JEMPUT BURONAN DI YOGYAKARTA
Jawaban atas telepon a la buronan kemarin muncul sudah. Esok paginya,
saya mengirim pesan kepada sahabat di Jakarta tentang peristiwa yang terjadi di
Bali. Dari sana muncul jawabannya.
Memang benar, saya ditelepon
oleh pihak NAM Air karena agak telat masuk pesawat. Nomor saya diberikan oleh
sahabat saya. Keraguan saya akan nomor lokal pun terjawab. Rupanya, merekalah
yang menelepon saya.
Keraguan ini tidak saya
ceritakan pada teman saya di Yogyakarta. Begitu turun dari pesawat, saya diam
saja sambil menunggu koper di begasi. Meski demikian, keraguan ini memang
begitu kuat pengaruhnya. Saya terbangun saat pesawat berputar di atas
langit-langit kota Jogja.
Dalam keraguan itu, saya
masih ingat beberapa titik sentral kota budaya ini. Hanya ada lampu-lampu jalan
dan jalanan padat kendaraan. Ini yang tampak dari pesawat. Pemandangan ini
sejenak mengalahkan kekuatan rasa ragu tadi.
Entah karena ragu, ingatan
saya akan bandara Jogja hampir hilang. Dulu, saya sering menjemput para
konfrater saya dari Padang dan Jakarta. Juga, mengantar mereka yang ke Bali,
Jakarta, Riau, atau Makasar. Saking seringnya, saya pun hafal letak tempat
strategis di bandara.
Malam ini, semua itu
seakan-akan ditelan rasa ragu. Begitu turun, langit malam menyambut. Hanya ada
lampu sorot bandara. Dari pesawat, kami—para penumpang—berjalan kaki cukup jauh
ke pintu masuk bandara. Untung saja malam hari, panas tidak mencekam.
Saat keluar dari bandara,
teman saya memberitahu jika sedang ada pengerjaan landasan dan tempat parkir
bandara. Ini yang membuat pesawat kami mendarat di ujung. Di sini, keraguan
saya pun tentang bandara terjawab sudah.
Seiring berlalunya keraguan
yang lama, muncul sesuatu yang baru. Teman saya memberitahu bahwa mobil yang
dia gunakan adalah mobil yang terbaik di rumah kami. Saya langsung memikirkan
mobil yang baru mereka beli. Saya pun sedikit melonjak ingin mengetahui model
mobil itu. Rupanya, mobil itu hanya ada dalam bayangan. Yang terjadi adalah
saya dijemput dengan mobil pick up
Panther-Isuzu.
Saya membiarkan teman saya
menjelaskan asal-muasal mobil ini. Hujan mengguyur Jogja malam itu sehingga tas
dan koper disimpan di depan. Jadilah, di bagian depan mobil ada 3 penumpang.
Teman saya yang menyetir, saya, dan koper saya yang diletakkan di tengah.
Saya sebenarnya tenang-tenang
saja. Mobil seperti ini tidak asing bagi saya. Tanpa dijelaskan pun, saya
sendiri bisa menebak pemilik mobilnya. Saya pun tidak mau tahu siapa
pemiliknya. Hanya saja, ada satu hal yang saya rasakan. Saya kok seperti
buronan benaran.
Buronan yang benar-benar
dicari. Ujung dari pencarian adalah penangkapan. Dan, biasanya yang ditangkap
akan dimasukkan ke mobil tahanan. Bisa dibayangkan, situasi dalam mobil
tahanan. Duduk berdesakkan.
Situasi ini persis yang
terjadi dalam mobil ini. Saya memangku tas saya. Di samping kanan, ada koper
yang terletak di tengah kursi. Dalam hati saya berpikir, teman saya benar-benar
sedang menjemput buronan dari Bali.
Saya memang benar-benaran
buronan tetapi bukan buronan karena kejahatan. Tetapi buronan kebaikan. Saya
diundang oleh beberapa teman untuk singgah di Jogja. Jadi, yang sedang dijemput
ini bukan buronan biasa tetapi buronan luar biasa.
Maligaya, 9/12/17
Gordi SX
Posting Komentar