MENEMUKAN JEJAK KEHIDUPAN
Hari ini, saya akan menemukan jejak kehidupan. Inilah angan-angan saya
pagi ini. Pagi hari pertama di kota Jogja. Saya ingin agar pagi ini menjadi
awal untuk bertemu sapa kembali.
Dari balik kamar, saya dengar
suara Pak Mul, karyawan yang bekerja lama di rumah kami. Dia biasa datang
pagi-pagi dari daerah Bantul. Suaranya masih saya ingat dengan jelas. Mungkin
dia tahu bahwa sahabatnya sedang medengar suaranya itu dari balik kamar.
Matahari beranjak dari
peraduannya. Alam Jogja masih hangat seperti dulu. burung-burung berkicau.
Suara kendaraan di Ring Road Utara kota
Jogja mulai riuh. Saya terus membayangkan lalu lalangnya sepeda motor di jalur
lambat, dan mobil di jalur cepat.
Seperti mereka, saya pun
segera bangun dan mandi. Kemudian, berdoa sejenak sembari mengucap terima kasih
pada Bapa yang memperkenankan saya melewati perjalanan panjang hingga tiba
dengan selamat di tempat ini. Saya senang mengucapkannya pada Dia karena Dia
saya pun ada di sini.
Rasa senang ini, saya bawa
saat saya bertemu kembali dengan sahabat-sahabat lama. Ada bapak dan ibu di
dapur yang sedang menyiapkan sarapan. Ada Pak Mul yang suaranya tadi khas
terdengar. Dan, ada Mas Jono di belakang yang btertemu saat dia datang untuk
sarapan. Kami semua tersenyum dan tertawa kegirangan.
“Sekarang sudah jadi orang
besar,” sapa yang satu.
“Wahh tak sangka, kita bisa
bertemu lagi,” lanjut yang lainnya.
“Masih ingat, dulu kita
mengantar Majalah Xaverian ke paket ekpres hehe (sambil tertawa..),” tanggap
saya.
Banyak cerita lainnya
berlanjut. Ya, kami ingat semuanya ini. Rasanya bumi berputar saat kami
mengenang kembali. Inilah bagian dari jejak kehidupan kami bersama. Jejak itu
begitu kuat. Jejak itu seperti gempa Jogja yang terjadi pada 2006 yang lalu.
Ingatannya membekas. Mulai dari lari-lari dari lantai 2, tertahan di kamar
mandi, takut tidur di lantai 2, sampai jadi relawan di Kabupaten Bantul.
Jejak kedua tidak kalah
saing. Mulai dari mengatur anak-anak untuk hidup tertib, disiplin, jujur, dan
bekerja keras sampai pada pengiriman paket ke luar kota dan ke luar negeri.
Semuanya ini adalah jejak kami. Jejak ini menjadi indah dan bermakna, saat kami
mengingatnya kembali. Pertemuan pagi ini betul-betul menjadi awal dari proses
penemuan jejak itu.
Salah satu jalan yang juga
menjadi jejak petualangan di Jogja adalah Jalan Kaliurang. Di jalan ini, banyak
tempat persinggahan mulai dari kampus, pusat belanja, warung makan, sampai
tempat live-in di panti asuhan.
Pagi ini, saya dan sahabat
saya menyusurinya lagi. Saya ingat betul jejak-jejak saya di sini. Hanya saja
sekarang ada sedikit perubahan. Rumah-rumah di sekitar jalan makin bertambah
dalam 4 tahun terakhir. Perjalanan hari ini sebenarnya lebih dari sekadar
menemukan jejak tetapi juga menemukan jejak baru.
Pertama, kami singgah
sebentar di Gereja Katolik St Maria Assumpta, Pakem. Mampir di sekretariat
paroki untuk menitipkan surat. Kemudian, kami menuju Rumah Budaya-nya Romo
Sindhunata, Oemah Petroek. Tempat ini baru bagi saya. Dulu, sudah tahu namanya
tetapi tidak tahu tempatnya. Saya senang, hari ini bisa tiba di tempat ini.
Sebelum berkeliling di
kompleks yang asri ini, kami membeli buku Dari
Jurang yang Dalam karangan Rm Sindhunata. Saya sudah mengincar buku ini
sejak lama. Diterbitkan tahun 2014 dan dicetak untuk kedua kalinya pada 2015.
Inilah salah satu penulis yang saya suka dalam dunia tulis menulis saya.
Setelah membayar di kasir,
kami berkeliling. Ada beberapa rumah Joglo yang besar tempat pertunjukan seni.
Ada pameran patung-patung. Ada kolam bercorak seni. Masih banyak pemandangan
budaya lainnya. Rumah ini memang menjadi rumah seni, budaya, dan meditasi.
Ulasannya nanti akan muncul di kemudian hari. Untuk kali ini, sekian saja.
Jejak itu kini ditemukan
kembali. Ada jejak baru yang juga pasti akan dikenang. Setiap peristiwa akan
menjadi jejak dan setiap jejak akan dicari kembali. Itulah siklus kehidupan.
Indah dikenang, kangen diulangi. Terima kasih semuanya.
Quezon City, 10/12/17
Gordi SX
Posting Komentar