Naik Mobil ke Mariso
foto ilustrasi jalan di Gowa oleh Die Welt, wie ich sie vorfand |
Saya diantar dari Gowa ke Makasar
menggunakan mobil. Kebetulan ada keluarga yang punya mobil. Dia termasuk orang
sukses di antara keluarga di sana. Tinggalnya di Gowa. Dan dia menawarkan untuk
naik mobilnya ke Mariso. Tak sia-sia dia beli mobil. Mungkin juga karena saya
adalah tamu di sana. Memang dia baik—dalam hal ini—menurut saya. Bapak saya
dulu mengajar dia ketika masih SD. Entah itu juga masuk pertimbangannya untuk
mengantar saya atau tidak. Yang jelas dia rela mengajak bapa kecil saya dan adik
saya untuk sama-sama mengantar saya ke Mariso.
Saya begitu merasa istimewa. Saya ini
orang kecil. Pelayan rakyat kecil. Saya sebenarnya hanya bisa diantar pakai
sepeda motor saja seperti yang dilakukan saudara sepupu saya tadi pagi. Sepupu saya
mengantar saya dari bandara Sultan Hassanudin, Maros ke Gowa dengan sepeda
motor kecilnya. Saya memang butuh perjuangan keras menahan sakitnya pantat dan
menepis debu yang beterbangan di jalanan. Tetapi, saya senang karena dengan
itu, saya tahu, betapa berat perjuangan saudara saya di kota Makasar ini. Sebagai
saudara, saya juga pantas mengalami perjuangan berat seperti ini. Memang tidak
seberapa. Saya hanya mengalami selama sejam sedangkan mereka mengalami
berhari-hari selama mereka mencari nafkah di Makasar.
Keistimewaan saya ini membuat saya
senang juga. Betapa asyiknya naik mobil di kota Makasar. Bisa lebih leluasa
melihat pemandangan di sekitar jalan. Lagi-lagi ini terjadi atas jasa keluarga
yang baik hati ini. Saya tidak menyangka saya akan diantar pakai mobil. Semula saya
duga akan naik motor saja. Toh saya sudah naik motor dari bandara yang jaraknya
sekitar 25 kilometer ke kota Makasar. Kalau dihitung jaraknya menjadi 36
kilometer. Jarak Makasar-Gowa 11 km, bandara-Makasar 25 km. Jarak dari Maros—daerah
tempat bandara berada—ke Makasar adalah 30 km. Dugaan saya meleset. Dan kepelesetan
ini betul-betul di luar dugaan. Faktanya memang kami naik mobil.
Saya diterima oleh romo kenalan saya
di Seminari Petrus Klaver-Makasar. Kami bercerita sebentar lalu dia menunjukkan
kamar untuk saya. Saya menuju kamar kemudian keluar lagi untuk mengurus
keperluan mandi. Saya tidak emngira juga kalau di kamar tidak ada persediaan
perlengkapan mandi. Saya memang terbiasa membawa perlengkapan mandi ketika
bepergian. Hanya saja beberapa waktu belakangan saya jarang bawa karena di
tempat tujuan saya selalu disediakan perlengkapan mandi. Rupanya ini tidak
berlaku di sini.
Tetapi ini tidak menjadi persoalan
bagi saya. Yang penting bagi saya, ada kamar untuk tidur, mandi, dan merenung. Dan
ini semua sudah saya dapat di sini. Malam ini saya bisa tidur tenang di kamar
ini. Di sekitar tempat tidur saya memang ada banyak tempat tidur lengkap dengan
kasurnya. Kamar ini memang menjadi tempat isolasi bagi orang sakit dan butuh
perawatan. Jadi, kalau ada siswa seminari yang mengalami gejala seperti ini
diperilakan untuk menggunakan ruang ini. Tentu saya tidak mengalami ini. Saya menginap
sebagai tamu. Dan saya menginap selama 2 malam di sini. Tes dengan siswa yang
saya temui mulai malam ini. Satu untuk malam ini, besok tiga dan lusa sisa
satu. Itulah sebabnya sore hari pada hari ketiga saya bisa kembali ke Gowa. Siang
harinya saya bertemu teman saya di rumahnya.
Dia kaget karena saya bisa melihat
rumahnya. Inilah istimewa yang lain yang saya alami dalam kunjungan ke Makasar
ini. Dari yang mustahil menjadi kenyataan. Kami kenal melalui dunia maya. Dan kami
berelasi akrab meski tidak pernah bertemu dan tidak akan bertemu. Ternyata dunia
nyata berbcara lain. Saya bisa mendatanginya. Mungkin ini penyelenggaraan Dia
di atas. Kami bercerita selama 2 jam lebih di tengah panasnya hawa Makasar. Tetapi
kami tidak bisa jalan-jalan sore hari di Pantai Laotsari, salah satu tempat
ramai di sana. tetapi cukuplah pertemuan ini. Cerita berikutnya bersambung
yah... (bersambung)
PA, 2/5/13
Gordi
Posting Komentar