Sore tadi menjadi awal dari perjalanan panjang. Hingga jam 10.40 malam. Saat kami memasuki kamar masing-masing. Dari Provinsi Tak ke Provinsi Singburi, Thailand. Total lamanya 6 jam 10 menit. Dihitung dengan waktu berhenti di pasar dan makan malam di pom bensin.
Perhentian inilah yang membuat sadar akan perjalanan panjang ini. Jarak yang panjang akan lebih panjang saat kita menunggu. Dan karena menunggu inilah, kami tiba telat malam ini. Rencana untuk tiba sore buyar. Kami memang ingin berangkat cepat, tapi kami sadar, kami harus tunggu teman yang paling jauh. Menunggunya tentu punya alasan. Kami akan nebeng di mobilnya.
Setelah makan siang, saya dan teman saya menunggu teman dari jauh ini. Menunggu ini akan makan waktu lama dengan kondisi hujan. Jalanan tambah macet. Beberapa titik menjadi pusat kemacetan karena sedang ada perbaikan. Menunggu yang biasanya membosankan ini harus dilawan. Lawannya bukan dengan tidak menunggu. Tapi dengan kegiatan lain yang bisa membunuh kebosanan. Bosan itu pun berhasil diatasi dengan tidur pulas. Dua jam saya habiskan di tempat istirahat. Meski, belum terasa puas, saya harus bangun menjelang jam 4 sore. Telepon berdering, suara teman saya terdengar, “Saya masih di sini, menunggu antrian, tidak lama lagi, akan sampai.”
Dia memang tidak jauh dari tempat kami. Kira-kira 30-an km lagi. Tapi, jarak ini menjadi tidak bisa diprediksi karena kemacetan itu. Angan-angan itu pun jadi nyata. Dari jam 4 sore yang dijanjikan, mundur ke jam 4.20 menit. Ini sudah telat maka kami harus berangkat. Tanpa banyak bicara, kami memasukkan beberapa tas, lalu melanjutkan perjalanan.
Meski sudah melaju 125 km, teman saya masih kuat nyetir. Dia memang bukan sopir baru. Belasan tahun dia mengendarai mobil. Di Italy, Inggris, Phillippines, dan Thailand. Kecakapannya bertambah dengan tenaga mobilnya yang super di kelas pick up. Jarak 48 km ke kota pertama yang kami lewati pun hanya ditempuh dalam 30 menit. Sekitar 70-an km berikutnya pun, ia tempuh dalam waktu kurang lebih 45 menit. Maka, setelah melaju 1 jam, kami sudah tiba di pasar 24 jam. Sebelum tiba di sini, kami sempat berhenti di pos pengecekan dokumen oleh polisi imigrasi dan polisi perbatasan. Semua ini saya lalui sambil setengah mengantuk. Tapi, di sini, di pasar ini, rasa kantuk itu hilang segera. Tapi, meski sudah bangun, saya tidak ikut kedua teman saya yang turun dari mobil. Di dalam mobil itu, saya masih sempat mendaraskan doa Angelus pada jam 6 sore. Adik saya mengingatkan saya melalui telepon. Kami pun berdoa bersama.
Momen ini penuh rasa syukur. Atas perjalanan yang sudah dilalui. Kiranya rasa syukur yang sama dialami oleh para penjual di Pasar 24 jam ini. Rasa syukur bisa saja diungkapkan dalam doa, tapi senyuman juga bisa menjadi tanda syukur. Senyuman itulah yang saya lihat di wajah beberapa penjual. Sebagian besar dari mereka adalah kaum ibu dan para gadis. Senyum syukur itu pun menjadi lebih cantik kala mereka melayani pembeli. Dan, kedua teman saya dari Italy termasuk dalam kelompok ratusan pembeli lainnya. Syukur dalam senyum itu rupanya juga menjadi milik kedua teman saya ini. Mereka bersyukur bisa menemukan oleh-oleh untuk sahabat yang akan kami jumpai dalam beberapa hari ke depan. Sambil besyukur, kami pun berpamitan dengan gadis-gadis penjual, sembari masuk di mobil, dan jalan lagi.
Dalam nada syukur, teman saya pun melajukan mobilnya. Kota terdekat lewat dan berhenti di kota berikutnya. Di sini, lagi-lagi saya dibangunkan oleh teman saya. Begitu pintu mobil dibuka, teman yang satu membangunkan saya. Saya pun turun dan rupanya sudah waktunya untuk makan malam. Tanda syukur apa lagi yang akan muncul berikutnya?
Syukur berikutnya adalah syukuran makanan. Di sini, toko 7-11 pun buka 24 jam. Beberapa restoran dan pom bensin juga buka 24 jam. Meski selalu buka, di salah satu restoran rupanya tidak menjual nasi lagi. Saya dan teman saya pun mengikuti jejak teman yang lebih dulu ke 7-11. Kami menemukan nasi yang kami inginkan. Dan, sambil beristirahat, bercerita, menikmati makanan malam itu. Perjalanan ini memang harus dinikmati. Saya dan teman saya biasanya punya perjanjian. Kalau jalan bersama, nyetir bergantian. Maka, malam ini pun ide gantian menyetir itu muncul tepat saat makan malam. Tapi, meski saya bisa, saya rasa masih ngantuk. Teman saya pun melanjutkan nyetir.
Dia sempat melontarkan masalah matanya kala nyetir di waktu malam. Tapi, ini tampaknya bukan masalah besar. Buktinya, dia berani nyetir. Teman yang satunya yang lebih tua juga menolak untuk nyetir. Syukurlah teman saya ini tidak mau berdiskusi panjang. Sambil berjalan, saya pun pelan-pelan menutup mata. Perjalanan panjang setelah makan ini tampaknya sungguh mengasyikkan. Sampai-sampai saya tidak sadar, sudah tiba di tempat tujuan. Penjaga pintu gerbang setengah kantuk mengantar kami ke kamar masing-masing.
Di sini, saya langsung tidur. Pengennya nyenyak sampai pagi. Sayangnya jam 2 malam dibangunkan teman saya. Dia pendatang terakhir malam ini. Dia membangunkan saya untuk membuka pintu. Rasa kantuk membuat saya menyapanya dengan sesingkat-singkatnya. Saya pun melanjutkan tidur. Dan nyenyak, bukan karena menikmati waktu malam. Tapi, karena rasa capek. Tak terasa pagi sudah menyapa. Betapa perjalanan ini panjang dan melelahkan. Dalam lelah, kami bersyukur, karena bisa tidur pulas. Dan, dalam tidur pulas, kami menyadari, betapa Tuhan selalu melindungi kita semua. Baik waktu berjalan, maupun waktu berdiam untuk istirahat. Hanya karena Tuhan, jantung kami terus bekerja, meski tubuh kami berhenti total dan bersitirahat. Jantung yang bekerja 24 jam itulah yang memungkinkan kami yang capek bisa istirahat. Terima kasih Tuhan.
SGBR 11/09/22
Posting Komentar