foto, di sini |
Ada undangan nonton bareng film ‘Tabularasa’ di kota
Milan. Orang Indonesia menyebut kota ini Milan sedangkan orang Italia, Milano.
Jadi, kalau di Italia kita sebut saja Milano, sesuai nama asli kota ini dalam bahasa
Italia. Entah dulu, saat zaman romawi, Milano juga atau ada sebutan lain. Yang
jelas sekarang namanya masih Milano. Dalam bahasa Inggris memang ditulis Milan
saja. Indonesia mengikuti sebutan bahasa Inggris ini.
Undangan itu datang dari mbak Ina, sahabat kami di Parma.
Dia, kami sebut, sesepuh-nya orang Indonesia di kota Parma. Dia sudah datang
lebih dulu di sini. Sudah puluhan tahun. Bandingkan dengan saya ini yang belum
genap dua tahun ini. Undagan mbak Ina tidak kami sia-siakan. Teman saya, yang sebelumnya
bicara dengan mbak Ina, menghubungi kami yang lain. Serentak keputusan terakhir
pun kami jawab YA. Jadi, ok, kita ke Milan pada hari yang dijanjikan yakni
Minggu 10 Mei 2015.
Kami menerima tawaran ini karena sudah pasti acaranya
menarik. Nonton bareng film dari Indonesia. Ketemu teman-teman orang Indonesia.
Entah pelajar atau yang sudah bekerja. Entah yang masih muda, jomblo,
berpacaran, atau yang sudah berkeluarga, beranak, atau bahkan yang bercucu. Hem……..
sepertinya saya sudah jumpa dengan beberapa keluarga Indonesia yang sudah
bercucu.
Ketemu orang Indonesia di luar negeri memang seperti
mengobati rindu ke Indonesia. Lebih dari mengobati rindu, pertemuan itu juga
menambah rasa kekeluargaan. Dalam budaya Indonesia pada umumnya rasa kekeluargaan
ini amat kuat. Itulah sebabnya saking kuatnya, kami tidak memandang perbedaan
yang lain. Keluarga besar Indonesia tetap nomor satu.
Kami tahu, kami juga datang dari kampung halaman dan kota
yang berbeda. Kami datang dari keluarga yang berbeda. Kami datang dari agama
yang berbeda. Tapi, ketika kami bertemu, tidak pernah ada pertanyaan, dari
mana, agama apa, pulau mana, orang mana? Pertanyaan itu dilontarkan setelah
kami bertemu, berkumpul, duduk bersama, dan merasa berkeluarga dulu. Dengan
demikian, rasa kekeluargaan itulah yang utama. Setelah bincang bersama, barulah
muncul pertanyaan lainnya.
Dari mana? Dari kota mana? Sudah berapa lama di sini?
Tinggal dengan siapa? Masih kuliah? Sudah bekerja? Dan beberapa pertanyaan
lainnya. Setahu saya, jarang juga di antara kami ribut soal agama. Tidak juga
saling mengejek dari kota mana. Kami disemangati rasa kekeluargaan sehingga
kalau pun ada yang bertanya, sekadar ingin tahu saja. Bukan untuk diejek-ejek.
Kami sama-sama sadar, kita semua di sini adalah orang Indonesia. Presiden kita
adalah Jokowi. Salah satu pendiri negara kita adalah Soekarno.
Maka, nonton bareng adalah salah satu ajang untuk
menambah semangat dan rasa kekeluargaan ini. Selamat membaca kisah selanjutnya.
(bersambung)
Salam dari Parma
17/6/2015
Gordi
Posting Komentar