gambar dari en.wikipedia.org |
Ceritanya demikian. Sekelompok pemuda
yang kami bina di Yogyakarta pulang kuliah pada Rabu siang. Mereka menyeberang—seperti
biasa—di jalan ramai. Biasanya menyeberang berombongan sehingga mobil dan motor
berhenti sejenak. Mereka menggunakan sepeda.
Saya tidak tahu peristiwa sebenarnya.
Tetapi dari teman-teman, saya tahu kisahnya. Entah seorang teman ini
menyeberang sendiri atau nekat nyeberang,
sehingga dia tertabrak sepeda motor.
Dia luka di kakai, tangan, dan memar
di badan. Saya tidak tahu pengendara motor yang menabraknya, luka di bagian
mana. Tetapi yang jelas, teman kami ini luka parah.
Saya melarikan dia ke rumah sakit. Nekat,
dan tanpa helm. Lewat di dua kantor polisi di pinggir jalan. Saya sudah punya
alasan untuk berargumen jika polisi menahan saya. Saya membawa pasien yang
tertabrak di pinggir jalan. Tak mungkin dia menahan. Kalau ditahan akan saya
jawab sesuai argumen saya.
*****
Untung tidak ditahan. Perjalanan mulus.
Saya bawa teman ini ke Rumah Sakit panti Rapih. Masuk di bagian IGD, Instalasai
Gawat Darurat. Dua petugas keamanan rumah sakit langsung mengambil kursi roda
ketika kami tiba di depan rumah sakit. Mereka mengantar teman kami ini ke ruang
perawatan dan mempersilakan saya memarkir motor. Saya menuju pojok parkiran dan
memarkir motor.
Kemudian saya masuk. Saya mencari di
ruang perawatan tetapi tidak ada teman saya. Saya tahu ruang yang saya tujukan
itu benar, ruang perawatan. Tetapi, kok tidak ada. Saya menuju ruang informasi.
Mbak yang berjaga juga tidak tahu, ke mana tadi teman saya. Dia menganjurkan
menuju ke ruang yang saya tuju tadi. Saya masuk lagi dan akhirnya bertemu.
Dua perawat dan seorang dokter merawat
teman saya. Luka-lukanya dibersihkan lalu diobat. Ada cairan yang dioleskan. Setelahnya
dibungkus dengan kapas dan plester luka.
Sesaat kemudian, petugas dari bagian pasien
memanggil saya. Dia meminta data teman kami untuk dibuatkan kartu pasien rumah
sakit. Saya mengisi formulir dan akhirnya dapat kartu itu. Ternyata kartu itu
hanya untuk pasien. Saya ingat pengalaman saya di Rumah Sakit St Carolus-Jakarta
beberapa waktu lalu ketika membuat kartu itu. Saya bertanya apakah yang bukan
pasien juga bisa mengurus kartu itu. Ternyata tidak, “harus jadi pasien dulu,”
katanya.
Saya kembali ke kamar perawatan teman
saya. Luka-luka sudah diurus. Mereka meminta untuk difoto (rontgen) dan kami
setuju. Sebab, kaki teman kami ini tadi sempat keseleo/terkilir. Saya mengantar
bersama perawat/ saya menunggu di ruang tunggu.
Kemudian, teman saya keluar dan kami
menuju kamar perawatan lagi. Kami menunggu lama di situ. Sambil bercerita,
membuat teman saya tidak merasa sakit atas luka-luka yang ada. Setelah 1,5 jam,
keluarlah hasilnya. Tidak ada keretakan atau pergeseran pada pergelangan dan
tulang kaki kanan. Lalu, kami menunggu resep obat.
*******
Kami menunggu resep ini agak lama. Saya
menyerahkan daftar reep dari dokter dan mendapat kartu antri dengan nomor 1097.
Menunggu panggilan dari loket 2, loket pembayaran. Setelah dipanggil, saya
masuk dan ternyata ada kesalahan prosedur. Kami mau membayar lewat jalur
instansi. Istilah di rumah sakit itu, membayar lewat piutang.
Saya dipersilakan menuju kasir pusat
untuk mengurus ini. Untung saja di sana tidak ada antrian. Saya mengurus cepat
lalu kembali ke loket pembayaran. Saya menyerahkan resep beserta keterangannya.
Kami masih menunggu sekitar 30 menit. Lalu, obat keluar. Kami pulang naik
motor.
Lagi-lagi tidak ada helm. Saya lewat
jalan ramai dan besar. Polisi tidak menahan kami. Mungkin mereka melihat teman
saya berbalut plester luka. Saya memacu motor dengan kencang. Sebab, sudah sore
hari.
Wah...sampai di ruamh sudah sore. Capek......
Istirahat sebnatar lalu mandi.....
Terima kasih Tuhan atas penyertaan-Mu
pada pengalaman hari ini.
PA, 21/3/13
Gord
Bayar berapa di panti rapih
BalasHapusHallo Pak Yuda, terima kasih sudah berkunjung
HapusSaya lupa waktu itu berapa besar bayarannya
soalnya tugas saya hanya mengantarnya, teman saya yang mengurus admisnistrasinya
salam