JOGJA SWEET HOME
Scott Hann pernah menulis buku dengan judul Rome Sweet Home. Buku ini
mengisahkan perjalanan keyakinannya. Ia berubah dalam pencariannya akan
Tuhan.
Scott semula adalah Pendeta
di salah satu Gereja Protestan. Sebagai Pendeta, ia membekali dirinya dengan
pengetahuan dan pengalaman. Keahliannya dalam bidang Teologi pun tak diragukan
lagi. Seperti teman-teman Protestan lainnya, Scott paham betul ayat-ayat Kitab
Suci.
Dari Kitab Suci dan ilmu
Teologi lainnya, Scott menjadi Teolog kondang. Ayat-ayat Kitab Suci baginya
menjadi sumber dari pengetahuannya. Maka, setiap kali menulis buku atau membawa
seminar, Scott hampir pasti mengutip ayat-ayat Kitab Suci. Karena keakrabannya
ini, Scott pun diubah oleh ayat-ayat Kitab Suci itu.
Dalam pencariannya akan
Tuhan, dia menemukan sesuatu yang kurang. Ia bertanya, bertanya dan terus
bertanya sembari mencari, mencari dan terus mencari. Pada akhirnya, ia
menemukan rumah teduhnya. Ia memutuskan untuk pindah Gereja dan Agama. Ia kini
masuk Agama Katolik.
Menurutnya, inilah agama asal
dari denominasi Kristiani. Perpecahan dalam Kristiani memang melahirkan banyak
gereja Protestan dan Agama Katolik. Dalam Katolik, dia menemukan sumber dari
kerinduan yang ia cari. Itulah sebabnya, ia memberi judul Rome Sweet Home. Ia kembali ke pangkuan rumah teduhnya.
Kerinduan yang dialami Scott
Hann persis sama dengan yang saya alami. Saya rindu untuk kembali ke
Yogyakarta. Dulu, saya di sini selama 2 tahun: 2005-06 dan 2012-13. Sebelum ke
Italia, saya tinggal di kota budaya ini. Empat tahun setelahnya, kerinduan ini
terjawab. Saya kembali ke rumah teduh saya dulu.
Jogja malam ini memang
benar-benar menyapa saya dengan keanekaragamannya. Tak dibendung, semuanya ini
dulu menjadi bagian dari hidup kini saya lihat kembali. Saya betul-betul
menghirup udara rumah teduh ini.
Sapaan itu menggema dari
ujung kamar makan, “Langsung ke sini saja, kami menunggu,” teriak konfrater
saya.
Saya ingat dengan baik suara
itu. Dan tahu siapa orangnya. Setelah mengeluarkan koper dari mobil dan
memasukkannya ke kamar, saya bergegas ke kamar makan.
Di sana ada warna-warni baru.
Satu per satu saya sapa dan peluk. Budaya peluk saat bertemu sudah membekas
dalam diri saya sejak saya di Italia. Dan spontan menyapa dalam bahasa Italia
masih membekas, ciao. Sapaan itu juga
terus dengan menjabat tangan konfrater lainnya yang masih muda.
Perut saya sebenarnya belum
membutuhkan makanan. Tetapi, untuk menghormati pemilik rumah, saya menemani
teman saya menghabiskan hidangan yang ada. Basa-basi pun dikurangi agar kami
sama-sama kompak selesai makanan.
Malam ini memang begitu
singkat untuk berbagi. Lelah karena jadi buronan di Bali pun mesti dipulihkan.
Itulah sebabnya setelah makan, saya mandi dan langsung tidur.
Quezon City, 9/12/17
Gordi SX
Posting Komentar