Setelah sekian waktu menikmati kemacetan, kami sampai di alamat yang dituju. Jarum jam menunjukkan pukul 5 sore. Di luar rumah biara kongregasi CB dan RSCJ tampak beberapa tamu berkumpul. Ada juga yang sedang memasuki pintu gerbang yang dibiarkan terbuka. Para Suster RSCJ menyambut kami dengan ramah. “Wah….ini tamu yang datang dari tempat terjauh…” sapa seorang suster. Betul juga ya..dari Jakarta ke Bandung.
Seorang suster mempersilakan kami mengambil makan dan minuman ringan sebagai “jamuan sambutan” di salah satu sudut rumah. Di sini kami ditemani beberapa sahabat dari Jakarta. Mereka tiba lebih dulu dengan travel. Kalau kami tahu, mereka bisa ikut di mobil kami. Tetapi tak apa-apa, kendaraan boleh berbeda, tujuan kami sama.
Kawasan ini agak unik. Nama jalan di kompleks ini diambil dari nama beberapa daerah di Indonesia misalnya Ambon, Aceh, Flores, dan Banda. Dikelilingi pohon rindang, kompleks ini menjadi sejuk. Cukup jauh dari jalan utama sehingga kebisingan terhindar dari penduduk setempat. *Semua gambar dari google images
Pukul 5.30, perayaan Ekaristi peresmian rumah novisiat RSCJ dimulai. Tamu yang hadir berasal dari berbagai agama. Yang saya tahu ada agama Islam dan Katolik. Meski demikian, kami bersatu dalam perayaan Ekaristi. Seolah-olah tak ada sekat agama. Orang Muslim pun ikut berdiri dan menyanyikan lagu pembuka. Di tengah situasi toleransi di Indonesia, ternyata masih ada pemeluk agama yang bisa hidup berdampingan dengan damai. Ini menjadi contoh bagi pemeluk lain.
Saat-saat unik dalam perayaan Ekaristi. Waktu komuni, orang Katolik yang sudah dibaptis menerima hosti sedangkan orang Islam menerima buah khusus semacam buah kurma. Kami masing-masing menerima makanan rohani (jika teman-teman Muslim meyakini buah itu sebagai makanan rohani seperti kami yang Katolik meyakini hosti sebagai makanan rohani), hanya bentuknya berbeda. Teman-teman Muslim pun senang menikmati buah itu. Di balik semua ini, ada kekayaaan yang amat berharga. Teman-teman Muslim yang hadir adalah sahabat dan kenalan dari Suster Gerardette RSCJ. Kerasulannya sebagai dosen dan penasihat kepausan dalam bidang hubungan antar-agama memudahkan peluangnya untuk berdialog.
Selesai perayaan Ekaristi, kami menikmati jamuan makan malam. Nuansa persaudaraan semakin terasa. Makan dari makanan yang sama. Dialog langsung dengan semua tamu yang hadir mengiringi makan malam ini. Manusia bisa disatukan dengan acara makan bersama. Kegiatan yang melampaui batas-batas sosial, agama, suku, dan sekat lainnya.
Setelah makan, kami sempat berkelilingi melihat rumah biara ini. Sebagian dari biara 3 lantai (lantai 3) milik kongregasi CB ini, dipakai oleh para suster dan novis RSCJ. Kongregasi CB sudah membuka jalan lebih dulu di Bandung, kini giliran mereka memberi jalan itu kepada RSCJ. Dalam kata pengantarnya Suster Gerardette, RSCJ mengatakan bahwa kini saatnya “sang kakak” (kongregasi CB) membantu “sang adik” (kongregasi RSCJ) merintis karya kerasulan Gereja Katolik di Bandung ini.
Pukul 9, kami berangkat dari Bandung. Tak seperti waktu datang, perjalanan pulang ini tidak begitu unik. Hujan rintik mewarnai lalu lintas jalan, suasana kabut dan gelap semakin menjadi. Beruntung konfrater yang menyetir mobil lincah. Saya kebanyakan tidur. Dia ditemani satu teman yang berdiskusi sepanjang perjalanan. Saya bangun ketika kami keluar dari tol dalam kota Jakarta. Kedua teman kami berhenti di Cawang, Jakarta Timur. Perjalanan ini berakhir pukul 11. 25, ketika kami tiba di rumah.
Terima kasih Tuhan atas pengalaman hari ini. Engkau mengizinkan kami melihat indahnya kota Bandung dan merekatnya persaudaraan lintas-agama di Bandung. Bandung akan selalu dikenang. Semoga kesejukan “paris van java” ini merasuk jiwa warga untuk bisa hidup berdampingan antar-agama, antar-kelas sosial, antar-suku, dan kelas lainnya. (selesai…)
Cempaka Putih, 29 April 2011
Posting Komentar