MENARI-NARI DI ATAS LAUT
ADRIATICO
Menari-nari di atas laut. Itulah kesan yang disampaikan
teman saya asal Burundi, Afrika, saat kereta kami melintas di pinggir Laut
Adriatico, di daerah Marche, Italia Tengah.
Memang benar kereta kami
sedang menari-nari. Dalam acara tarian pada umumnya, penonton dan penari merasa
senang. Perasaan itu juga yang kami dan para penumpang lainnya miliki dalam
kereta Regionale Velloce itu.
Bayangkan kereta itu melintas tepat di pinggir laut Adriatico itu.
Laut Adriatico atau juga
disebut Laut Mediterania adalah salah satu laut terindah di Italia. Begitu
kesan orang Italia ketika ada pertanyaan tentang laut ini. Laut ini memang
berada di bagian Kanan daratan Italia.
Jika kita lihat peta geografi
Italia, memandang dari Utara (atas) ke Selatan (bawah), laut Mediterania berada
di bagian Kanan. Laut ini berada di antara Italia dan beberapa negara yang
berhadapan dengannya seperti Croazia, Bosnia, Slovenia, Montenegro, Albania,
dan sebagainya.
Keindahan laut ini mengundang
banyak wisatawan, dalam negeri dan luar negeri. Jangan heran jika kota-kota di
sepanjang laut ini selalu ramai. Keindahannya memang sudah mendunia.
Kereta kami yang berangkat
dari kota Piacenza (sekitar 52 km dari kota Parma) pada Sabtu, 16 Juli sore
hari juga penuh dengan para turis dalam dan luar negeri. Dari Piacenza dan
Parma (tempat kami naik) terlihat sedikit. Lalu, pelan-pelan menuju kota
Bologna. Di sini mulai penuh.
Rupanya di setiap stasiun
berikutnya selalu ada penumpang dalam jumlah besar. Dari anak-anak, remaja,
orang tua, berkelompok besar dan kecil, keluarga, dan sebagainya.
Kereta kami memang harus
berhenti di setiap stasiun besar di setiap kota. Kereta ini bukan kereta super
cepat seperti Frecciarossa yang
mencapai 300 km per jam. Kereta ini hanya kereta antar-provinsi. Mungkin
seperti kereta Ekonomi atau Bisnis jurusan Jakarta-Surabaya di Indonesia.
Saya sengaja mengambil kereta
ini dalam perjalanan dari Parma ke Ancona. Jarak dua kota ini memang jauh, 294
km. Jauh tetapi tidak mendesak sehingga tidak ada alasan yang kuat untuk ambil
kereta cepat.
Dengan kereta regional ini,
kami bisa menikmati perjalanan dengan tenang dan nyaman. Tidak ada pencopet
meski tetap was-was. Jadi, tidak perlu risau dan khawatir. Tempat duduknya juga
luas. Duduk berhadapan, ke depan dan ke belakang. Dalam gerbong, ada pembagian
kiri dan kanan untuk tempat duduk. Bagian tengah menjadi jalur pelintasan.
Ketenangan ini yang membuat saya
tertidur pulas hampir 2 jam. Perjalanan ini memang hampir 4 jam, yakni 3 jam
dan 49 menit. Rasa kantuk muncul karena kami berangkat dari Parma tepat setelah
makan siang.
Sahabat saya, Maurizio,
mengantar kami ke stasiun. Setelah 15 menit dalam mobil FIAT-PUNTO itu, kami
masuk stasiun kota Parma, menuju ke tempat stempel tiket model elektronik, lalu
naik ke binario (nomor jalur kereta
dalam stasiun).
Kami tiba 15 menit sebelum
kedatangan kereta. Waktu ini amat berharga meski pendek. Dalam perjalanan jauh,
waktu pendek pun menjadi amat berharga. Maka, saya mengecek kembali
perlengkapan perjalanan. Tiket, peta jalur kereta yang sudah saya print tadi pagi, aqua biar tidak repot
beli di stasiun berikutnya, mp3 player
biar tidak ngantuk, dan sebagainya.
