Di musim hujan ini, hal yang paling dicari oleh penduduk pegunungan adalah selimut tebal. Yang bisa menghangatkan badan mereka. Seperti rumah, selimut itu akan melindungi mereka dari bahaya kedinginan.
Selimut itu memang tidak besar seperti rumah. Tapi keinginan mereka untuk mendapatkan selimut itulah yang menyatukan mereka. Untuk menunggu di rumah kedatangan kami. Mereka tahu, tidak semua akan mendapat selimut, tapi mereka tetap berjuang untuk datang dan menunggu kami.
Sejam sebelum kami tiba, mereka sudah berkumpul. Mereka benar-benar ingin mendapatkan selimut itu. Agar tidak terjadi ketidakadilan, panitia kecil menyiapkan nomor seperti lotre. Pemilik nomor itulah yang berhak mendapatkan selimut yang dibagi. Cara ini mampu memuaskan mereka. Meskipun kepuasan itu hanya soal keberuntungan saja. Tapi paling tidak, cara itu tidak mengecewakan perjuangan mereka.
Kami memang tidak bisa menyediakan sebanyak jumlah mereka: 183 keluarga. Tapi kami senang berbagi apa yang kami dapatkan (120-an lembar). Ini pun sebenarnya hanya sisa dari bantuan tahun lalu. Bantuan tahun ini belum ada. Mungkin karena covid melanda, para donatur pun belum bisa menyisihkan penghasilannya untuk orang miskin dan pengungsi di desa-desa pegunungan, Kabupaten Phopra, perbatasan Thailand-Myanmar ini.
Harapan dari wajah mereka tampak dari jauh saat mobil kami mendekat ke gerbang rumah sederhana di Desa bernama Baan 14 itu. Meski tak terlihat, dari wajah mereka terbaca, harapan untuk mendapatkan selimut. Kain itu akan menjadi penghangat untuk anggota keluarga mereka. Tentu tidak cukup, tapi paling tidak mengurangi kebutuhan akan kehangatan.
Setelah panitia kecil menurunkan barang-barang ini dari mobil, keluarga-keluarga pengungsi asal Myanmar ini pun berkumpul di halaman. Di lahan kecil itulah, harapan besar setiap orang dipertaruhkan. Selimut dengan beberapa warna itu pun disusun rapi di atas terpal yang hampir basah oleh tanah yang becek. Kami ingin mengabadikan keramaian di atas tanah ini. Maka, sebelum dibagikan, kami berfoto bareng.
Kenagan sore ini tentu akan menjadi harapan yang nyata dan tidak. Tapi, dengan berharap sebenarnya masa depan itu akan menghidupi masa sekarang. Mungkin bukan saat ini, di kesempatan lain akan diusahakan bagi mereka yang belum mendapatkannya saat ini. Harapan itulah yang membuat mereka tidak kecewa meskipun tidak mendapatkan hasil.
Nomor-nomor penentu harapan itu pun dibacakan. Satu per satu dari nomor kecil sampai ke nomor besar. Ada rasa bahagia yang terpancar saat mereka datang, menyerahkan nomor dan menerima selimut. Saya amati betul, sampai ada yang mengutus anak-anak mereka yang masih kecil, untuk menerima penghangat itu. Saya yakin, penghangat sederhana itu akan membuat suasana keluarga mereka menjadi lebih hangat.
Kehangatan keluarga tentu menambah kehangatan hati. Hati yang hangat inilah obat pengawet keluarga harmonis. Jika hati terasa hangat dalam keluarga, niscaya pemilik hati itu tidak akan mencari kehangatan di tempat lain, atau bahkan di lain hati.
Bersama komunitas Katolik Myanmar di Baan 14 ini, kami merasa bangga. Bisa berbagi dengan keluarga pengungsi Myanmar lainnya. Jumlah kami kecil, tapi semangat kami untuk berbagi dalam kelompok besar amat tinggi. Inilah yang kami dapatkan dari Yesus. Yang memberi makan kepada 5000 orang. Mereka berasal dari berbagai latar belakang. Yesus tidak mengecek apakah mereka termasuk bagian dari murid-Nya atau tidak. Yang ada di benak saat itu hanyalah HATI-nya yang tergerak oleh Belas Kasihan. Untuk memberi mereka makan.
Makanan jasmani mungkin belum bisa kami sediakan untuk semua keluarga pengungsi ini. Tapi, makanan spiritual seperti semangat berbagi ini sudah kami bagikan. Semoga kita semua bisa berbagi dalam semangat persaudaraan. Persaudaraan inilah yang menghangatkan kita di musim hujan yang dingin ini.
Thailand 9/7/22
DFT
Posting Komentar