Menuju Singapura yang Sulit Dilewati
Katanya di Singapura nanti ada
pemeriksaan secara ketat. Istilahnya
pembersihan pesawat. Entah apa yang dimaksud. Yang jelas, pesawat harus bersih
dari benda berbahaya. Apakah mereka tidak yakin dengan pemeriksaan ketat di
Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta? Boleh jadi demikian. Ataukah mau lebih bersih
lagi? Saya tak peduli dengan itu. Asal saya sudah lewat pemeriksaan di
Soe-Hatt, itu sudah cukup.
Pesawat besar ini pelan-pelan bergerak.
Belum naik ke udara. Masih di darat. Dan saya dan Fonsi pun ikut menyaksikan
gelapnya bandara dan gemerlapnya lampu dari pesawat lainnya, lampu mobil
bandara, juga lampu dari ruang bandara yang masih bisa kami lihat. Rupanya, kami harus menunggu dengan sabar. Harus antri
untuk lepas landas. Banyak pesawat lain di depan kami. Juga ada pesawat yang
hendak mendarat. Saya sempat melihat ada Lion Air, Garuda Indonesia, dan
maskapi lokal lainnya.
Setelah menunggu dengan sabar, tiba
giliran kami naik. Saya merasakan saat-saat kami duduk miring karena badan
pesawat juga miring. Mula-mula mulutnya menanjak, ekornya merendah. Kemudian
badan pesawat rata tetapi miring sedikit, entah mencari arah yang tepat.
Selanjutnya saya tidak merasakan pergerakan pesawat lagi. Seolah-olah kami diam
padahal pesawat tetap bergerak. Dan
saat kami diam itu tiba-tiba pramugari pesawat datang, membagikan makanan.
Segelas air dan sepotong roti.
Begitu
dapat makanan itu, saya langsung melahapnya. Ngomong-ngomong perutku lapar.
Tadi siang makan terakhir di Indonesia. Dan rupanya itu makan nasi terakhir
untuk saya. Setelahnya tidak bertemu nasi lagi. Jam menunjukkan pukul 8 malam
lewat sekian. Di tiket memang tertulis berangkat jam 7.50 malam. Tetapi kan ada
tetek-bengek yang lainnya sehingga perutku dapat suplay makanan baru pada jam
sekian.
Hati
saya senang karena sudah kenyang. Selanjutnya saya membuka monitor di depan
saya. Rupanya alat ini hanya disentuh saja. Dan tangan saya sudah biasa menyentuh
teknologi seperti ini. Tidak elit tetapi saya pernah mengoperasikan teknologi
layar-sentuh seperti ini. setelah mendapat yang saya cari, saya duduk tenang,
tutup mata dan hanya mendengar saja. Saya memang sedang memutar musik, lagu
instrumental. Entah siapa yang memainkan musik dalam lagu ini. Saya
belum begitu akrab dengan pengarang lagu seperti ini.
Fonsi di samping saya asyik menonon film.
Dia memang suka film.
Saya tidak memerahtikan film apa yang sedang ia tonton. Saya dengar music saja
sambil tutup mata. Dan mata tertutup ini rupanya berhasil membius kesadaran
saya. Saya tidur pulas. Perjalanan dua jam dari Indonesia ke Singapura tak
terasa. Tahu-tahu, pesawat miring, dan akhirnya mendarat. Ada pengumuman,
penumpang harus turun, membawa serta dengan barang bawaan di kabin.
Kami juga bergegas. Tak lupa tas di
kabin. Saya dan Fonsi berbisik, kalau-kalau nanti ada pemeriksaan lagi. Kami
memang sudah mendengar informasi di Indonesia bahwa, di sini aka nada
pemeriksaan lagi. Fonsi memikirkan pemeriksaan itu. Jangan-jangan dia tidak
diizinkan lagi untuk terbang. Sebab, di Jakarta saja kami tersendat. Saya tidak
peduli dengan pemeriksaan ini. Saya berprinsip, jika Jakarta lolos, yang
lainnya akan lolos sampai tujuan. Tetapi saya juga merasa sedih jika saya
sendiri yang akan melanjutkan perjalanan. Sayang jika Fonsi harus berhenti di
Singapura. Apakah dia akan dia akan menunggu di sini saja? Ataukah dia harus
kembali ke Indonesia dulu? (bersambung)
Parma, 26 September 2013
Gordi
Posting Komentar