Belajar Kehidupan dari Pohon tak Berdaun
Jika ditanya, apa ciri khas musim dingin di Eropa? Salah
satu jawaban adalah pohon-pohon yang tak berdaun. Masih banyak jawaban lainnya
tapi jawaban yang ini yang paling pasti. Sudah jadi bayangan setiap orang, jika
musim dingin identik dengan pohon tak berdaun.
Sabtu pagi kemarin, saya menyaksikan pohon-pohon tak
berdaun itu. Mulai dari melirik dari jauh sampai saya mendekatinya. Tidak lama.
Hanya 45 menit. Boleh dibilang 45 menit yang berharga. Saya keluar dari rumah
membawa serta jaket, topi untuk musim dingin, dan syal di leher. Tidak berkaus
tangan. Tentu kaki bersepatu. Kaus tangan ditinggalkan sebab saya mau memotret
pohon-pohon tak berdaun itu. Apalagi matahari menyinarkan sedikit cahayanya.
Meski matahari amat pelit, cahaya yang ada membuat hati ini bergembira.
Sebenarnya bukan kali pertama, saya bertemu pohon-pohon
ini. Sering kali saya lewat di sini. Dengan sepeda atau berjalan kaki.
Rasa-rasanya memang saya sering berkontak dengan pepohonan ini. Tapi pertemuan
hari ini cukup unik.
Saya memandang dari jauh, dari seberang jalan. Lalu, saya
mendekat. Saya tidak mau berkata-kata, tidak juga berdecak kagum, tidak juga
menghakimi, tidak juga merasa iri. Saya membiarkan pohon-pohon itu menampakkan
keasliannya pada saya. Saya juga tidak mengeluarkan kamera saku yang sudah saya
siapkan di saku jaket. Antara saya dan pohon-pohon itu memang hanya ada ruang. Saya
tidak mau menyebut ruang itu sebagai keindahan. Saya hanya mau menikmati ruang
antara saya dan pohon-pohon itu berlama-lama. Jadilah saya dan
pohon-pohon tak berdaun itu saling tatap.
Dalam dialektika orang Eropa, saya sedang menatap pohon tak
berdaun itu. Maka, saya yang aktif sedangkan pohon
itu pasif. Sepintas memang pohon itu seperti mati. Tak bergerak, tak bersuara.
Biasanya pohon bersuara kala daunnya bergerak disapu angin. Pohon juga bergerak
kala dahannya bergoyang diterpa angin. Orang Eropa dengan rasionalismenya boleh
mengatakan demikian. Orang Timur (Asia) sebaliknya menilai
pohon-pohon itu sedang menampakkan diri pada saya. Jadi, bukan saya
yang sedang memandang (yang aktif) tetapi pohon-pohon itulah yang menampakkan
diri (yang aktif). Penilaian ini bisa tercapai hanya dalam pengalaman. Maka,
orang Timur memang sarat dengan hal-hal yang berbau empiris.
Saya tidak mau berkutat dalam cara pandang yang berbeda
ini. Saya hanya mau menatap pohon-pohon ini. Dalam tatapan ini, saya juga
sebenarnya melihat penampakan pohon-pohon itu. Jadi, bukan saya saja yang
sedang memandang tetapi pohon-pohon itu juga yangg sedang menampakkan diri.
Dari pertemuan inilah saya dapatkan keindahan dan arti hidup yang tiada tara.
Betul-betul mengagumkan pemandangan pohon-pohon itu. Saya
tak menemukan pemandangan ini di Indonesia. Biasanya pohon tak berdaun di
Indonesia diibaratkan dengan kematian. Pohon tak berdaun berarti pohon
mati. Di sini rupanya lain. Pohon tak berdaun itu rupanya hidup. Dan
bukan saja sekadar hidup, tetapi juga masih bertenaga, masih mampu membuat
kreasi baru, menciptakan keindahan. Memang, pohon tak berdaun itu menampakkan
keindahannya.
Pohon itu ibarat manusia yang berkepala botak.
Boleh jadi ada yang menilai aneh. Kepala kok tak ber-rambut. Demikian dengan
pohon tak berdaun. Pohon kok tak berdaun. Tetapi, kalau kita membuang penilaian
sepihak seperti ini, kita menemukan keindahan dan relasi yang tiada tara.
Orang Eropa atau Italia pada umumnya tidak memandang aneh terhadap orang
berkepala botak. Bagi mereka, berkepala botak atau tidak, orang itu tetaplah
sama dengan yang lain. Ada kesamaan umum yakni makhluk hidup yang diciptakan.
Maka, kebotakan bukanlah keanehan. Kepala botak dalam hal ini ya sama dengan
kepala ber-rambut.
Orang Eropa memandang pohon tak berdaun seperti memandang
laki-laki tak ber-rambut. Tidak ada bedanya. Itulah sebabnya, pohon tak berdaun
pun bukan saja dihargai/dihormati tetapi juga dirawat. Ini kiranya menjadi
pelajaran bagi kita di Indonesia yang memiliki hutan luas dengan berbagai jenis
pohon tetapi rakus membakar hutan. Di sini, pohon tak berdaun pun dipelihara
karena memang pohon itu juga berhak untuk hidup. Kita seharusnya
belajar dari mereka, menghargai pohon yang hidup. Jarang sekali pohon tak
berdaun berkeliaran di hutan Indonesia. Kalau pun ada, pasti ada orang yang
membuatnya demikian. Di sini, pohon itu tak berdaun karena alam membuatnya
demikian. Maka, alam sebenarnya adalah yang berkuasa atas pohon-pohon itu. Kita
sebagai sesama makhluk hidup harus menghormati alam yang mengatur semua ini.
Supaya tulisan ini tidak membosankan, saya berhenti di
sini. Biarlah foto-foto yang berbicara selanjutnya. Sebab, sebagaimana
pohon-pohon itu dekat dengan manusia, foto-foto ini kiranya mampu berbiacara
dari dekat kepada kita. Selamat menikmati dan selamat berakhir pekan.
PRM, 6/2/2016
Gordi
*Dipublikasikan pertama kali di blog kompasiana
Posting Komentar