HIDUP INI MESTI SEDERHANA
Ada ayat klasik yang berbunyi, Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan
nyawanya (Matius 16, 26). Kiranya relevan
untuk segala zaman.
Zaman ini penuh kontradiksi. Ada
yang bersih luarnya padahal kotor dalamnya. Ada yang tampil suci padahal
dalamnya penuh munafik. Ayat di atas kiranya bisa menjadi sentilan untuk zaman
ini. Untuk apa memperoleh banyak harta tetapi pemilik hartanya tak bernyawa?
Nyawa dan harta memang kadang
penuh kontradiksi. Ada yang menampung harta sampai berlimpah. Dalam kelimpahannya,
ia menafikan nyawa banyak orang. Tak peduli, nyawa mereka dibayar dengan harga
murah, asal hartaku bertambah.
Harta—dengan demikian—seolah-olah
lebih berharga dari nyawa. Padahal, yang benar adalah sebaliknya. Nyawalah yang
bernilai. Maka, kalau nyawanya hilang, harta itu akan jadi sia-sia.
Saat ini, harta itu makin
dikejar. Belum srek kalau belum punya harta melimpah. Dari harta melimpah, naik
lagi dengan membuktikan kelimpahannya. Mobil mahal, hp mahal, tas bermerek, dan
sebagainya. Padahal, sarana itu akan lebih berguna jika dipakai sesuai
fungsinya.
Harta itu bisa diibaratkan
dengan beberapa kalimat sederhana yang saya temukan dalam pesan di whatsapp
beberapa waktu lalu. Jika diringkas, akan jadi demikian.
Untuk apa beli ipad yang mahal jika ada tablet yang murah.
Untuk apa beli Fortuner jika Avanza saja sudah cukup.
Masih banyak lainnya.
Tampak sederhana namun
mendalam. Tablet dan ipad memiliki fungsi yang sama. Memang, bisa saja
diberikan argumen yang lebih. Ipad kiranya lebih mahal dari tablet, dan oleh
karena itu fungsinya jauh berbeda. Tentu saja bisa. Tetapi, kalau digunakan
sesuai fungsinya toh keduanya berjalan beriringan. Soal ada yang kekuatannya
lebih, itu urusan kemudian.
Perbandingan ini pas dengan
persiapan perjalanan saya ke luar negeri. Dalam masa penantian—selama beberapa
hari—di Jakarta, saya mencari koper yang berukuran sedang. Jika tengok di toko
dan mol, koper seperti itu diperkirakan berharga 2 juta rupiah ke atas. Tentu saya
juga bisa membelinya. Tetapi persoalannya, ada juga koper yang sama dengan
harga yang jauh lebih murah.
Saat sedang mencari, sahabat
saya memberi kabar gembira. Jika Anda mau—katanya—kita ke daerah Ancol. Di sana ada tempat
jual koper yang murah meriah. Saya tentu tergiur dengan harga murah. Namun,
saya juga balik bertanya, bagaimana
dengan kualitasnya?
Dia dengan yakin menjawab, jangan khawatir. Masih dijelaskan lebih
lanjut argumennya, koper dan tas di sana
adalah barang-barang baru. Biasanya yang kelewat batas penjualan di toko dan
juga tempat penampungan koper tak bertuan di bandara Soekarno-Hatta.
Informasi ini cukup bagi
saya. Dan, suatu siang, kami ke sana. Di sanalah terjadi sesuai yang ia
kabarkan. Betul-betul menggembirakan. Dengan melewati jalur yang khusus di
daerah Mangga Dua kemudian belok ke arah Ancol, tempat ini akan ditemukan.
Di dalam ruang besar itu, ada
banyak tas dan koper. Semuanya baru. Rupanya barang-barang ini akan habis dalam
2 hari. Datang setiap Rabu dan Jumat dan akan habis pada saat itu juga.
Setelaj memilah dan memilih,
saya akhirnya membeli koper sedang senilai Rp. 550.000. Untuk meyakinkan diri,
kami mencek harganya di situs online. Tepat seperti dikatakan Mas penjual,
harganya berkisaran 2,5 sampai 3 juta rupiah. Selisihnya besar. Padahal,
barangnya sama.
Saya pun yakin, hidup ini
mesti sederhana. Kemewahan tidak akan bertahan lama. Makin Anda suka yang
mewah, makin Anda ketagihan untuk meraih kemewahan yang lebih. Akhirnya, Anda
tidak akan puas dan tidak akan sampai pada kemewahan yang Anda cari.
Saya sendiri puas dengan
koper saya yang murah tetapi berkualitas ini. Kami sudah cek luar dalamnya. Kondisinya
bagus. Pas untuk membawa pakaian saya dalam perjalanan ke luar negeri.
Quezon City, 13/12/17
Gordi SX
Posting Komentar