Berburu
Dedaunan Kuning di Musim Gugur
Untuk
kita yang tinggal di daerah tropis, pergantian musim tidaklah begitu terasa.
Hampir semua tahu, kapan musim hujan dan kapan musim kemarau. Semua juga tahu,
kalau hujan, apa yang harus dibuat. Demikian saat kemarau, apa yang harus
dibuat. Petani di ladang sudah siap dengan bibit padi sesaat sebelum musim
hujan datang. Demikian dengan petani kopi, siap ke ladang untuk memetik kopi,
saat musim kemarau akan tiba. Kalau pun ada pergantian sedikit, tidak jadi soal.
Sebab, paling-paling akan kembali seperti semula, berkutat antara 2 musim yang
sudah jadi familiar.
Pergantian
musim seperti ini tidak terasa di bagian dunia berempat musim. Rasa-rasanya
dunia berempat musim lebih tertarik dengan proses pergantian musim seperti ini.
Sebagai pendatang baru di belahan bumi berempat musim, saya sungguh kaget
dengan perubahan yang ada. Pergantian antara musim sangat terasa. Mulai dari
panas sekali k emulai dingin, lalu dingin sekali, kemudian mulai hangat, lalu
panas lagi. Tubuh saya harus beradaptasi ekstra dengan perubahan yang ada.
Kadang-kadang rasanya lucu. Kok kepala ditutup topi segala, kok berjaket tebal
lebih dari 1 dan 2 segala, kok bibir dioles lipstik
segala, lalu kok di musim panas semua seperti terbuka semua alias ditutup
sebagian saja. Semua ini memang indah pada waktunya.
Beberapa
waktu lalu, saya diajak oleh seorang sahabat untuk menikmati masa-masa
menjelang akhir musim gugur. Saat musim gugur, dedaunan pohon berjatuhan dan
mati. Tak jarang, pohon tak berdaun pun menghiasi mata kita saat memandang
sekitar. Tampak seperti pohon beranggas. Pohon beranggas di daerah tropis
menjadi tanda bahwa pohon itu mati, atau sudah mati, atau menuju kematian.
Pohon beranggas di daerah berempat musim seperti Eropa rupanya bukan pohon
menjelang mati, tetapi pohon yang sedang beradaptasi. Dengan menjatuhkan
daunnya, pohon itu sedang beradaptasi menghadapi musim dingin yang menderanya.
Tetapi,
di sinilah hal menariknya. Boleh dibilang antara kematian dan keindahan.
Sebelum mati, dedaunan itu menciptakan sebuah keindahan alami. Ya, dedaunan
kuning itu membuat alam jadi indah. Dipadu dengan langit biru, tanah kering,
angin sepoi, matahari bercahaya, dedaunan kuning itu menjadi tiada duanya.
Indahnya bukan main.
Saya
mula-mula bertanya pada sahabat ini, apa
sih indahnya alam saat ini? Hanya guguran dedaunan yang ada. Bukankah itu
paling-paling hanya daun yang tak berguna selain untuk dijadikan pupuk saja?
Kata teman saya, come and see, vieni e seguimi.
Dengan
mobil FIAT-nya, kami berputar di pusat kota Parma. Rencana semula ke gunug
dibatalkan karena kami melihat dedaunan kuning di pusat kota. Kota Parma memang
memiliki banyak pohon di sekitar jalanan di pusat kota. Dedaunan inilah yang
jadi objek penglihatan kami. Sungguh sebuah keindahan yang tiada duanya. Kata
sahabat saya, pemandangan ini hanya berlangsung sekali setiap tahun. Hanya pada
musim gugur. Setelah itu, kita harus menunggu tahun depan lagi untuk bisa
melihat keindahan alam yang ada. Rupanya musim gugur itu seperti hidup antara
dua dunia, antara kematian dan keindahan. Daun yang gugur rupanya harus
melewati tahap keindahan dengan warna-warninya yang kuning.
PRM,
22/1/2015
Gordi
*Diposting pertama kali di sini
Posting Komentar