Menjelang pintu gerbang kota Bandung, saya sadar kembali. Istirahat selama beberapa waktu tadi cukup untuk menampung tenaga dan siap melihat “Paris van Java” dari dekat. Suhu mulai naik. Bandung ternyata tidak hujan. Dari kaca mobil terlihat papan penunjuk “Jalan Layang Pasteur”.
Kami melewati jalan ini setelah keluar dari tol. Jalan yang merupakan salah satu jalan layang di Bandung ini mulai dipadati kendaraan roda dua dan empat. Kami pun lagi-lagi menikmati “situasi Jakarta”. Namun ada yang beda. Di sini pengendara sepeda motornya tertib. Tidak seperti Jakarta yang suka serobot di antara mobil. Sepeda motor menggunakan jalur kiri.
Kami harus menemukan Jalan Ambon No. 25 Bandung. Sebelum sampai di sini, kami melewati beberapa jalan yang ramai dan sempat macet. Wah…..pemandangan Bandung beda sekali dengan Jakarta. Meski gedung tinggi dibangun, pohon-pohon rindang masih mendominasi kawasan perkotaan. Suhunya sejuk.
Di alun-alun kota, mulai berkumpul beberapa kelompok warga. Ada yang berkeluarga, pasangan muda/i, anak-anak, dan remaja. Mereka memadati “lahan hijau” alias lapangan dan taman. Ada beberapa kelompok sedang mengadakan pertandingan sepak bola dan bola voli. Ada juga yang sekadar berkumpul menikmati tontonan olahraga itu. Impaian akan kota yang memiliki ruang gerak yang luas memang ada di sini. Kalau mau menikmati ruang hijau yang luas, datanglah ke Bandung.
Misteri julukan “Paris van Java” mulai terkuak. Konon, Bandung terkenal dengan keindahan alamnya dan suhunya yang sejuk. Ini masih terasa sebagiannya hingga sekarang. Suhu dingin masih terasa dan masih tersisa kawasan hijau. Beberapa pohon rindang penyejuk sekaligus pengindah kota masih tampak. Seperti terlihat sore ini.
Pada abad 18 (1786) dan awal abad 19 (1809) banyak pendatang dari Eropa (kolonial Belanda, Perancis, Italia, dan beberapa lainnya) datang ke Bandung. Selanjutnya, beberapa pendatang dari Cina mulai bergabung. Pendatang Cina membangun beberapa industri di kota yang namanya berasal dari kata BENDUNG dan berarti dam, bendungan, dan waduk. Sementara itu, pendatang Eropa senang dengan suasana Bandung yang sejuk. Bisa diduga merekalah yang memberi julukan Bandung sebagai “Paris van Java” atau “Paris dari Pulau Jawa”.
Keindahan alam dari kota tempat diadakannya konferensi Asia-Afrika (18-24 April 1955) ini setara dengan keindahan kota Paris. Bandung yang terletak di dataran tinggi memiliki suhu yang cocok dengan suhu untuk orang Eropa pada umumnya. Pemandangan yang terlihat sore ini memang merupakan sisa dari sejarah kuno ini.
Masih ada bekas jejak-jejak peradaban. Bandung yang semula merupakan ibu kota Kerajaan Padjajaran (1488) sampai kini dikenal dengan berbagai bangunan bersejarah. Sebut saja, gedung konferensi Asia-Afrika dan Gedung Sate (Uraian lebih lengkap kunjungi SEJARAH GEDUNG SATE di http://era90.blogspot.com) yang sempai dilihat sore ini.
Gedung Sate merupakan salah satu obyek wisata di Jawa Barat. Gedung ini diresmikan pada 27 Juli 1920. Gedung ini sekarang dijadikan gedung pusat pemerintahan Jawa Barat. Sore ini, kami sempat melihat sebagiannya dari jendela mobil. Tampak dindingnya berwarna Putih dan ornamen berbentuk tusuk sate di menaranya. Woaoao…gedung ini memang merupakan gaya khas Indonesia dan Barat. Gaya Indonesia pada bagian menara dan gaya Barat pada struktur bangunan. (Bersambung...)
Cempaka Putih, 22 April 2011
CERITA yang mengasikan nih
BalasHapusTerima kasih XAMthose plus sudah mampir di sini...baca juga cerita yang lain ya...
BalasHapusbandung banguedd euyy .... salam kota bandung ...
BalasHapusTerima kasih Lucy...hati ini hampr nempel di bandung hehehe
BalasHapus