Halloween party ideas 2015

 


Perumpamaan Gembala mencari domba kiranya bukan kisah asing. Tapi domba mencari gembala kiranya belum begitu terkenal.

 

Pencarian seperti inilah yang dibuat oleh seorang bapak. Di sore hari tepat setelah mahgrib. Meski di sini tidak ada suara adzan sebagai penanda waktu, di sore seperti inilah sang bapak punya waktu luang. “Kebetulan saya sedang tidak sibuk Romo,” sapanya saat kami berjumpa di gerbang.

 

Perjumpaan ini amat berkesan. Sebab, bapak ini benar-benar membuat sebuah pencarian. Dari caranya berkunjung, bapak ini yakin bahwa iman itu bukan soal pengakuan di mulut saja. Tapi soal pencarian tanpa henti. Karena merupakan sebuah pencarian, iman itu tentu terkait dengan pengalaman dengan orang lain. Relasi inilah yang membuat bapak ini melakukan sebuah pencarian.

 

Ada arahan yang membuatnya datang dan mencari. Atau tepatnya berkunjung ke kompleks pastoran ini. “Romo Jun memberitahu saya bahwa di sini ada Gereja Katolik,” tuturnya menjelaskan latar belakang kunjungan. Seperti saya, Romo ini juga bekerja di Keuskupan Nakhon Sawan. Romo ini rupanya adalah Pastor Parokinya. Boleh dibilang, karena Romo Jun-lah sang bapak bisa hadir di sini.

 

Di tengah perbincangan, bapak ini dengan santai menjelaskan situasi umat beriman di parokinya. Melihat gedung gereja kami, ia pun berkomentar bahwa, di sini umatnya banyak juga. Tapi sebetulnya dibanding gerejanya, gereja ini masih lebih kecil. Tapi jumlah besar itu memang muncul karena struktur umat. Di gerejanya, sukunyalah yang menjadi mayoritas Katolik. Di sini juga, hampir 90% berasal dari satu suku besar. Sisanya yang 10% berasal dari 3-4 suku kecil lainnya.

 

Cerita pertama ini meyakinkan saya bahwa bapak ini amat dekat dengan gereja. Tak bisa dipungkiri gereja itu sumber kekayaan sosial. Siapa yang ke gereja pasti pandai bersosialisasi. Meskipun ada juga yang bersembunyi di balik kekayaan positif ini. Ada yang ke gereja hanya untuk berdoa. Aspek sosial bukan menjadi sebuah ketertarikan bagi mereka. Itulah sebabnya ada yang setelah kusyuk berdoa di gereja, bercerewet di tempat parkir. Ini bukan soal kadar keimanan dan kepercayaan yang kurang. Ini hanya karena beda tekanan. Beda dengan yang lainnya, kelompok ini benar-benar ke gereja hanya untuk berdoa. Berdoa bagi mereka adalah tujuan utama. Yang lain tidak mereka pedulikan.

 

Kebiasaan seperti ini bukanlah milik bapak yang pekerja keras ini. Memang iman itu soal relasi dengan yang di atas. Tapi, bagi bapak ini, tampaknya iman itu juga berkait dengan yang di samping. Iman yang vertikal dan horizontal itulah yang membuatnya mencari yang lain. Berbekal petunjuk sang pastor paroki, ia melakukan pencarian ini. “Saat lewat di sini, saya melihat tulisan Gereja Katolik Santo Yosef Pekerja,” jelasnya sambil tersenyum.

 

Bapak ini amat bahagia. Ia memang sering datang ke sini untuk menjemput para pekerja. Yang akan bekerja di kebun yang ia garap. Ia bukan pemilik kebun, tapi ia pandai menggarap lahan orang lain. Sambil menjemput para pekerja, ia pun dengan semangat ingin mencari tahu. Ia tampaknya ingin sekali bertemu dengan Romo yang ada di paroki ini.

