Mestinya saya bangun telat karena semalam tidurnya telat. Tapi itu rupanya tidak terjadi. Pagi ini, jam 5, sudah bangun. Mandi dan siap bekerja sejak 5.30. Kalau sudah siap seperti ini, biasanya ada semangat. Semoga semangat ini selalu menyertai dalam beberapa hari ke depan.
Hari pertama, semangat itu muncul dalam doa pagi. Doa dalam semangat tentu punya nilai tersendiri. Biasanya saya membaca doa pagi setelah sarapan. Sebab, pagi-pagi sekali harus berangkat Misa. Pagi ini, ibadat bacaan saya daraskan sesaat setelah bangun. Rasa segar setelah mandi itu ikut berkontribusi dalam mendaraskan doa. Ibadat bacaan pribadi itu pun dianjutkan dengan ibadat pagi bersama. Di bawah, pohon rindang, kami melantunkan pujian. Ada rasa kusyuk kala kami duduk bersama di kursi kayu, menikmati alam yang indah pagi ini. Alam adalah hadiah terindah dan pagi ini, alam itu kami nikmati sambil memuji nama-Nya.
Doa pagi yang jadi pembuka kegiatan hari ini pun berlanjut dengan kunjungan ke Gereja Paroki St Lukas. Bertemu dengan Romo Tawat, Pr. Romo diosesan yang kami undang itu rupanya mengundang kami untuk bertamu ke parokinya. Dalam perjalanan ke sana, kami berhenti di sebuah warung. Untuk sarapan pagi. Ibu pemilik warung itu menyediakan sarapan berupa Khao Tom yang enak sekali. Empat dari kami ber-7 menikmati sarapan khas Thailand ini. Tiga lainnya membeli sarapan ala orang Eropa di toko 7-11. Ibu itu rupanya tidak saja pandai memasak, tapi juga pandai bercerita. Kami dibuat terkagum dengan kisahnya. Sambil menyiapkan makanan itu, matanya sesekali melirik ke arah kami sambil bercerita. Kisahnya seperti apa? Nanti akan diceritakan dalam edisi tersendiri.
Tempat Romo Tawat rupanya tak jauh dari tempat kami sarapan. Dalam waktu 10 menit, kami sudah memasuki kompleks sekolah dan paroki. Di sana, Romo Tawat sudah menunggu. Dari caranya menyapa, bisa ditebak, ia adalah seorang dperamah. Kisah pelayanannya di paroki pegunungan membuatnya terbiasa untuk menyapa siapa saja yang ia jumpai. Kisah pegunungan menarik untuk diceritakan. Ini pun akan diulas dalam edisi lainnya. Sayang sekali jika kisah pewartaan heroik seperti ini dilewatkan.
Romo Tawat mengisi sesi karya pastoral di Keuskupan Nakhon Sawan. Kisah-kisah pastroal itu diselingi dengan kisah pribadinya selama melayani baik di paroki maupun di sekolah, baik di pegunungan maupun di kota, baik di luar negeri maupun di seminari nasional di Thailand. Kisah ini amat menarik untuk dipelajari. Kekayaan pengalaman pastoral ini sungguh menjadi bahan yang sangat berarti bagi kami yang merasul di keuskupan ini. Kami pun berjanji akan mengambil contoh yang cocok untuk karya misi kami ke depannya. Pertemuan dengan Romo Tawat membawa kami pada kesadaran bahwa, sepandai-pandainya kami bermisi, pengalaman misi para Romo diosesan setempat masih lebih pandai dari kami. Ini kiranya yang mendorong Santo Guido Conforti untuk menitip pesan kepada para misionarisnya: Masuk melalui pintu mereka dan keluar melalui pintu kita. Wejangan Santo Conforti ini kiranya bukan saja soal budaya tetapi juga soal gaya pastoral.
Gaya berpastoral inilah yang akan kami bahas dalam 2 hari ke depan. Terima kasih kepada Romo Tawat yang bukan saja mengenyangkan kami dengan pengalaman pastoral, tapi juga melayani kami dengan santapan siang yang melimpah. Inilah makan siang super kenyang di awal pertemuan tahunan atau asemblea kami ini. Dari tempat Romo Tawat, kami kembali ke tempat pertemuan. Masih ada jeda waktu 1,5 jam untuk beristirahat sebelum memulai sesi kedua hari pertama ini.
Berpastoral di tempat misi seperti Thailand memang membutuhkan persiapan yang matang. Romo Tawat dalam pertemuan pagi juga menyinggung soal ini. Apalagi ini adalah negara dengan mayoritas Buddha. Sesi kedua ini, kami mendengarkan pemaparan program pastoral dari Komunitas Bangkok. Meski bekerja di antara orang miskin, pengalaman pastoral mereka tak bisa tidak, mesti menyentuh orang-orang dan kelompok berduit dan pelayanan pastoral paroki lainnya. Mereka pun mengakui jika mereka banyak menerima sumbangan dari kelompok orang asing, paroki-paroki, sekolah-sekolah internasional, dan kelompok kategorial lainnya di ibu kota negara Thailand itu.
Pembahasan program pastoral ini amat menarik. Namun, kami harus menunda kelanjutannya besok pagi. Panjangnya tidak kami duga akan melebihi satu sesi pertemuan. Sesi berikutnya sore ini adalah Perayaan Ekaristi. Perayaan suci yang biasanya dibuat pagi hari ini dipindahkan ke sore hari, hanya untuk hari ini. Perayaan syukur ini menjadi madah terima kasih kepada Tuhan atas penyelenggaraannya kepada kami dari kemarin, semalam, tadi pagi dengan Romo Tawat, sore ini, dan sampai malam nanti.
Malam nanti, ada acara Nonton Bareng. Meski moment kebersamaan ini penting, sifatnya hanya rekreatif. Setelah lelah beraktivitas sepanjang hari, malam hari adalah waktu yang terbaik untuk menampung energi kembali. Saya pun menggunakan moment ini untuk bersitirahat. Selesai makan malam, saya mandi, dan siap dengan zoom Rosario. Selesai Rosario baru menyiapkan tulisan ini. Biar tidak hilang ditelan kesibukan, kesempatan singkat pun harus digunakan untuk menggoreskan ide yang tebersit. Tulisan ini adalah rangkuman dari pengalaman hari pertama di kota Singburi. Kisah hari berikutnya tentu akan lebih menarik. Teruslah menyimak serial ini.
SGBR 12/09/22
Posting Komentar