidik” siswi/a. Sarana apa pun bisa digunakan untuk berbagai hal asal saja kita kreatif merangkainya.
Sebelum masuk di tempat yang dituju, kami harus melalui jalan berlumpur. Daerah bertopografi datar ini baru saja diguyur hujan sehingga mau tak mau tergenang air. Tidak ada lagi aspal. Hanya bekas pasir yang disiram seadanya agar ban mobil tidak tertanan dalam lumpur. Kami melewati dua tiang tembok di kiri-kanan jalan sebagai gerbang. Gerbang bertujuan untuk menjaga agar mobil besar tidak masuk. Entah mengapa demikian, pokoknya yang bisa (dan boleh) masuk hanya kendaraan berukuran kecil. Kondisi jalan memang sangat cocok untuk kendaraan kecil. Kalau dipaksa, jalanan itu rusak karena bahan dasarnya tidak terlalu keras menampung beban kendaraan berukuran besar.
Sekitar markas
Tempat yang kami gunakan hanyalah sebagian dari kawasan yang dinamakan Tanjung Kait. Menurut cerita dari warga setempat, tanah itu milik AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia). Dulunya, di tempat ini, dibangun sebuah Radar kuno milik AURI. Sampai sekarang, masih terlihat bekas patahan tembok besar di sekitar pantai dan ada satu bongkahan tembok berbentuk persegi dengan empat fondasi tiang di sisinya. Yang tersisa dengan jelas adalah sebuah gedung berukuran besar. Gedung ini diperkirakan sebagai tempat pengendali radar itu dan tempat tinggal petugas radar. Di dalamnya ada kamar mandi dan WC. Daerah ini sekarang diserahkan ke aparat desa dan masyarakat boleh mengelolanya.
Di sekitar markas (meminjam istilah dalam dunia militer), ada pemandangan yang membuat mata kami enggan terpejam dan seakan-akan mampu membersihkan lekatan-lekatan polusi di mata kami. Di bagian belakang (posisi menghadap ke laut), ada hamparan sawah yang luas yang berbatasan dengan rumah warga. Sebagian dari sawah itu masuk dalam lahan milik AURI dan sebagian besarnya milik warga di kampung sekitar. Lagi-lagi rakyat sekitar mengelola sebagian lahan ini untuk bertanam. Padinya berumur sekitar 1,5 bulan setelah ditanam. Kehijauan pun langsung memikat mata kami. Seluruh hamparan berwarna hijau. Beda banget sama Jakarta yang penuh dengan bangunan tinggi.
Selain itu di samping kiri, ada usaha tambak garam. Hamparan yang begitu luas dipetak-kan dalam ukuran besar. Di situlah para pengusaha garam laut mengharapkan rezeki untuk menyambung hidup. Bagian sebelah kanan, masih berupa lahan kosong yang ditumbuhii rumput liar. Dan, yang terakhir adalah pemandangan laut yang indah kalau menatap jauh ke depan dan kurang begitu indah kalau menatap dengan jarak dekat. Airnya bukan bening kehijauan lagi tetapi agak kuning dan kotor. Meski demikian, di tempat ini kami tetap menghirup udara segar dan bersih serta menikmati desiran ombak di siang dan malam hari. Ada satu pondok-panggung yang terletak di “tengah laut” sekitar 100m dari bibir pantai. Pondok ini beratap daun seperti alang-alang dan berdindingkan anyaman. Ada jembatan bambu sebagai penghubung ke sana. Terdiri atas bambu yang disambung dengan bambu palang di sisi kanan sebagai alat bantu menjaga keseimbangan.
Di atas pasir
Tempat kami berteduh berupa kemah-kemah, yang dilengkapi dengan bale-bale atau tenda di dalamnya. Kami menggunakan satu dari beberapa kemah yang ada. Kemah-kemah ini juga dipakai oleh beberapa penjual minuman dan makanan ringan sebagai tempat menyimpan jualan. Kadang-kadang bale-balenya digunakan oleh tamu untuk duduk-duduk. Tempat yang cocok untuk menikmati pemandangan laut dan melepas lelah. Tak heran ketika beberapa pasangan mudi/a pun sering datang ke tempat ini di siang dan malam hari. Ada juga pasangan siswi/a yang bolos dari sekolah dan ngobrol di bale-bale ini. Kalau siang kita melihat laut sedangkan malam kita melihat ratusan cahaya dari para nelayan kecil yang mencari ikan.
Kemah ini didirikan di atas dasar pasir. Padahal “rumah yang dibangun di atas pasir gampang diterpa angin ketimbang yang dibangun di atas batu.” Di atas pasir ini kami mengadakan perayaan ekaristi pada sore hari. Di atas pasir ini juga kami menari. Kebetulan ada yang membawa perlengkapan musik sehingga di waktu senggang kami--atas inisiatif kelompok tertentu—menari-nari dengan iringan musik yang ada. Selain itu, kami juga bermain futsal di atas pasir ini. Bola futsal bergelinding, dari kaki ke kaki membentur tiang kemah dan sesekali mengapung ke permukaan laut ketika ada pemain yang salah mengoper bola. Wah….kumpulan orang kreatif, lahan pasir dijadikan bar (tempat menari) dan lapangan (tempat bermain futsal). Kita kembali ke Papua ala Tangerang, “Tak ada lapangan, permukaan pasir pantai pun jadi, tak ada bar permukaan pantai pasir pun jadi.”
Malam persaudaraan
Datang tadi pagi dan kembali besok siang. Malam ini harus menjadi waktu yang berkesan selama berada Tanjung Kait. Malam ini disebut “Malam Persaudaraan”. Setelah makan malam, kami membentuk kelompok permainan. Ada yang bermain ular tangga, kartu foker, monopoli, catur, dan jenis permainan lainnya. Inilah kesempatan untuk mempererat persaudaraan antara kami. Semua kami bergembira dan larut dalam permainan yang menyita perhatiannya. Untuk menghangatkan perut yang dihembus angin dari laut dan untuk maramaikan suasana malam, kami minum kopi. Wah…kopi penghangat perut, awas…mete sampai pagi.
Malam semakin larut, dan satu per satu kami menuju peraduan. Ada kelompok yang berbaring di atas bale-bale kemah tak berdinding dan hanya beratap. Dinginnnnnn… deru ombak dan hembusan angin malam masih terasa. Perut kedinginannnn…cepat-cepat dipoles minyak angin dan dibalut selimut tebal. Setebal apa pun pasti kedinginan karena langsung berhadapan dengan angin laut yang tak ada penghalangnya. Belum lagi, tengah malam hujan gerimis turun. Sebagian yang ditenda/bale-bale menghilang mencari penyelamatan di gedung. Yang di dalam kemah sibuk memperbaiki atap agar tidak bocor. Ada pula yang terlelap di pondok panggung di “tengah laut”. Mula-mula hanya memancing, lama-lama tertidur. Lanjutkan tidur….sampai besok pagi….. (bersambung….)
Cempaka Putih, 6 Februari 2011
Gordy Afri
Posting Komentar