Tiga Hari di Labuan Bajo
Agak sulit pada
awalnya. Sebab, saya dari daerah pegunungan. Agak tinggi dari permukaan laut. Suhunya
sedang dan dingin. Beda dengan Labuan Bajo yang panas. Labuan Bajo, kota
pariwisata, pintu masuk ke Pulau Komodo. Labuan Bajo mempunyai obyek wisata
yang menarik, batu cermin, pasir putih, pante Binongko, pante Pede, dan
sebagainya.
Hari pertama datang bersama bapak dan seorang sahabat. Kami bertiga
di kota Labuan Bajo. Kami menginap di rumah keluarga kami. Di situ kami tinggal
dua malam. Mereka menerima kami dengan tangan terbuka. Maklum, mereka sebagai
tuan rumah mesti ramah dengan tamu. Apalagi, kami membawa oleh-oleh sebagai
buah tangan dari kampung untuk mereka di kota yang jarang mendapatkannya.
Pada hari kedua, kami, saya dan bapak tidur di rumah
keluarga kami yang lain. Bukan berarti kami tidak senang dengan keluarga yang
satunya. Bukan. Kami pindah supaya dekat dengan dermaga, tempat kapal laut
berlabuh. Biasanya kapal masuk pagi sehingga kami harus berangkat pagi ke
dermaga. Dari tempat keluarga yang baru ini, kami membutuhkan waktu 10 menit. Beda
dengan keluarga yang sebelumnya, kira-kira 20 menit.
Di sini juga kami diterima dengan tangan terbuka. Mereka senang
kami menginap di situ. Keluarga itu datang dan memberi semangat kepada saya. Ada
juga nasihat-nasihat bagaimana berperilaku dan bertutur kata di kota
Yogyakarta. Semuanya berupa seruan agar saya bisa mengenyam pendidikan dengan
baik di kota Yogya. Saya hanya mendengarkan saja. Tidak banyak berkomentar. Ya..ya..saja
sebab saya memang mau berangkat, mau belajar di tempat yang baru. Mereka yang
memberi nasihat itu sudah pernah hidup di kota besar seperti Yogya. Tak heran
jika mereka membagikan pengalamannnya.
Malam itu malam terakhir saya tinggal di Labuan Bajo. Saya berpamitan
kepada keluarga dan kenalan yang lain. Pagi-pagi buta saya sudah siap untuk
berangkat. Bapak saya rencananya ikut mengantar sampai Bali. Alangkah senangnya
hati ini. Tak perlu dirisaukan lagi sebab bapak ada di samping saya. Meski sedikit
takut dan cemas. Bagaimana jika kapal di tengah laut, tidak ada pulau dan daratan
lagi yang bisa dilihat. Hanya ada pemandangan hijau lautan lepas. Hanya berdiri
atau duduk di kapal. Di bawahnya ada lautan yang dalam. Kalau jatuh nyawa jadi
makanan ikan. Takut.....
Ketakutan ini semakin menjadi ketika bapak ternyata
memutuskan untuk tidak jadi berangkat. Saya dipertemukan dengan seorang kenalan
yang akan berangkat ke Jakarta. Dia berjanji menemani saya sampai Bali. Bapak pun
berpesan hati-hatilah nak. Itu saja. Saya sedih. Beruntunglah teman ini tidak
sekadar menemani. Dia juga menghibur saya. Dia memang sudah sering merantau.
Ada untungnya jika bapak tidak ikut ke Bali. Yang paling
kentara adalah soal biaya. Kalau ke Bali berarti siap keluar uang banyak. Banyak
bagi kami yang keadaan ekonominya pas-pasan. Dengan batalnya ke Bali, uang itu
bisa digunakan untuk yang lain.
Dari atas kapal, ketika kapal mulai bergerak, saya
melambaikan tangan ke arah bapak. Sedih.... air mata mulai menetes. Dalam hati
ada perasaan sedih dan takut. Tetapi pelan-pelan kapal itu berangkat
meninggalkan kota Labuan Bajo. Kami berangkat bersama ribuan penumpang lainnya
menuju Bima, Lombok, Sumbawa, dan Bali. Bagimana rasanya tinggal di atas
kapal???? (bersambung.....)
Sebelumnya: Dari Flores ke Yogyakarta (1)
PA, 18/10/2012
Gordi Afri
Posting Komentar