 

Kedatangannya memang tidak saya duga. Sambil memerhatikan kompleks pastoran, saya menengok mobil yang lewat di depan gerbang pastoran. Tampak mobil itu berhenti dekat pintu. Tapi dugaan itu hanya berdasarkan posisi pantat mobil. Tidak lama kemudian, sambil saya menuju gerbang, mobil itu berbalik arah. Saya belum sampai di gerbang, bapak itu sudah muncul dari balik gerbang.

 

Beda dengan Ahli Taurat, bapak ini tidak sedang mencobai saya dengan pertanyaan. Sebaliknya, bapak ini datang dengan bertanya karena ingin tahu. Apakah benar ini gereja Katolik. Pencarian seperti ini tentu amat saya apresiasi. Kadang-kadang ketika jauh dari gereja parokinya, ada umat Katolik yang tidak peduli dengan Misa Mingguan. Beda dengan mereka, bapak ini datang dan mencari. Jika diibaratkan relasi Gembala-Domba, bapak ini bagaikan domba yang mencari gembalanya.

 

Ini tentu menjadi usaha besar dan perlu kerja keras. Bapak ini memang bukanlah tipe umat yang biasa-biasa saja. Meski umat Katolik di Thailand tidak mencapai 1%, kualitas iman bapak ini amat tangguh. Ia memang seorang pekerja keras. Ia datang dari provinsi yang jaraknya sekitar 4-5 jam dari tempat ini. Ia ke sini untuk mencari sesuap nasi. Tubuh jasmani itu memang harus terus dihidupi. Sebab life must go on, kata orang Inggris. Tapi bagi bapak ini, sambil mencari untuk jasmani, yang rohani juga harus diberi makan.

 

Semangat inilah yang membuat bapak ini datang menemui saya. Selain pekerja keras, ia juga rupanya benar-benar seorang yang beriman. Keluarganya menjadi potret keluarga kudus. Dengan semangat, ia dan istrinya membimbing anak-anak untuk menjadi orang beriman katolik yang baik. Alhasil, meski tidak diteruskan, seorang anaknya pernah bergabung dengan sebuah kongregasi suster di kota Bangkok. “Anak saya sekarang kembali ke rumah, setelah bergabung dengan Suster-suster Hati Kudus sampai di jenjang novisiat,” katanya tanpa nada sesal.

 

Ia gembira dengan pilihan anak-anaknya. Itulah sebabnya ia menghormati keputusan anaknya ini untuk melanjutkan kuliah dan berhasil meraih gelar sarjana Bahasa Inggris. Seperti sang anak, sang bapak pun yakin, anaknya akan menjadi orang yang berguna bagi gereja dan bangsa Thailand. “Dia sempat membantu Pastor Ronny, mengajar Bahasa Inggris di Sekolah Katolik St Nicholas selama 2 tahun,” tandasnya dengan bangga.

 

Meski saat ini, anaknya tidak membantu di sekolah Katolik, panggilan anaknya tetap dihidupi sebagai orang awam. Selain membantu ayah dan ibunya dalam keluarga, sang mantan Novis itu aktif dalam berbagai kegiatan di gereja. Panggilan anak ini kiranya tidak jatuh begitu saja dari langit. Tapi tumbuh dari didikan bapak dan ibunya. Iman bapak ini sungguh berbuah dalam kehidupan anak-anaknya termasuk yang pernah menjadi novis ini.

 

Iman akhirnya bukanlah soal pergi ke gereja. Tapi dari gereja, mestinya ke masyarakat. Pengalaman beriman seperti itulah yang kiranya membentuk keluarga Katolik di Thailand akan menjadi keluarga bahagia. Dan bahkan, meski minoritas, justru menjadi kebanggan bagi kaum mayoritas.

 

“Sampau jumpa besok Minggu Romo,” kata Bapak ini mengakhiri obrolan sejam lebih ini. Terima kasih bapak atas kunjungannya. Sungguh engkaulah domba yang mencari gembalanya.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.