TAKDIR DI BANDARA JOGJA
Masih ada orang yang percaya, hidup ini adalah sebuah takdir. Dengan
takdir, segala yang di luar pikiran pun menjadi sebuah keniscayaan yang tak
terhindarkan. Sakit parah, bencana, cek-cok rumah tangga, kecelakaan, dan
peristiwa luar biasa lain akan dicap sebagai takdir.
Takdir—bagi saya—tidak ada.
Yang ada hanya rencana dan kehendak Yang Kuasa. Inilah iman saya. Pembaca boleh
setuju dan tidak. Setiap kita berhak memilih prinsip hidup.
Saya datang dan pergi dari
kota Jogjakarta pada malam hari. Tampak seperti pencuri saja. Boleh jadi ini
sebuah takdir. Waktunya sama. Tetapi bagi saya, ini bukan takdir. Ini adalah
kehendak saya untuk datang dan pergi pada malam hari.
Seperti waktunya yang pas,
maskapinya juga pas. Maskapi ini terkenal murah namun lambatnya minta ampun.
Kadang-kadang kita tidak tahu, kapan jadwalnya datang. Di atas kertas tersusun
rapi. Kenyataannya dibatalkan mendadak. Kadang ada pemberitahuan, kadang tidak.
Kadang dibatal berkali-kali. Pengguna setia maskapi ini kiranya sudah tahu.
Saya tidak perlu mengulasnya di sini.
Malam ini, saat saya
tinggalkan kota Jogja, maskapi ini telat juga. Dibatalkan dua kali. Semula,
tiga kali, dengan pengumuman yang jelas. Untunglah, akhirnya yang jadi adalah
pengumuman kedua. Untung pula, saat pengumuman ketiga, maskapi ini membagikan
makanan ringan sebagai kompensasi. Entah sebagai peredam marah atau tidak.
Bagi orang yang percaya, ini
adalah sebuah takdir. Sekali lagi, bagi saya ini bukan takdir. Ini rencana
kami. Itulah sebabnya, saya pamit kepada konfrater saya di Jogja setelah makan
malam. Barang-barang disiapkan sebelumnya. Selesai makan malam, masih ada waktu
istirahat, sebelum teman saya mengantar ke bandara.
Perjalanan ini sebenarnya
aman dan tidak buru-buru. Namun, menjadi capek karena kantuk yang bukan main.
Setelah bosan menunggu, tiba giliran masuk pesawat, 1 jam sebelum tengah malam.
Saya langsung tidur dan terbangun menjelang pendaratan di ibu kota.
Saya sengaja tidak mau
menikmati perjalanan seperti cerita orang. Saya ingin agar perjalanan ini
dinikmati dengan cara saya. Dan, inilah kenikmatan yang saya peroleh: tidur
dalam perjalanan.
Ini sebenarnya kebiasaan
saya. Dan, saya senang. Namun, ada yang tidak setuju. Ada yang sering
berkomentar, kalau pesawatnya jatuh
gimana? Ya, siap mati jika kamu tidur. Dan komentar menakutkan lainnya.
Bagi saya, ini juga bagian
dari perjalanan. Saat masuk pesawat, saya serahkan perjalanan ini pada pilot.
Seperti saat mengendarai mobil, saya selalu percaya pada sopir. Atau, saya
selalu mau bertanggung jawab atas nyawa penumpang jika saya mengemudikannya.
Kalau kita berpikir pesawat
jatuh, ya pasti tidak bisa tidur. Saya tidak pernah berpikir seperti itu. Meski
sesekali muncul rasa takut. Tetapi, mau bilang apa lagi. Lebih baik buang
prasangka itu agar bisa tidur.
Dan, di malam larut ini, saya
ingin mengucapkan Selamat Tinggal Joga. Sampai berjumpa pada kesempatan
mendatang. Gunung Merapi membubung di langit Kaliurang. Pesawat yang lewat di
sekitarnya akan melihat dengan jelas. Inilah salah satu daya tarik sekaligus
sumber ketakutan di Jogja. Namun, dari sana juga kita belajar banyak hal.
Sampai jumpa kota budaya.
Da-da-da
Quezon City, 11/12/17
Gordi SX
Posting Komentar