Perlengkapan ini penting meski
tidak semuanya digunakan dalam perjalanan jauh ini. Air aqua tentu saja diminum. Suhu hari ini panas
sekali. Apalagi saat melintas di pinggir laut Adriatico itu. Untungnya jendela
gerbong dibuka sehingga udara keluar masuk dengan lancar.
Mp3 player tidak saya nyalakan. Tidak ada gunanya. Saya malah
tertidur setelah stasiun ketiga yakni Stasiun kota Bologna. Dari sini saya tidur
sampai menjelang tempat tujuan kami.
Saya
tidak ingat kapan naik dan turunya. Saat membuka mata beberapa kali di hadapan
saya duduk seorang remaja cowok Italia, lalu berikutnya ganti, remaja cowok
Jepang, lalu terakhir duduk gadis manis Italia. Tidak ingat persis
naik-turunnya karena saya bangun hanya sebentar saja.
Untungnya
lagi tidak ada pengecekan tiket. Entah
mungkin ada atau tidak. Entah teman saya yang memberitahukan kepada petugas
kalau saya memang punya tiket. Tidak jelas. Semuanya berjalan lancar tanpa ada
halangan.
Di beberapa
stasiun besar dan ramai memang saya bangun sebentar untuk melihat-lihat stasiun
dan juga mengecek keberadaan koper saya. Aman-aman saja rupanya. Teman saya
meletakkan koper saya di belakang kursi. Ada lowongan kecil antara kursi yang
mengarah ke belakang dan ke depan.
Di gerbong
kami ini memang tidak ada tempat untuk menyimpan koper besar. Di atas tempat
duduk ada deretan kotak tapi berukuran kecil. Hanya untuk tas jalan saja.
Bahkan beberapa tas besar seperti tas naik gunung dari beberapa remaja dari
Inggris pun tidak muat. Jadilah mereka meletakkan tas-tas besar dan tinggi itu
di depan kaki mereka.
Gerbong
ini bertingkat 2. Saya sengaja memilih tingkat 2. Dari sini bisa lihat ke mana-mana dari ketinggian. Beda dengan
tingkat 1 yang hanya berupa pandangan seperti di kereta biasa. Hanya saja, dari
tingkat 2 ini, kita bisa merasakan pergantian posisi kereta, saat miring dan
berbelok. Di tingkat 1, ini tidak terasa.
Dalam stasiun, kereta ini
biasanya seperti bus di Italia pada umumnya, memiringkan gerbongnya agar
penumpang mudah masuk dan keluar. Gerakannya ini dibantu dengan entah karet
pegas dalam gerbong. Kapten kereta seperti sopir bus menekan tombol dan
langsung keluar bunyi busssss lalu gerbong kereta miring sampai pintunya rata
dengan tempat pijakan kaki penumpang di stasiun.
Pemandangan inilah yang kami
rasakan juga saat kereta berhenti di Stasiun kota Rimini. Di sini banyak
penumpang yang datang dari Piacenza, Parma, Regio Emilia, Modena, Bologna, dan
beberapa stasiun lainnya, turun. Tujuan mereka rupanya kota Rimini.
Kota Rimini adalah kota kecil
tetapi ketenarannya juga mendunia. Beberapa sahabat Italia pernah bilang,
Rimini adalah kota dengan jumlah bar dan diskotik internasional terbanyak di
Italia. Di sini memang banyak tamu mancanegara. Hotel-hotel dan restoran selalu
ramai oleh tamu mancanegara. Pengakuan seperti ini juga saya dengar dari
seorang kenalan saya orang Indonesia, Bali, dua tahun lalu saat kami bertemu di
Parma.
Kenalan ini sudah puluhan
tahun tinggal di Bali. Rupanya dia datang sebagai pekerja di salah satu hotel.
Menikah dengan orang Italia dan akhirnya punya hotel sendiri. Jadilah dia
pengelola hotel itu. Kapan-kapan kalau mampir di Rimini boleh kontak kenalan
ini.
