Merawat persahabatan itu penting. Bukan saja di negeri sendiri, tapi terutama di negeri orang. Persahabatan memupuk semangat kekeluargaan. Saling sapa pun akan muncul dari hangatnya persahabatan.
Pagi-pagi sekali teman saya Romo Reynaldo SX mengetuk pintu kamar saya. Meski agak malas bangun pagi, saya rajin membaca pesan singkat sebelum benar-benar bangun. Saya pun ingat, pagi ini kami akan mengunjungi teman kami Romo Nuu. Romo Projo yang bekerja di paroki dekat sini. Romo inilah yang mendampingi saya selama 6 bulan di Paroki St Theresa, Maesot. Kini, ia bertugas di kota Singburi ini. Dan, pagi ini, kami berjumpa lagi.
Senangnya bukan main. Senyum khasnya menyapa kami yang tiba lebih dulu di ruang Sakristi sebelum Misa. Kami sengaja datang lebih awal. Sebelum Misa jam 6 pagi, kami sudah keluar dari tempat penginapan. Tiba lebih awal sambil melihat Gereja yang megah ini. Inilah gereja dengan jumlah umat terbanyak di Keuskupan kami. Di samping gereja, ada asrama dan sekolah. Semuanya milik paroki ini. Jangan heran jika Bapa Uskup menugaskan Romo Nuu untuk melayani di sekolah, dan Romo Joo untuk paroki.
Romo Nuu dan Romo Joo adalah teman akrab kami. Mereka berasal dari suku pegunungan (Karen). Salah satu ciri khas suku ini adalah semangat persaudaraan. Persaudaraan ini amat kuat dan terlihat saat kami mengikuti pertemuan di Keuskupan. Mereka berdua ini adalah di antara yang selalu bercerita-cerita dengan kami. Karena persahabatan inilah, kami datang pagi ini. Toh letaknya hanya 500 meter dari tempat kami menginap. Amat baik jika kunjungan seperti ini dibuat.
Di gereja, Romo Nuu memberi kesempatan kepada kami untuk mempersembahkan Misa bersama umat. Maka, pagi ini, kami bertiga berkonselebran. Romo Rey memimpin Misa, Romo Nuu membaca Injil, dan saya mendapat bagian untuk mendaraskan Doa Syukur Agung. Selesai Misa, kami masih bisa sarapan bersama. Sungguh indah dan mengingatkan saya akan masa-masa bersama Romo Nuu di paroki. Penuh kekeluargaan.
Pinginnya lama-lama ngobrol di sini, tapi kami harus pulang. Masih sempat menyapa Romo Joo yang hadir saat kami asyik berngobrol ria di kamar makan. Setelahnya kami kembali ke tempat penginapan. Mengikuti Misa untuk kedua kalinya. Tidak ada salahnya. Hitung-hitung menambah kekudusan. Seperti kemarin, Misa dilanjutkan dengan sarapan pagi. Ada nasi goreng dan roti. Lagi-lagi, ini sarapan kedua. Demi kebersamaan, sarapan ini dinikmati.
Pagi ini, pembahasannya tidak terlalu membosankan seperti sebelumnya. Jika kemarin semuanya di ruangan pertemuan, pagi ini dibagi dalam dua kelompok. Sempat ada kebingungan karena di kelompok kami tidak ada topik khusus yang didiskusikan. Tampaknya sengaja diperlambat. Pesan masuk setelah pertemuan berjalan hampir sejam lebih. Topiknya datang terlambat.
Diskusi di luar topik program pastoral ini pun meliputi banyak hal. Ada usulan, ada penegasan, ada himbauan, dan sebagainya. Inilah yang mendominasi kegiatan hari ketiga ini. Pertemuan ini diakhiri dengan ibadat sore. Kemudian makan malam. Ini agak unik juga.
Sebelum makan malam berakhir, hujan turun. Meja kami pun dipindahkan ke dalam ruangan. Memang ruangan makan ini terbuka. Hanya saja meja kami letaknya di balkon luar tanpa atap. Kalau hujan, otomatis basah. Romo Rey bergerak cepat, menandakan hujannya. Beberapa pegawai restoran pun setuju memindahkan meja makan. Dan untung hujan turun, tepat semenit sebelum semuanya dipindahkan. Kami pun melanjutkan menyantap hidangan di bagian dalam.
Hujan ini rupanya tidak mau berhenti. Kami selesai makan tapi hujan masih turun. Jadinya kami bercerita-cerita. Yang lain pindah ke ruang pertemuan sambil nonton film atau buka laptop. Saya dan Romo Rey memilih bercerita dengan pemilik resotran. Aura persaudaraan itu muncul lagi saat kami saling berkenalan. Tanpa pertemuan non formal ini memang, kami benar-benar tidak saling kenal.
Sebelum ini, pemilik dan pegawai restoran mereka-reka identitas kami. Saya misalnya diyakini sebagai orang dari Suku Karen. Karena penandanya adalah tas yang saya pakai. Tas karen itu rupanya ikut menentukan identitas saya. Mereka kaget saat pemakai tas itu berasal dari Indonesia. Dari situlah cerita jadi panjang. Anak pertama dari pemilik resotran ini rupanya punya pengalaman hidup di luar negeri. Ia belajar master manajemen perhotelan di negeri kanguru. Selain Australia, Bali adalah tempat favoritnya untuk belajar makanan indonesia. Ia pun meminta Romo Rey mencarikan menu masakan Indonesia.
Sebelum jam 9 malam, saya mohon pamit duluan. Rupanya semuanya juga ikut berpamitan. Demikianlah percakapan yang singkat dan menarik di malam terakhir ini. Hujan rupanya selain membuat kami huru-hara, juga membuat kami mengenal yang lain. Setiap waktu adalah kesempatan emas. Asal kita mampu melihat peluang emas dari setiap kesempatan yang ada. Pertemuan penuh kekeluargaan malam ini tidak kami rencanakan. Terjadi begitu saja. Saat Romo Rey mengajak saya untuk mampir di ruang receptionist.
Setelahnya, kami pamit ke kamar masing-masing. Malam belum berakhir. Saya masih bisa zoom Rosario lagi. Mengawali dan mengakhiri hari dengan ucapan syukur itu memang amat membahagiakan. Rasanya berkat itu harus disyukuri. Pagi adalah penanda syukuran atas waktu malam. Dan malam adalah penanda syukuran atas aktivitas seharian. Tuhan rupanya sudah mengatur semuanya. Dan, terima kasih untuk semuanya. Di hari ketiga ini. (bersambung)
SGBR 14/09/22
Posting Komentar