Halloween party ideas 2015

JOGJA SWEET HOME
 
Jogja, kota budaya, FOTO: pixabayfree
Scott Hann pernah menulis buku dengan judul Rome Sweet Home. Buku ini mengisahkan perjalanan keyakinannya. Ia berubah dalam pencariannya akan Tuhan.

Scott semula adalah Pendeta di salah satu Gereja Protestan. Sebagai Pendeta, ia membekali dirinya dengan pengetahuan dan pengalaman. Keahliannya dalam bidang Teologi pun tak diragukan lagi. Seperti teman-teman Protestan lainnya, Scott paham betul ayat-ayat Kitab Suci.

Dari Kitab Suci dan ilmu Teologi lainnya, Scott menjadi Teolog kondang. Ayat-ayat Kitab Suci baginya menjadi sumber dari pengetahuannya. Maka, setiap kali menulis buku atau membawa seminar, Scott hampir pasti mengutip ayat-ayat Kitab Suci. Karena keakrabannya ini, Scott pun diubah oleh ayat-ayat Kitab Suci itu.

Dalam pencariannya akan Tuhan, dia menemukan sesuatu yang kurang. Ia bertanya, bertanya dan terus bertanya sembari mencari, mencari dan terus mencari. Pada akhirnya, ia menemukan rumah teduhnya. Ia memutuskan untuk pindah Gereja dan Agama. Ia kini masuk Agama Katolik.

Menurutnya, inilah agama asal dari denominasi Kristiani. Perpecahan dalam Kristiani memang melahirkan banyak gereja Protestan dan Agama Katolik. Dalam Katolik, dia menemukan sumber dari kerinduan yang ia cari. Itulah sebabnya, ia memberi judul Rome Sweet Home. Ia kembali ke pangkuan rumah teduhnya.

Kerinduan yang dialami Scott Hann persis sama dengan yang saya alami. Saya rindu untuk kembali ke Yogyakarta. Dulu, saya di sini selama 2 tahun: 2005-06 dan 2012-13. Sebelum ke Italia, saya tinggal di kota budaya ini. Empat tahun setelahnya, kerinduan ini terjawab. Saya kembali ke rumah teduh saya dulu.

Jogja malam ini memang benar-benar menyapa saya dengan keanekaragamannya. Tak dibendung, semuanya ini dulu menjadi bagian dari hidup kini saya lihat kembali. Saya betul-betul menghirup udara rumah teduh ini.

Sapaan itu menggema dari ujung kamar makan, “Langsung ke sini saja, kami menunggu,” teriak konfrater saya.

Saya ingat dengan baik suara itu. Dan tahu siapa orangnya. Setelah mengeluarkan koper dari mobil dan memasukkannya ke kamar, saya bergegas ke kamar makan.

Di sana ada warna-warni baru. Satu per satu saya sapa dan peluk. Budaya peluk saat bertemu sudah membekas dalam diri saya sejak saya di Italia. Dan spontan menyapa dalam bahasa Italia masih membekas, ciao. Sapaan itu juga terus dengan menjabat tangan konfrater lainnya yang masih muda.

Perut saya sebenarnya belum membutuhkan makanan. Tetapi, untuk menghormati pemilik rumah, saya menemani teman saya menghabiskan hidangan yang ada. Basa-basi pun dikurangi agar kami sama-sama kompak selesai makanan.

Malam ini memang begitu singkat untuk berbagi. Lelah karena jadi buronan di Bali pun mesti dipulihkan. Itulah sebabnya setelah makan, saya mandi dan langsung tidur.

Quezon City, 9/12/17
Gordi SX


Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.