Saat penumpang turun, kereta
terasa lenggang. Dalam gerbong kami, hanya tersisa sekitar kurang dari 20-an
penumpang. Di sini, saya bangun dan bercerita dengan seorang ibu muda Italia.
Dia rupanya menuju kota Ancona seperti tujuan kami.
Saya bertanya tentang kota
Rimini. Katanya, Rimini memang selalu
ramai. Dia yang sering melintas di sini dengan kereta regional ini juga
mengakui kalau pada akhir pekan seperti ini banyak orang pergi ke pantai
Rimini. Apalagi, sambungnya, liburan musim panas seperti ini.
Dari dia juga
kami tahu kalau jalur ini memang ramai tetapi tetap aman. Belum ada kasus
ancaman bom bunuh diri dalam kereta atau stasiun seperti yang terjadi di
Jerman, Prancis, Banglades, Turki, dan sebagainya pada hari-hari ini. Dialah
yang menganjurkan pada kami untuk menyimpan koper di belakang kursi dalam awal
perjalanan tadi.
Rupanya ramah
juga ya ketika ditanya. Kirain tadi, agak cuek, apalagi matanya tertutup
kacamata hitam. Setelah berbagi dua tiga kata (mengutip pribahasa Italia), kami pun sepakat untuk membuka kaca mata.
Dialog pun menjadi lebih hangat sampai dia beberapa kali bercerita tentang anak
dan suaminya. Tanpa bertanya pun, bisa disimpulkan bahwa dia memang bersuami
dan punya anak satu.
Hal seperti
ini kadang sulit sekali ditemukan antara orang baru kenal seperti ini. Beberapa
orang Italia kadang-kadang tidak mau, tidak boleh, ditanya dan menjawab tentang
status dan usia. Jadi, hati-hati jika bertanya tentang umur atau status
perkawinan.
Sekitar 50 km
sebelum tujuan kami, saya memutuskan untuk bangun dan tidak tidur lagi. Saya
mencoba mengarahkan pandangan ke arah laut. Betapa asyiknya perjalanan ini. Betul-betul seperti kata teman saya, menari-nari di atas
laut.
Di samping kereta, desiran
ombak berbunyi bersama serunya bunyi gerbong kereta yang beradu dengan rel
kereta. Di dalam gerbong, para penumpang siap-siap untuk turun, mengecek bawang
bawaan mereka. Sesekali kereta berhenti bukan karena dihadang air laut tetapi
singgah di stasiun yang letaknya tepat di pinggir laut.
Di pantai sepanjang rel dekat
laut ini, terbaring banyak pengunjung dan pecinta pantai. Sedang berjemur di
bawah teriknya mentari. Mencari angin dan suhu dingin. Memerahkan kulit putih
nan mulus. Boleh jadi mereka ini juga tiba di sini dengan kereta ini. Ya,
mereka dan kami memang sama tetapi juga beda. Mereka sedang menikmati angin
laut di pantai itu. Kami masih dalam perjalanan menuju tujuan kami. Tetapi,
kami sama-sama berada di pinggir laut Adriatico ini.
Tepat pukul 17.19, kereta kami
berhenti di stasiun kota Ancona ini. Setelah mengecek semua bawaan, kami turun
dari lantai 2, ke lantai 1, lalu keluar kereta. Berjalan sebentar dalam stasiun
sambil membaca petunjuk keluar, lalu keluarlah kami dari stasiun.
Di luar, dengan mudah, kami
menemukan dua sahabat kami yang menjemput kami. Mereka rupanya baru tiba dari
tempat parkir. Ucapan Selamat bertemu kembali keluar dari mulut kami sambil
memeluk erat ala italia. Pelukan ini menandakan persahabatan erat antara kami.
Terima kasih untuk Dia yang
membolehkan kami berjalan dalam kereta ini. Darat dan laut menyatu dalam
persahabatan yang indah, seindah lautan biru ini.
Sekadar berbagi yang dilihat,
ditonton, dirasakan, dialami, dibaca, dan direfleksikan.
ANC, 22/7/2016
Gordi
Dipublikasikan pertama kali di blog kompasiana
Posting Komentar